Membangun Koalisi DemokratisJeffrie Geovanie ; Direktur Utama PT Sinar Harapan Media Holding |
SINAR HARAPAN, 21 April 2014
Setelah pemilihan legislatif (pileg) digelar dan hasilnya—sesuai hitung cepat sejumlah lembaga survei—tidak ada partai yang dominan, agenda yang banyak dibahas berikutnya adalah bagaimana menggalang dan membangun koalisi di antara partai-partai. Untuk kepentingan itu, para pemimpin partai saling mendatangai satu sama lain dengan dibungkus kepentingan silaturrahmi. Tujuan utamanya apa lagi kalau bukan penjajakan koalisi. Dialog-dialog antarpemimpin partai juga digelar dengan tujuan yang sama. Sebelum koalisi benar-benar dijalin dan dibangun secara resmi, ada baiknya kita belajar dari pengalaman. Dua periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seyogianya memberi kita pelajaran berharga, apa yang terjadi pada saat koalisi hanya semata-mata mempertimbangkan jumlah kursi di lembaga legislatif. Ada banyak inkonsistensi atau bahkan keanehan. Bagi para elite, mungkin inkonsistensi dan keanehan politik merupakan hal yang biasa, wajar, karena begitulah watak politik yang membuka serbakemungkinan. Namun, bagi rakyat itu menjadi sandiwara tidak bermutu. Rakyat tidak mendapatkan keuntungan apa-apa, bahkan cenderung diabaikan dalam setiap akrobatik para elite. Etis dan Beradab Politik adalah medan perjuangan yang mulia. Dengannya kita ciptakan pemerintahan yang menghormati hak-hak rakyat, memenuhi kebutuhan dasarnya, dan melindunginya dari kemungkinan kejahatan serta semua hal yang mengancam jiwanya. Politik diharapkan bisa membangun pemerintahan yang mampu mengelola negara dengan benar. Namun, politik seperti apa? Politik yang etis dan beradab. Politik yang dijalankan dengan berpijak pada prinsip-prinsip demokrasi, yang menomorsatukan kebutuhan rakyat seraya mengutamakan kepentingan negara. Antara kebutuhan rakyat dan kepentingan negara diparalelkan dalam satu mekanisme demokrasi yang harus dijunjung tinggi. Politik etis dan beradab ini perlu disuarakan selantang-lantangnya, mengingat saat pascapileg seperti saat ini, yang dipikirkan para elite politik hanyalah bagaimana membangun koalisi dengan dua tujuan utama; Pertama, mendapatkan kursi cukup untuk memenuhi persyaratan pengajuan capres-cawapres. Kedua, untuk memenangi pilpres. Dua tujuan yang sangat wajar. Namun, sejak dini harus segera kita ingatkan, politik tidak semata kemenangan merebut kekuasaan. Dalam politik ada etika, ada prinsip yang harus dijaga. Itulah etika dan prinsip demokrasi yang sejauh ini masih kita anggap etika dan prinsip terbaik untuk membangun pemerintahan dan menjaga keutuhan negara. Kaidah Koalisi Oleh karenanya, saat kita harus membangun koalisi antarpartai, etika dan prinsip demokrasi inilah yang seyogianya menjadi pegangan utama. Itu agar koalisi tanpa etika sebagaimana yang dipraktikkan pada era pemerintahan SBY tidak terulang. Sebelum membangun koalisi, diperlukan kaidah-kaidah, selain untuk meraih kemenangan, yang lebih penting agar partai-partai yang tergabung di dalamnya tidak bertindak semaunya sendiri, tidak mudah berantakan di tengah jalan. Pertama dan yang paling utama, koalisi harus dibangun berdasarkan kesamaan visi dan misi partai. Jika mungkin, kesamaan ideologi juga bisa menjadi pertimbangan. Tidak terjaganya soliditas kolaisi antara lain karena ketidaksamaan visi dan misi. Kedua, koalisi harus dirancang secara matang, disertai hak dan kewajiban setiap peserta koalisi secara rinci, mendetail, bila perlu disertai pula ketentuan-ketentuan sanksi bagi partai yang tidak konsisten dan tidak mampu menjaga komitmen. Jangan menerima partai yang bergabung dalam koalisi hanya dengan keputusan yang diambil secara oligarkis, hanya kemauan elite di pusat. Partai yang hendak bergabung dalam koalisi, keputusannya harus diambil dalam mekanisme yang demokratis, minimal dalam rapat kerja nasional yang melibatkan semua komponen strategis dari partai bersangkutan, dari tingkat elite hingga grassroot. Sekali lagi, koalisi seyogianya dibangun bukan untuk sekadar memenuhi persyaratan capres-cawapres, mendapatkan jatah kursi menteri, atau yang semacamnya, melainkan suatu komitmen untuk melakukan perubahan, memperbaiki negeri ini, secara menyeluruh dan berkesinambungan. Koalisi bukan hanya untuk kepentingan partai-partai, tapi untuk kepentingan rakyat seluruhnya. Ketiga, untuk membangun koalisi yang baik tidak harus terlalu kuat, misalnya dengan ambisi merangkul semua partai hingga tercapai suara mayoritas tunggal 80-90 persen. Koalisi yang baik sudah cukup, misalnya, dengan kekuatan suara 51 persen, asalkan solid dan kokoh minimal hingga akhir periode masa pemerintahan. Dengan komposisi yang hampir berimbang antara kekuatan koalisi yang memerintah dengan koalisi partai-partai yang menjadi oposisi, diharapkan akan tumbuh dua bangunan koalisi yang relatif permanen untuk jangka waktu yang panjang, dengan mekanisme check and balances antara kedua kekuatan secara elegan dan proporsional. Itulah beberapa kaidah yang seyogianya menjadi pertimbangan penting sebelum koalisi dibangun. Intinya, koalisi harus diproses dan dibangun secara demokratis. Itu agar pemerintahan koalisi yang dibangun bisa berjalan dengan baik, mampu memparalelkan kebutuhan rakyat dan kepentingan negara. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar