| Kekerasan   Anak Berwajah PendidikanAgus Wibowo  ;     Penulis “Buku Malpraktik Pendidikan”,  Magister   Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta | 
SINAR HARAPAN, 21 April 2014
| Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akhirnya   menutup sementara Jakarta International School (JIS) sampai semua   perlengkapan perizinan terpenuhi.  Penutupan JIS ini terkait kasus kekerasan seksual yang dialami   beberapa siswa di sekolah tersebut. Berdasarkan hasil investigasi tim dari   Kemendikbud, dalam pertemuan dengan para orang tua siswa, diduga kekerasan   seksual itu sudah terjadi bertahun-tahun.  Sayangnya, para orang tua siswa tidak berani melaporkan tindak   kekerasan seksual itu. Kekerasan seksual yang terjadi di JIS semakin menambah   daftar panjang kasus kekerasan pada anak didik.  Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada   2004, kekerasan pelajar mulai umur 9-20 tahun yang dilaporkan ke kepolisian   meningkat 20 persen pada 2013.  Sementara itu, hasil survei KPAI di sembilan provinsi, yaitu   Sumatera Barat, Lampung, Jambi, Banten, Jawa Tengah, DIY, Jawa Barat, Jawa   Timur, dan Kalimantan Timur, dengan total responden 1.026 siswa, menyebutkan   masih tingginya tindak kekerasan pada siswa.  Kekerasan dalam pendidikan juga dilakukan guru, seperti kasus   dugaan pelecehan seksual di SMAN 22 Jakarta, SD negeri di Depok, atau dugaan   kekerasan fisik yang dilakukan guru di salah satu SD negeri di Tanjung Priok.    Pertanyaannya, mengapa kekerasan terhadap siswa masih terus   terjadi di sekolah yang mestinya menjadi rumah kedua bagi mereka? Bagaimana   sebaiknya para pemangku pendidikan memutus “mata rantai” kekerasan terhadap   siswa?  Trauma Psikologis  Maraknya tindak kekerasan terhadap siswa mengindikasikan   disorientasi pendidikan kita. Pendidikan mestinya menjadi sarana humanisasi   bagi anak didik. Itu disebabkan pendidikan memberikan ruang bagi pengajaran   etika moral dan segenap aturan luhur yang membimbing siswa mencapai   humanisasi.  Melalui proses itu, anak didik menjadi terbimbing, tercerahkan,   dan tabir ketidaktahuannya terbuka sehingga mereka mampu meniadakan   aspek-aspek yang mendorong ke arah dehumanisasi.  Itulah ancangan pendidikan bangsa kita, yang tidak saja   menggaransikan keluaran manusia sejati, tetapi juga sosok yang kaya akan visi   humanisme dalam kerangka kognitif, afektif, dan psikomotoriknya.  Berdasarkan data kekerasan tersebut, jelas pendidikan kita belum   mampu menjadi wahana humanisasi bagi anak didiknya. Pendidikan kita bukannya   menjadi ruang menyemai humanisasi, malah menjadi wahana melanggengkan   kekerasan (bullying) dan   ketidakmanusiawian terhadap anak didiknya.  Pendidikan kita sepertinya justru digegas menjadi ajang unjuk   kekerasan guru atas siswa atau senior terhadap juniornya.  Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan yang   salah. Menurut WHO (2000), kekerasan terhadap anak atau child abuse dan neglect  adalah tindakan melukai berulang-ulang secara fisik dan emosional anak yang   ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali,   degradasi, dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual.  Kekerasan terhadap anak dalam dunia pendidikan bisa berbentuk   kekerasan fisik, psikologis, verbal, emosi, dan sosial. Menurut Francis   Wahono (2003), kekerasan lebih sering terjadi pada unsur utama pendidikan,   yakni pelaku pendidikan. Kekerasan itu bersifat horizontal, individu vis a   vis individu yang lain. Bentuk kekerasan struktural dan kultural terjadi pada   unsur selain pelaku utama pendidikan.  Kekerasan itu mewujud dalam kerangka, pranata, dan kurikulum   pendidikan. Kekerasan itu bersifat vertikal karena melibatkan negara melalui   aparatus, institusi, dan kebijakan vis   a vis masyarakat.  Anak didik menjadi objek langsung dari kurikulum yang didukung   kerangka dan pranata pendidikan. Pendekatan pendidikan yang digunakan para   guru lebih sering bersifat top down, dari atas ke bawah dan mendikte.  Pendekatan seperti itu berasumsi guru ialah pusat kebenaran dan   pengetahuan, lebih bermoral dan pandai sehingga tidak dapat dibantah. Sistem   pendidikan model itu sebenarnya cocok dalam dunia militer, dengan disiplin   seragam, ketat ideologi, dan taat perintah tanpa boleh banyak bertanya.  Hentikan Kekerasan  Sebelum anak didik kita satu per satu menjadi korban, kekerasan   dalam pendidikan harus dihentikan. Sudah saatnya para guru dan stakeholder   pendidikan memahami esensi dasar pendidikan ialah wahana humanisasi anak   didik melalui pembentukan jati diri dan perilaku dalam koridor kognitif   (kecerdasan), afektif (sikap), dan psikomotorik (perilaku).  Lingkungan, kurikulum, metode, dan kultur budaya merupakan   unsur-unsur yang bertalian erat dengan outcome pendidikan.  Sekolah yang dikelola secara humanis, nirkekerasan, tanpa   eksploitasi, dan pelaksanaan disiplin yang tidak kaku akan menciptakan iklim   budaya yang nyaman. Sekolah dengan budaya yang demikian akan melahirkan anak   didik yang kaya akan perspektif humanisasi di samping berkarakter, bukan   mereka yang beringas lantaran diedukasi dengan kekerasan.  Menurut banyak ahli pendidikan, kekerasan akan terus terulang   selama mata rantainya tidak secara bertahap dan komprehensif dihilangkan.  Menurut Doni Koesuma (2014), kekerasan lebih sering terjadi   karena selama ini belum ada sinergi antara KPAI, Kemendikbud, dan dinas-dinas   pendidikan di seluruh Indonesia untuk menyosialisasikan UU No 23/2002 tentang   Perlindungan Anak.  Padahal, kerja sama lintas sektoral ini diperlukan agar perilaku   kekerasan di lingkungan pendidikan tidak terjadi lagi. Karena itu, sangatlah   penting dan mendesak untuk segera dilakukan sinergi agar semua pihak tahu   bagaimana melindungi anak dari berbagai bentuk kekerasan.  Guna meminimalkan tindak kekerasan pada siswa, mendikbud dan   KPAI merekomendasikan optimalisasi peran dinas pendidikan dan pengawas   sekolah. Para pengawas sekolah agar lebih jeli dan lebih sering turun ke   lapangan. Meminjam istilah Hamrin (2010), pengawas sekolah jangan hanya   datang, duduk, periksa administrasi, dan mencari kesalahan. Namun, pengawas   hendaknya menjadi mitra efektif kepala sekolah, sekaligus ikut menjamin tidak   terjadinya tindak kekerasan.  Tidak kalah pentingnya masyarakat, termasuk wali murid dan   komite sekolah, harus berpartisipasi mengontrol sekolah agar berjalan bagus,   bermakna, sejalan dengan prinsip pendidikan, dan terbebas dari kekerasan.  Akhirnya, kita berharap tidak ada lagi tindak kekerasan terhadap   anak didik dengan berkedok pendidikan. Kekerasan tidak akan mengantarkan anak   didik menggapai tujuan pendidikan. Pendidikan pun tidak akan menciptakan   generasi berkarakter jika masih melanggengkan kekerasan. ● | 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar