Takluknya Petani Gula Adig Suwandi ; Praktikus Agrobisnis; Senior Advisor Asosiasi Gula Indonesia |
KOMPAS, 09 April 2014
APAKAH dalam mekanisme pasar masih relevan mempertanyakan keabsahan penetapan harga patokan petani untuk sejumlah komoditas agrobisnis primer yang, karena sifatnya, melibatkan banyak pelaku ekonomi produksi dengan posisi tawar sangat tidak memadai? Pertanyaan ini muncul spontan saban menjelang panen raya tebu atau masa giling pabrik gula. Ekspektasinya: harga patokan dapat berperan sebagai juru selamat menghadapi ketakpastian harga di pasar domestik menyusul kebijakan terbuka, integrasi ekonomi Indonesia ke dalam kapitalisme global, ataupun ketakjelasan arah kebijakan pergulaan nasional. Setelah Dewan Gula Indonesia menyurvei biaya pokok produksi gula di level petani pada masa giling 2014 ke sejumlah sentra produksi dengan melibatkan tim independen dari IPB, UGM, dan Universitas Brawijaya, sebesar Rp 8.791 per kg, memang muncul usul agar floor price minimal Rp 9.500. Kementerian Perdagangan yang menganggap representasi 235 juta konsumen, sementara pelaku produksi gula berbahan baku tebu tak lebih 2 juta jiwa, agaknya keberatan atas hasil survei dan usul floor price. Berbagai argumen Beragam argumen dijejalkan mulai dari murahnya harga gula dunia sekarang sehingga penetapan harga terlalu tinggi dikhawatirkan meningkatkan penyelundupan, pentingnya pengendalian inflasi hingga tetap di bawah dua digit, beban konsumen, sampai masih perlunya industri gula meningkatkan kinerja teknis. Meskipun harga gula secara riil akan ditentukan mekanisme pasar melalui bekerjanya ekses permintaan dan persediaan, adanya floor price diharapkan mampu menggiring pedagang menawar minimal pada harga itu. Sangat mengherankan mengapa banyak pihak terobsesi pada polemik seperti itu. Padahal, penetapan floor price gula hanyalah macan kertas. Artinya, dampak terhadap terbentuknya harga gula di pasar relatif nihil selama otoritas perdagangan tidak berkomitmen mengendalikan stok dalam batas-batas kewajaran. Lebih dari satu dekade berlangsung benturan kepentingan antara gula rafinasi berbahan baku gula kristal mentah impor dan gula lokal dari tebu petani. Sejauh ini nyaris tak terdengar kebijakan proteksi yang efektif dan egaliter mampu memberi jaminan bagi petani dan industri gula meningkatkan daya saing secara terstruktur dan berkelanjutan melalui produktivitas dan efisiensi. Yang terjadi keributan melulu. Petani dan industri gula kedodoran menghadapi perubahan iklim yang meluluhlantakkan basis produksi, dan dihadapkan pula pada tidak bersahabatnya harga, menyusul kuatnya dugaan rembesan gula rafinasi ke pasar eceran. Per definisi hingga kini masih diberlakukan separasi, dalam artian membagi peruntukan masing-masing secara terbatas. Gula lokal untuk konsumsi langsung dan rafinasi untuk bahan baku industri makan/minum. Pelanggaran terhadap merembesnya gula rafinasi hanya diselesaikan melalui pengurangan kuota impor gula kristal mentah tahun berikutnya, bukan dengan sanksi yang memberi efek jera. Ada atau tidak ada floor price, selama stok terkendali, harga jual petani pasti kompetitif dan mampu memotivasi mereka meningkatkan produksi (baik melalui penerapan praktik budidaya terbaik maupun ekspansi areal). Tanpa dikomando pun, petani pasti melakukan upaya tersebut hingga cita-cita swasembada tidak lagi dalam belenggu utopia. Keberpihakan negara Sulit menghapus kesan bahwa negara lebih berpihak kepada gula rafinasi. Setelah tidak mampu menyediakan lahan untuk pembangunan kebun yang diperlukan bagi tambahan pabrik gula baru, negara seperti ingin membelokkan arah swasembada dengan mengadopsi pola rafinasi. Persoalan sama dan sebangun terjadi juga untuk semua komoditas agrobisnis primer yang jauh lebih mudah mengelolanya dengan melakukan impor. Cara berpikir instan inilah yang berpotensi mengamputasi kapabilitas nasional merekonstruksi arah kemandirian pangan melalui optimalisasi pemanfaatan sumber daya lokal dengan keterlibatan komunitas lokal. Harus muncul kesadaran kolektif seluruh komponen bangsa bahwa untuk membenahi karut-marut pergulaan nasional mesti berawal dari keseriusan membela kepentingan dan memproteksi petani secara proporsional. Bentuk proteksi bukan hanya berupa pengendalian impor, melainkan juga terkendalinya stok yang menjamin kepentingan semua pihak. Simultan dengan proteksi, dilakukan pula promosi berupa tersedianya insentif bersifat edukatif bagi pelaku ekonomi di subsektor ini untuk bekerja lebih profesional. Bahwa sebagian pabrik gula berusia tua dan jauh dari standar efisiensi internasional, tentulah harus ada revitalisasi secara menyeluruh menuju industri modern ramah lingkungan berefisiensi tinggi dengan produk derivat beragam yang menguatkan peran petani selaku pemasok bahan baku. Untuk sampai pada tahap ini, diperlukan pengorbanan. Harga gula untuk konsumen boleh saja murah sebagaimana dikehendaki negara, tetapi petani dan industri pengolahnya perlu mendapat insentif memadai agar mereka berkesempatan melaksanakan revitalisasi itu. Dengan kata lain, negara mesti mengeluarkan insentif atau subsidi harga kepada mereka seperti halnya negara produsen gula utama dunia melaksanakannya secara konsisten dan taat asas. Di seluruh dunia industri gula sangat dilindungi meski jumlah petani tergolong tak banyak. Harga ekspor yang jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya produksi dan harga eceran di pasar domestik setidaknya mengindikasikan terjadinya malapraktik atas implementasi liberalisasi perdagangan. Lebih baik Indonesia mengeluarkan subsidi kepada petani sendiri daripada kepada negara lain. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar