Caleg, Kerja Sosial, dan Kerja PolitikMohammad Nasih ; Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Jakarta; Pendiri Rumah Perkaderan Politik ”Monash Institute”, Semarang |
KORAN SINDO, 05 April 2014
Kata ”politik” dan ”sosial” awalnya berarti sangat identik dengan konotasi sebuah kehidupan bersama atau bermasyarakat. Buktinya, frase ”zoon politicon” dalam perspektif yang diungkapkan oleh Aristoteles ”manusia merupakan zoon politicon” biasanya diartikan dengan ”makhluk sosial”. Namun, dalam perkembangannya, kata politik mengalami pergeseran makna semantik disebabkan perubahan tata kelola dalam kehidupan bersama itu. Kata politik menunjuk pada kehidupan bersama yang diatur oleh hasil konsensus yang dijadikan sebagai aturan legal formal dan mengikat seluruh anggota atau warga. Inilah yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan ”negara”. Karena itulah, kata politik kemudian digunakan untuk menunjuk kepada sistem dengan aturan main yang jelas dan struktur-struktur tertata yang diorientasikan untuk mengurusi warga negara guna mewujudkan kebaikan bersama. Sedangkan kata ”sosial” menunjuk kepada tatanan kehidupan bersama yang tetap menjadi sebuah keniscayaan, tetapi tidak terikat oleh aturan-aturan legal formal. Bahkan, ketika terdapat anomali, misalnya terdapat seseorang yang mengisolasi diri dari pergaulan yang wajar, tidak ada sanksi yang jelas dan pasti. Para politisi, karena itu, sejatinya adalah orang-orang yang berada pada level lebih tinggi. Mereka berada pada posisi dengan fungsi menggerakkan struktur-struktur negara untuk mengurus seluruh warga; bukan lagi hanya fungsi sosial yang berhubungan dengan hanya beberapa gelintir orang yang mereka kenal dan hadapi. Dan karena itu, seharusnya para calon anggota legislatif meningkatkan kemampuan untuk melakukan kerja-kerja politik, bukan lagi sekadar kerja-kerja sosial. Jika didefinisikan secara lebih terperinci, kerja politik bisa dimaknai sebagai kerja yang memiliki implikasi luas kepada sangat banyak—untuk tidak mengatakan seluruh— aspek kehidupan warga negara. Namun, yang paling banyak nampak setiap kali menjelang pemilu adalah hampir seluruh calon anggota legislatif (caleg) dari seluruh partai politik, tak terkecuali para incumbent, melakukan sekadar kerja-kerja sosial. Hampir semuanya melakukan kerja-kerja yang tidak jauh dari sekadar membagi-bagi beras, baju, dan uang (baca: berjuang). Kerja sosial dalam waktu yang tidak tepat ini melahirkan berbagai macam implikasi negatif yang membuat politik menjadi tidak sehat dan dalam jangka panjang akan menyebabkan kerusakan negara. Pertama, pendidikan politik terabaikan. Dengan kecenderungan kerja sosial ini, kerja politik paling mendasar berupa pendidikan politik kepada warga pemilih justru terabaikan. Baik warga maupun para caleg sendiri kemudian berpikir sederhana. Para pemilih mendasarkan pilihan kepada kerja sosial para caleg pada saat hanya menjelang pemilu, sedangkan para caleg berpikir pendek bahwa dengan kerja sosial itu mereka akan terpilih. Dan karena orientasi kekuasaan yang lebih besar, mereka juga tidak peduli, apakah para pemilih memahami sistem politik atau tidak. Tujuan utama mereka adalah terpilih menjadi anggota legislatif. Titik. Kedua, menimbulkan kesalahpahaman masyarakat tentang fungsi politik lembaga legislatif. Masyarakat berpandangan bahwa calon anggota legislatif yang paling baik adalah mereka yang memiliki banyak kekayaan dan mau membagi-bagikan sebagiannya kepada pemilih. Mereka tidak sampai kepada pemahaman bahwa justru yang terpenting adalah fungsi para anggota legislatif dalam menciptakan peraturan (perundang-undangan), melakukan pengawasan terhadap implementasi aturan yang dibuat, dan pengalokasian anggaran yang semuanya harus diorientasikan untuk kesejahteraan rakyat. Untuk melakukan kerja ini, anggota legislatif justru tidak memerlukan harta kekayaan pribadi yang melimpah, tetapi memerlukan ilmu pengetahuan, wawasan, kemauan (political will), dan keterampilan untuk memperjuangkannya dalam proses pembuatan kebijakan di dalam lembaga legislatif. Apalagi, jumlah kekayaan per orang anggota legislatif bisa dikatakan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan jumlah anggaran yang dimiliki oleh negara (termasuk di dalamnya pemerintahan daerah). Ketiga, biaya politik menjadi sangat tinggi. Bisa dikatakan bahwa ini merupakan kelanjutan dari implikasi sebelumnya. Bahkan, mungkin bisa dikatakan bahwa biaya yang diperlukan secara umum melampaui kemampuan material para calon. Misalnya saja, masyarakat pemilih menuntut para caleg untuk memberikan bantuanbantuan tertentu yang bersifat material, seperti memasang lampu jalan, membangun rumah ibadah, bahkan membangun jalan dan jembatan. Ini merupakan kerja-kerja yang sesungguhnya tidak buruk, tetapi sesungguhnya dalam banyak aspek sangat tidak tepat. Namun karena mayoritas caleg melakukannya, hanya sedikit caleg yang berani mengatakan ”tidak”. Itu pun biasanya semata- mata karena tidak memiliki cukup kapital, dan karena itu kemudian berapologi dengan mengatakan bahwa tindakan itu melanggar aturan main. Jika memiliki kemampuan finansial, mereka pun akan melakukannya. Seharusnya para caleg yang saat ini sedang berusaha untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat melakukan kerja-kerja politik untuk memberikan wawasan yang benar kepada masyarakat. Kerja-kerja sosial biarlah dilakukan oleh lembaga-lembaga sosial atau individu- individu tertentu dengan kapasitas bukan sebagai penyelenggara negara. Atau kalau toh para caleg melakukan kerja sosial, itu memang merupakan kebiasaan sebagai anggota masyarakat yang telah dilakukan jauhjauh hari sebelum maju sebagai caleg. Jangan sampai para caleg melakukan segala macam hal, kecuali yang justru seharusnya mereka lakukan. Dengan melakukan kerja politik tersebut, para pemilih akan memulai untuk berpikir untuk mencari calon-calon yang memiliki wawasan dan kemampuan untuk menggerakkan struktur-struktur negara, di segala level. Dengan kualitas yang memadai, para anggota legislatif akan mampu memperjuangkan kebaikan bersama yang diinginkan oleh masyarakat pemilih. Masyarakat mestinya juga melihat rekam jejak para caleg yang sedang berkompetisi memperebutkan kepercayaan mereka. Mereka tidak bisa menempatkan secara sama kepada caleg-caleg yang memiliki rekam jejak yang berbeda-beda, misalnya antara para caleg yang telah menjalani kehidupan sebagai aktivis mahasiswa, organisasi-organisasi kepemudaan, atau organisasi sosial kemasyarakatan yang memiliki keterlibatan secara langsung dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat dengan para caleg yang baru melakukannya pada saat menjelang pemilu. Jika sekadar uang atau bantuan-bantuan sosial dalam bentuk lain yang diberikan pada saat menjelang pemilu yang menjadi dasar untuk memilih, besar peluang yang akan terpilih adalah orang-orang yang belum pasti memiliki kemampuan melakukan kerja politik. Dan ini juga berpotensi besar menyebabkan negara mengalami kemandulan, sebab orang yang saat menjelang pemilu memiliki uang, belum tentu memiliki kemampuan atau keterampilan untuk mengoptimalkan struktur-struktur negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Wallahu a’lam bi alshawab. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar