Pelanggaran HAM yang DibolehkanMoh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi |
KORAN SINDO, 05 April 2014
Sabtu pagi (29/3) pekan lalu seorang kawan di Surabaya mengirim pesan pendek (SMS) kepada saya. ”Saya tak setuju tulisan Anda di KORAN SINDO hari ini. Saya tak setuju koruptor dihukum mati. Hukuman mati itu melanggar HAM dan merampas hak Tuhan,” demikian bunyi SMS tersebut. Sabtu itu saya memang menulis kolom di koran ini, ”Hukum Mati Koruptor”. Isinya, antara lain, mengusulkan hukuman mati bagi koruptor seperti di China. Sejak akhir 1990-an China menjatuhkan hukuman mati terhadap ribuan koruptor. Di Indonesia hukuman bagi koruptor terlalu ringan. Banyak koruptor di Indonesia tampak tidak menyesal, melambaikan tangan sambil tersenyum riang saat dikerubuti wartawan di Gedung KPK atau di Pengadilan Tipikor, sementara koruptor-koruptor baru bermunculan. ”Korupsi di negara kita sudah berkembang seperti peternakan koruptor, mengerikan,” kata Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas. Makanya banyak yang mengusulkan, termasuk saya, agar koruptor di Indonesia bisa dijatuhi hukuman mati disertai pemberat-pemberat lain seperti pemiskinan dan penghilangan hak-hak keperdataan tertentu. UU Tindak Pemberantasan Korupsi perlu direvisi agar bisa menegaskan bahwa tindak pidana korupsi diancam hukuman mati, tanpa ada syarat ”jika korupsi itu dilakukan saat negara dalam keadaan krisis.” Pokoknya ancaman hukuman maksimal bagi korupsi itu hukuman mati. Koruptor itu telah melanggar hak hidup layak, hak ekonomi, dan hak-hak asasi lain bagi rakyat yang, menurut konstitusi dan hukum, jelas-jelas harus dilindungi oleh negara. Tetapi ada saja yang mengatakan hukuman mati itu melanggar HAM dan merampas hak Tuhan untuk mencabut nyawa manusia. Padahal, sebenarnya setiap hukuman kepada pelaku kejahatan pada dasarnya adalah pelanggaran HAM, tetapi merupakan pelanggaran HAM yang dibolehkan oleh konstitusi dan hukum. Menahan atau memenjarakan orang pun pelanggaran HAM karena menurut konstitusi setiap orang punya kebebasan atau hak untuk tidak dikurung. Tetapi penahanan atau pemenjaraan itu dibolehkan oleh konstitusi dan hukum, asalkan ditetapkan sebagai hukuman yang diatur di dalam undang-undang. Menurut Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, hak asasi manusia itu bisa dikurangi atau dibatasi dengan ketentuan undang-undang. Mengurung orang di penjara sebenarnya melanggar HAM dan merampas hak Tuhan juga, tetapi hal itu dibolehkan kalau dilakukan sebagai hukuman karena kejahatan yang diatur di dalam undang-undang. Menghukum mati juga melanggar HAM dan merampas hak Tuhan, tetapi hal itu dibolehkan kalau dilakukan sebagai hukuman atas tindak pidana asal diatur di dalam undang-undang. Jadi menurut konstitusi ada pelanggaran HAM yang boleh dilakukan yaitu, antara lain, menjatuhkan dan mengeksekusi hukuman yang ditetapkan oleh pengadilan sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, baik berupa hukuman penjara, pencabutan hak-hak sipil dan politik tertentu, maupun hukuman mati. Dengan demikian, hukuman mati samasaja denganhukuman penjara atau hukuman pidana lain, tidak melanggar konstitusi dan tidak merampas hak Tuhan. Atau sama-sama mengesampingkan HAM yang diizinkan oleh konstitusi maupun oleh Tuhan sendiri asal ada alasan-alasan konstitusional dan hukum yang diatur di dalam undang-undang. Ada juga yang mengatakan bahwa penjatuhan hukuman mati itu tidak mampu membuat jera atau menghilangkan korupsi, sebab terbukti, di negara-negara yang menghukum mati koruptor pun masih banyak korupsinya. Pernyataan ini bisa dibantah sebagai pernyataan yang terlalu spekulatif dan tidak logis karena, minimal, dua argumen. Pertama, jera atau tidak jera itu hanya bisa dilihat dari orang yang sudah dihukum. Dalam konteks ini kita tidak bisa mengatakan bahwa hukuman mati itu tidak membuat orang jera, sebab kalau orang sudah mati karena dihukum mati tidak bisa diketahui apakah orang itu jera atau tidak jera. Bagaimana caranya kita tahu orang yang sudah mati itu jera atau tidak jera? Bukankah tak ada tempat dan waktu bagi mereka untuk menunjukkan jera atau tidak jera? Sebaliknya, secara psikologis, dapat dipastikan bahwa ancaman hukuman mati bisa membuat orang yang masih hidup lebih takut untuk melakukan tindak pidana yang bisa dijatuhi hukuman mati itu. Kedua, tidak benar juga kalau dikatakan bahwa hukuman mati itu tak mengurangi korupsi karena di negara-negara yang menjatuhkan hukuman mati terhadap koruptor masih banyak juga korupsinya. Pernyataan ini pun tak bisa dipertanggung-jawabkan karena alat ukurnya tidak jelas. Pernyataan itu bisa saja dibalik dengan pernyataan, ”Sudah diancam dengan hukuman mati saja masih banyak korupsi, tentu korupsi akan menjadi lebih banyak lagi seandainya tidak ada hukuman mati.” Tentu kedua pernyataan ini sama spekulatifnya, tak ada ukuran ilmiahnya. Haruslah diingat bahwa adanya ancaman hukuman mati itu tak mengharuskan hakim menghukum mati setiap koruptor. Hakim dapat menjatuhkan hukuman yang lebih ringan sesuai dengan rasa keadilan, tergantung pada besarnya korupsi dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Kalau korupsinya sangat besar dan/atau pelakunya pejabat penting maka hukuman mati bisa dijatuhkan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar