Mencalang Kinerja DPRDSyarif Hidayat ; Peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dosen Program S-3 Ilmu Politik pada Universitas Nasional |
KORAN SINDO, 04 April 2014
”Teliti sebelum membeli”, itulah pepatah tempo dulu, yang masih sangat relevan digunakan dalam memindai para calon anggota legislatif (caleg) pada pemilihan umum (pemilu) mendatang. Sebagaimana diketahui, tujuan utama dari pemilu legislatif (pileg) adalah untuk memilih para wakil rakyat yang akan menduduki kursi di DPRD kabupaten/kota, provinsi, DPR RI, DPD RI. Sejauh ini telah cukup banyak tulisan yang diturunkan oleh para kolega— mulai dari menggunakan metafora ”politisi busuk”sampai dengan ”politisi hitam”—untuk mengingatkan masyarakat agar berhati-hati dalam memilih caleg pada pemilu mendatang. Dengan semangat yang sama, tulisan pendek ini akan lebih memfokuskan perhatian dalam ”mencalang ”(meninjau) kinerja DPRD pada kurun waktu empat tahun, untuk selanjutnya dijadikan sebagai asupan dalam memindai para caleg mendatang sehingga tidak salah dalam ”membeli”. Peran DPRD Secara teoretis, tiada kesangsian bahwa DPRD memiliki peranan penting dalam upaya mewujudkan tatanan pemerintahan yang demokratis di daerah. Dikatakan demikian karena sebagai lembaga legislatif daerah maka salah satu fungsi utama dari DPRD adalah menciptakan checks and balances terhadap lembaga eksekutif yang dipimpin oleh kepala daerah. Begitulah kira-kira logika teoritis dan justifikasi akademis menurut trias politica. Spirit ini pula sejatinya yang telah mendasari reformasi peran DPRD dalam UU Pemerintahan Daerah pertama pasca Orde Baru (UU No. 22 Tahun 1999). Secara tegas disebutkan bahwa DPRD adalah lembaga legislatif daerah, atau bukan lagi sebagai lembaga komplementer bagi eksekutif daerah, sebagaimana diatur pada UU Pemerintahan Daerah Orde Baru (UU No 5 Tahun 1974). Untuk itu, tiga fungsi utama pun dilekatkan pada DPRD, yaitu fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran. Melalui tiga fungsi ini, DPRD diharapkan akan mampu melakukan pengawasan dan menciptakan ”perimbangan kekuasaan”( vis-a-vis eksekutif) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Namun demikian, tercapainya ekspektasi tentang fungsi DPRD tersebut tentunya tidak cukup hanya dengan adanya pernyataan legal-formal pada UU, tetapi juga harus didukung oleh kualitas sumber daya manusia dari anggota DPRD itu sendiri. Data Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang dipublikasikan oleh menko polhukam, BPS, dan Bappenas, bekerja sama dengan UNDP, sangat banyak mengindikasikan bahwa ”masih jauh panggang dari api” terkait dengan ekspektasi dan realisasi fungsi DPRD tersebut. Satu di antara lima variabel pada aspek lembaga demokrasi dalam IDI adalah peran DPRD. Empat variabel lainnya adalah: pemilu yang bebas dan adil; peran partai politik; peran birokrasi pemerintah daerah; dan peradilan yang independen. Data IDI empat tahun terakhir (2009- 2012) menunjukkan bahwa peran DPRD merupakan variabel yang memiliki capaian kinerja paling buruk. Pada tahun 2009, capaian indeks variabel Peran DPRD (rata-rata 33 provinsi) adalah 38,3. Kemudian mengalami kenaikan pada tahun 2010 dan 2011, yaitu 42,89 dan 47,39. Tetapi pada tahun 2012 mengalami penurunan capaian indeks yang cukup signifikan, yaitu hanya sebesar 35,53. Pertanyaannya kemudian adalah, apa faktor penyebab dari buruknya kinerja Peran DPRD tersebut? Dalam dimensi kuantitatif, jawaban atas pertanyaan ini dapat dijelaskan oleh rata-rata (tahun 2009–2012) capaian skor empat indikator yang digunakan dalam mengukur Peran DPRD di 33 provinsi, sebagai berikut: 43,94 untuk Peran DPRD dalam Alokasi Anggaran Pendidikan; 70,97 untuk Peran DPRD dalam Alokasi Anggaran Kesehatan; 11,01 untuk Peran DPRD dalam menghasilkan Perda Inisiatif; dan7,22 untuk Peran DPRD dalam menghasilkan Rekomendasi Kepada Eksekutif. Dalam narasi kualitatif, distribusi capaian skor empat indikator di atas mengindikasikan bahwa kinerja Peran DPRD dalam memperjuangkan alokasi anggaran kesehatan termasuk pada kategori baik. Namun sebaliknya, terjadi pada kinerja peran DPRD dalam memperjuangkan alokasi anggaran pendidikan, termasuk pada kategori buruk. Sementara kinerja peran DPRD dalam menghasilkan perda inisiatif dan rekomendasi kepada eksekutif, kedua- duanya termasuk pada kategori sangat buruk. Kecenderunganini, tentunya, sangat memprihatinkan karena fakta menunjukkan telah terjadi diskrepansi yang sangat besar antara tuntutan fungsi yang seharusnya dilakukan oleh DPRD dan kenyataan yang terjadi. Buruknya kinerja DPRD dalam memperjuangkan alokasi anggaran pendidikan mengisyaratkan bahwa dalam kurun waktu empat tahun terakhir, para anggota dewan yang terhormat itu belum sepenuh hati memiliki komitmen dalam memperjuangkan salah satu kebutuhan dasar dari masyarakat yang diwakilinya. Preposisi yang sama juga berlaku dalam menjelaskan makna tersirat dari ”sangat buruknya” kinerja DPRD dalam menghasilkan perda inisiatif dan rekomendasi kepada eksekutif. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa berbagai aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat—baik ketika anggota DPRD melakukan kunjungan lapangan, pada waktu masyarakat hearing, maupun ketika berdemonstrasi— hampir dipastikan tidak banyak ditindaklanjuti . Disadari atau tidak, bahwa buruknya kinerja DPRD dalam dua hal tersebut telah berkontribusi terhadap ”penyumbatan” saluran hak-hak politik warga. Akibatnya, tidak mengherankan jika kemudian masyarakat telah memilih jalan pintas dengan lebih banyak mengekspresikan aspirasinya dalam bentuk tindak kekerasan, atau bahkan cenderung anarki. Teliti Sebelum Membeli Dengan tidak menutup mata terhadap sejumlah faktor struktural yang juga telah memberi andil terhadap pelemahan peran DPRD, penulis tetap berkeyakinan bahwa kualitas sumber daya manusia—khususnya terkait dengan kompetensi, dan komitmen politik—anggota DPRD itu sendiri merupakan faktor penentu bagi capaian kinerja DPRD sebagai lembaga legislatif. Dengan asumsi seperti ini, sangat beralasan bila ditegaskan bahwa pileg mendatang merupakan momen yang sangat penting dan menentukan dalam memindai sumber daya manusia para calon wakil rakyat yang akan duduk di DPRD. Sebagai warga negara pemilik kedaulatan, kita tentunya sepakat untuk tetap mempertahankan keberadaan dan mengoptimalkan fungsi dari DPRD sebagai lembaga legislatif. Namun, kita juga tidak ingin terus mengamini realitas yang terjadi, di mana pemilu cenderung hanya dijadikan sebagai ”kuda trojan” bagi para politisi untuk menuai legitimasi politik dan untuk ”mempurifikasi” perolehan kekuasaan melalui mekanisme demokrasi (Weber, 1947; Michel, 1962). ”Teliti sebelum membeli” agar tidak terperosok pada lubang yang sama, itulah barangkali terminologi yang paling pas digunakan dalam menilik para calon anggota DPRD yang akan berkompetisi pada pileg mendatang. Jangan pilih para ”pialang politik”—baik caleg incumbent maupun baru—yang hanya tebar pesona dan janji mulia untuk menuai suara, namun tidak berisi. Para politisi seperti ini, tidak lebih seperti bunga dadap, merah merona tetapi tidak beraroma. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar