Mengukur Peluang Partai IslamSaidiman Ahmad ; Mahasiswa Australian National University |
TEMPO.CO, 02 April 2014
Tujuh orang berpose. Lima perempuan. Dua laki-laki. Masing-masing membawa poster putih-hitam-kuning lambang Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Lima perempuan itu tak berkerudung. Dibiarkannya rambut sebahu mereka jatuh ke pundak. Di Gelora Bung Karno, pada kampanye besar PKS, paduan suara Gereja Spiritus Santos, Ende, Nusa Tenggara Barat, dipercaya menyanyikan lagu mars partai dakwah itu. Apa yang menjelaskan ini semua? Bagaimana sebuah partai yang lahir dari gerakan Islamis (Muhtadi 2012) bisa tampil dengan aroma pluralisme yang sangat kentara? Apakah partai Islamis ini sudah tidak cukup percaya diri dengan kekuatan ideologi Islam yang mereka usung untuk meraih suara publik muslim Indonesia? Sebuah studi ambisius dilakukan oleh Charles Kurzman dan Ijlal Naqvi (2010), Do Muslims Vote Islamic?, untuk melacak tren prestasi partai-partai Islam di 21 negara dalam rentang waktu 40 tahun (1969 sampai 2009). Walaupun masing-masing pemilu memiliki tingkat kebebasan dan kejujuran yang bervariasi, secara keseluruhan prestasi partai-partai Islam sangat tidak meyakinkan (hlm. 55). Di beberapa tempat seperti Aljazair, Turki, Tunisia, dan Mesir, partai Islam belakangan memang keluar sebagai pemenang pemilu. Namun jargon-jargon kampanye yang mereka usung cenderung tidak Islamis. Hampir semua partai Islamis itu justru mengusung jargon perubahan ekonomi, keadilan sosial, pemberantasan korupsi, dan semacam itu. Apakah ideologi Islamis tidak laku? Penjelasan terbaik untuk pertanyaan ini dikemukakan oleh Tom Pepinsky, William Liddle, dan Saiful Mujani (2012). Artikel mereka, Testing Islam's Political Advantage: Evidence from Indonesia, berusaha melacak apakah partai-partai Islam memiliki keunggulan komparatif dengan ideologi Islam yang mereka usung. Mari kita masuk sedikit lebih detail soal metodologi yang digunakan oleh Mujani dkk dalam studi ini. Studi ini menggunakan data kuantitatif dari survei opini publik yang dilakukan secara nasional pada 2008. Mereka membagi partai-partai di Indonesia ke dalam dua kelompok besar: partai Islam dan partai Pancasila. Ketiga peneliti itu kemudian mengasumsikan tiga kondisi pengenalan pemilih pada platform ekonomi partai: yakin positif, tidak jelas, dan yakin negatif. Dengan menggunakan pendekatan eksperimental, kedua kelompok partai dan asumsi keadaan itu disimulasikan. Pertanyaan besarnya adalah partai mana yang akan dipilih oleh pemilih jika mereka tahu program ekonomi dua kelompok partai itu sama-sama buruk, sama-sama baik, dan tidak tahu atau ragu. Temuannya sangat menarik. Secara umum, para pemilih Indonesia cenderung menjatuhkan pilihan pada partai-partai Pancasila jika mereka secara jelas mengetahui program kedua partai, baik dalam kesan positif maupun negatif. Partai-partai Islam hanya punya keunggulan untuk terpilih jika platform ekonomi partai tidak jelas di mata pemilih. Jelasnya, dalam pertarungan antara partai Islam dan partai Pancasila, hanya ketika pemilih tidak yakin ihwal tawaran program kedua partai itulah partai Islam cenderung memiliki keunggulan elektoral. Temuan ini secara meyakinkan menantang argumen kaum esensialis yang menyatakan bahwa Islam sekonyong-konyong akan menarik preferensi publik pemilih semata-mata karena ia mengusung Islam. Di sisi yang lain, studi ini juga secara serius menantang kaum reduksionis yang menyatakan Islam sebagai ideologi sama sekali bukan faktor dalam perilaku pemilih Indonesia. Selain itu, studi ini lebih jauh juga menjelaskan bagaimana ideologi itu memiliki keunggulan. Wajar bahwa paper yang disusun oleh Pepinsky, Liddle, dan Mujani ini kemudian diganjar penghargaan Franklin L. Burdette/Pi Sigma Alpha dari American Political Science Association (APSA) sebagai paper terbaik dalam konferensi mereka pada 2012. Mengacu pada penjelasan akademis ini, memburuknya prediksi perolehan suara partai-partai Islam bisa disebabkan oleh dua kemungkinan: persepsi yang baik atas tawaran program dua kelompok partai (Islam dan Pancasila), atau sebaliknya, pemilih yakin bahwa tawaran kebijakan semua partai sama buruknya. Prasyarat kondisi kebimbangan tidak dominan terjadi, sehingga preferensi publik secara umum pada ideologi Islam tidak berkembang. Dengan demikian, kampanye dengan semangat toleransi, pluralisme, dukungan pada pertumbuhan ekonomi, pemberantasan korupsi, reformasi birokrasi, dan sederet agenda politik sekuler lainnya ada kemungkinan adalah strategi terbaik bagi partai-partai Islam untuk bertahan. Menampilkan wajah yang terlalu berwarna Islamis akan membuat partai-partai ini terperosok lebih jauh. Namun meninggalkan ideologi Islam sama sekali juga bukan pilihan bijak bagi mereka. Sebab, masih ada sekelompok pemilih yang memandang Islam sebagai satu-satunya alasan bagi mereka untuk memilih partai. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar