Tragedi MH370 dan Solidaritas Asia-PasifikVera Wheni SS ; Dosen Universitas Tarumanagara |
TEMPO.CO, 05 April 2014
Tragedi hilangnya pesawat Malaysia Airlines MH730 membuat komunitas internasional berduka. Derita para korban dan keluarganya yang mendalam ternyata telah menyatukan dan menggerakkan solidaritas sekurangnya 27 negara, termasuk Amerika Serikat, Cina, Australia, dan Inggris, untuk membantu Malaysia. Berbagai aset yang mereka miliki, termasuk personel, peralatan canggih, dan biaya yang besar, telah didayagunakan untuk mencari keberadaan MH730 yang hilang sejak 8 Maret lalu. Namun sampai detik ini keberadaan pesawat nahas itu belum juga ditemukan. Berdasarkan proses pencarian MH730 sejauh ini dapat disimpulkan bahwa negara-negara itu cenderung bekerja sendiri-sendiri dengan sumber daya yang mereka miliki. Pencarian itu terkesan tidak terkoordinasi dengan baik, menghambur-hamburkan sumber daya, serta tidak efisien dan tidak efektif. Dari proses ini dapat digambarkan perlunya pembentukan standar prosedur yang baku dalam pencarian pesawat udara yang hilang, terutama upaya pertolongan untuk para korban dan keluarga korban, termasuk kelanjutan pencarian serta evakuasi korban serta penemuan puing-puing sisa dan black box pesawat udara. Proses pencarian parsial MH730 telah menimbulkan kecaman dari keluarga korban, khususnya dari Cina, yang menuduh pemerintah Malaysia tidak transparan, tidak berbagi informasi kepada negara-negara lain dan keluarga korban, serta terkesan lamban dalam proses pencarian. Tuduhan dan kecaman itu sulit untuk dielakkan oleh pemerintah Malaysia. Kredibilitas pemerintah Malaysia diragukan oleh keluarga korban, terutama dari Cina. Para keluarga korban mendesak pemerintah Cina untuk membentuk tim penyelidik sendiri. Insiden MH730 dan proses pencariannya menantang kita untuk mengupayakan pencarian alternatif nilai lebih bentuk kerja sama antarbangsa, khususnya Asia-Pasifik, dalam proses pencarian dan investigasi. Penerbangan internasional sangat memerlukan kerja sama antarnegara yang kompak karena penerbangan internasional menembus lintas batas antarnegara. Dalam kerja sama ini para bangsa dapat membentuk tim search and rescue serta membagi tugas, peran, dan tanggung jawab antaranggota tim. Tujuan pembagian kerja antartim ini agar penggunaan sumber daya dapat didistribusikan sesuai dengan kemampuan para anggota. Penggunaan sumber daya disesuaikan dengan tahap-tahap pencarian. Ini menghindari penumpukan penggunaan sumber daya pada satuan kerja tertentu. Kerja tim dapat dilaksanakan sesuai dengan pembagian wilayah kerja dan keahlian masing-masing anggota tim. Dengan begitu, proses search and rescue dapat dilakukan secara efisien, efektif, menyeluruh (comprehensive), terkoordinasi dengan baik (coordinated), berkesinambungan (sustainable), dan berdaya guna untuk mengutamakan keselamatan manusia. Proses pencarian pesawat MH730 yang sulit dapat disebabkan oleh wilayah pencarian yang luas serta belum tersedianya sistem internasional dan regional dalam tahap pencarian pesawat yang hilang. Kesulitan ini dapat diatasi bila hukum internasional ataupun regional di bidang hukum udara telah membentuk sistem kerja sama antarbangsa dalam proses search and rescue serta investigasi. Negara-negara ASEAN pernah mengadakan perjanjian regional pada 14 April 1972 di Singapura mengenai upaya negara-negara ASEAN untuk membentuk pelayanan dan fasilitas bersama dalam pencarian dan pertolongan pesawat udara yang mengalami kendala dan bahaya dalam penerbangan. Juga membangun upaya bersama untuk memberikan pertolongan terhadap korban kecelakaan pesawat udara. Namun perjanjian itu gagal ditindaklanjuti oleh anggota-anggota ASEAN (tidak diratifikasi). Maka dalam konteks inilah begitu penting dan mendesak menindaklanjuti perjanjian regional yang pernah diupayakan. Tindak lanjut itu berupa ratifikasi perjanjian regional menjadi hukum nasional masing-masing anggota ASEAN. Langkah konkret lainnya yang dapat diambil oleh ASEAN adalah membentuk pedoman dan standar prosedur yang baku dalam kerja sama antaranggota ASEAN dengan negara-negara di Asia-Pasifik lainnya. Pedoman dan standar baku ini digunakan dalam proses pencarian pesawat udara yang hilang dan pertolongan para korban ataupun evakuasi korban dan sisa-sisa pesawat udara. Kekosongan hukum internasional dan regional yang mengatur mengenai kerja sama antarbangsa yang konkret dengan tugas dan tanggung jawab yang jelas dalam proses search and rescue serta investigasi merupakan salah satu penyebab dari tidak efisien dan efektif serta lamanya proses pencarian MH730. Kekosongan hukum ini berdampak negatif bagi para korban dan keluarga korban penumpang MH730. De facto dunia penerbangan internasional sudah sangat membutuhkan pembentukan alternatif nilai lebih sistem pencarian, penyelamatan, dan investigasi korban dan pesawat udara yang efisien, efektif, menyeluruh, terkoordinasi dengan baik, berkesinambungan, dan berdaya guna untuk mengutamakan keselamatan manusia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar