Supremasi Massa Politik Tradisional Ahmad Khoirul Umam ; Kandidat doktor ilmu politik di School of Political Science & International Studies, The University of Queensland, Australia |
JAWA POS, 11 April 2014
PEMILU 2014 ini seolah kembali membuktikan bahwa survei dan instrumen statistik tidak se-powerful yang dibayangkan sebelumnya. Kesalahan metodologi dan kekeliruan pemilihan random sampling berpeluang menjadi faktor utama ketidakakuratan hasil survei sejumlah lembaga tersebut. Alhasil, hasil hitung cepat yang dilakukan pada hari pertama setelah pemilu kemarin menunjukkan tren perolehan suara parpol yang jauh di luar prediksi survei-survei statistik selama ini. Fatalnya, perbedaan angka hasil survei sebelumnya dengan hasil quick count pada hari pertama pemilu (9 April) melampaui batas error sampling yang dipatok lembaga-lembaga survei tersebut, yakni 2,5 persen hingga 3 persen. Karena itu, sulit menjelaskan validitas hasil survei selama ini jika perbedaan hasil akhirnya di luar batas error sampling yang ditentukan. PDIP yang selama ini sangat percaya diri dan digadang-gadang memperoleh dukungan mencapai 30 persen untuk mengamankan jalan kandidat presidennya, Joko Widodo, ternyata masih bertengger di bawah 20 persen. Sebaliknya, suara partai-partai Islam dan berbasis ormas Islam justru meningkat meskipun sebelumnya diperkirakan hanya mendapatkan 2 persen hingga 4 persen. PKB, misalnya, yang semula diperkirakan memperoleh kisaran 5 persen suara itu kini ternyata mampu menyentuh 9 persen. Demikian pula, PAN berhasil mendulang sekitar 7 persen suara, PPP sekitar 6 persen, dan juga PKS sekitar 6 persen. Jadi aneh jika saat ini tidak sedikit lembaga survei yang kemudian mempersoalkan ilusi ''Jokowi Effect'', sedangkan hasil-hasil survei mereka sendiri yang telah menciptakan ilusi tersebut. Besar kemungkinan survei-survei tersebut luput menjangkau massa politik tradisional yang kini tampak mampu mengonsolidasikan diri untuk kembali ke partai-partai lama mereka. Perilaku politik para pemilih tradisional itu cukup unik. Sebab, keputusan afiliasi dan pilihan politik mereka tidak sepenuhnya didasarkan kepada kepercayaan mereka terhadap platform partai, atau hasil kontemplasi mendalam terhadap rekam jejak kebijakan politik sebuah partai. Sebaliknya, keputusan politik mereka lebih dipengaruhi aspek-aspek etnohistoris, kedekatan kultural, kedekatan nasab, atau aspek kekerabatan dan yang lain. Faktor-faktor tersebut ternyata masih mampu menggiring mereka untuk menitipkan aspirasi politik ke partai-partai lama, yang sebelumnya mereka tinggalkan. Tentu partai-partai berbasis massa tradisional umat Islam laiknya PKB dan PPP yang memiliki akar kuat di komunitas nahdliyin, atau PAN yang punya akar kuat di masyarakat Muhammadiyah akan tertolong kredibilitas politiknya dengan adanya peningkatan electoral kali ini. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), misalnya. Lima tahun terakhir keputusan nakhoda PKB Muhaimin Iskandar untuk istiqamah menjadi partai koalisi benar-benar diimplementasikan dalam format yang baku. Artinya, ketika sejumlah partai koalisi sedang ''genit'' melakukan manuver politik dengan menyerang balik pemerintahan yang didukungnya dalam sejumlah kasus, PKB justru menjadi ''anak manis'' yang sami'na wa atho'na terhadap titah partai penguasa (the ruling party) untuk senantiasa mengamankan pemerintahan dari serangan oposisi maupun karib sesama koalisi. Saat yang sama, PKB yang dianugerahi dua posisi kementerian di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) juga dianggap sejumlah kalangan belum mampu mengoptimalkan kekuatan politiknya untuk menciptakan terobosan besar yang berdampak signifikan terhadap perbaikan negara. Tidak ada capaian besar (glaring achievement) di sana. Namun, hanya dengan berbekal strategi politik pasif dan agresivitas menggalang perubahan progresif di setiap kementerian yang tidak optimal, PKB masih mampu mendulang 9 persen suara. Hal sama juga terjadi pada Partai Amanat Nasional (PAN) yang memiliki basis kuat di masyarakat Muhammadiyah. Keputusannya untuk istiqamah di internal koalisi dan kemampuannya meredam konflik internal yang sebelumnya muncul akibat lahirnya faksi lain di kalangan muda Muhammadiyah yang mendirikan Partai Matahari Bangsa (PMB) telah mengantarkan PAN menjadi partai yang relatif stabil secara internal. Stabilitas itulah yang menjadi kunci partai-partai berbasis ormas Islam untuk mengonsolidasikan kekuatan massa tradisionalnya yang sempat terpecah akibat konflik internal. Fenomena itu menegaskan bahwa di tengah gempuran pemberitaan media yang menuntut masyarakat berpikir kritis dan berwawasan terbuka secara politik, supremasi massa pemilih tradisional ternyata masih kuat di level grassroots. Memahami realitas tersebut, partai-partai berbasis ormas Islam seharusnya semakin sadar bahwa massa pemilih tradisional merupakan modal dasar politik yang potensial. Seharusnya, kepemilikan aset itu mampu melecut motivasi dan kesadaran partai-partai politik tersebut untuk semakin cerdas, berbenah, menata ulang, dan mengonsolidasikan potensi politiknya menjadi kekuatan orisinal yang mampu menjadi trend setter bagi perubahan bangsa secara riil, tidak hanya ''membebek'' kepada partai yang lebih besar demi mengharapkan kursi menteri yang hanya akan menguntungkan para elitenya. Jika mereka tidak berbenah dan terus bersikap manja, tak ubahnya mereka seperti ''benalu'' yang menggantungkan hidup kepada suplai dukungan politik massa tradisional tanpa mampu memberikan dampak positif bagi perubahan nasib bangsa dan masyarakat di level grassroots secara langsung. Pada titik itulah, tidak jelas apakah massa politik tradisional tersebut yang ''bodoh'', ataukah ''dibodohi''. Wallahu a'lam bis-sawab. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar