Serius, AS Tak Campuri Pemilu 2014?Derek Manangka ; Wartawan Senior |
INILAH.COM, 20 Februari 2014
Amerika Serikat (AS) secara implisit menyatakan 'tidak ikut campur' dalam Pemilu 2014 di Indonesia. Makna politiknya, AS tidak punya figur yang didukung untuk menjadi Presiden periode 2014-2019. Sinyal itu dinyatakan John Kerry, Menlu AS yang awal pekan ini mengakhiri kunjungan tiga harinya di Jakarta. Jawaban 'Orang Kuat' di Gedung Putih, setelah Presiden Obama dan Wakil Presiden John Biden, wajar tetapi juga mengundang pertanyaan. Wajar karena secara etika diplomatik, memang tidak mungkin seorang petinggi AS mengaku negaranya ikut campur dalam pemilu Indonesia. Sebaliknya pertanyaan soal kemungkinan AS mencampuri pemilu Indonesia, juga wajar. Karena kepentingan AS di Indonesia cukup banyak. Sejak 1966, AS menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara penting dalam strategi globalnya. Dalam soal letak geografis, Indonesia berada di jalur internasional. Dengan posisi itu semua kapal yang menuju dan dari Pantai Barat AS, harus melewati Indonesia. Kapal-kapal itu memuat dan membawa berbagai kebutuhan penting Washington. Dengan kondisi seperti itu, AS berkepentingan punya hubungan baik dengan pemimpin atau Presiden RI. Kalau memungkinkan, AS akan bermanuver dalam seleksi kepemimpinan nasional. Pernyataan Kerry mengundang Tanya, apakah mungkin AS mau 'membiarkan' Indonesia dipimpin oleh Presiden yang tidak punya hubungan baik dengan Washington? Dan Pemilu 2014 merupakan salah satu seleksi politik terpenting untuk mencari pemimpin Indonesia. Posisi AS sendiri di Asia tengah menghadapi saingan kuat dari RRC bahkan Rusia. Dua negara ini, ingin punya pengaruh lebih besar di Asia dan Indonesia merupakan salah satu negara terpenting. Sementara dari berbagai dokumen rahasia baik yang dibongkar oleh Wikileaks dan Edward Snowden menunjukkan diplomat-diplomat AS yang nota bene anak buahnya John Kerry, sangat aktif melakukan pemantauan situasi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Tujuannya untuk menentukan eksekusi yang harus diambil Washington baik untuk kepentingan domestik maupun global. Bahkan dokumen CIA yang telah berusia 40 tahun yang sudah boleh diakses publik, menunjukkan peran AS dalam menentukan arah politik pemerintahan Orde Baru pimpinan Jenderal Soeharto. Antara lain dengan memberikan daftar nama politisi Indonesia yang harus dieksekusi TNI AD. April 1999, adalah Jimmy Carter, Presiden AS yang ke-39 yang khusus terbang ke Jakarta memantau penyelenggaraan Pemilu Reformasi. Melalui Carter Center, sebuah organisasi nirlaba, Jimmy Carter yang sudah meninggalkan Gedung Putih pada 20 Januari 1981, bersama tim besarnya, mengawasi pelaksanaan Pemilu Reformasi Indonesia. Keabsahan Pemilu 1999 mendapatkan semacam persetujuan dari Jimmy Carter. Persetujuan tokoh AS itulah yang kemudian mendorong dunia ikut mengakui pemerintahan baru yang dihasilkan oleh Pemilu Reformasi. Terbersit di peristiwa ini, Jimmy Carter tidak sekadar seorang mantan Presiden AS. Kehadirannya di Pemilu 1999 itu, tak bisa dilepaskan dari kebijakan umum pemerintahan AS. Pada 2004 yang merupakan pemilu demokrasi pertama Indonesia, AS diyakini mendukung SBY. Dukungan antara lain tercermin dari sikap Menlu pada waktu itu, Colin Powell. Dua hari sebelum Pilpres 5 Juli 2004, Powell berkunjung ke Jakarta. Keesokan harinya Powell secara khusus menemui capres SBY. Sekalipun alasannya untuk reuni sebagai sesama jenderal lulusan Fort Benning, AS, pusat pendidikan militer baret hijau (Green Barets). Tapi pertemuan itu memiiki pesan politik yang jelas bahwa Powell sengaja dikirim Presiden George Bush Jr untuk mendukung SBY. Perspektif di atas menguat, sebab Powell yang seharusnya bertemu Megawati Soekarnoputri justru membatalkannya secara sepihak. Alasan protokol Powell dan Kedubes AS di Jakarta, pesawat "Air Force Three" yang menerbangkan Menlu AS itu, terlambat mendarat di Halim Perdana Kusumah. Sehingga keterlambatan ini membuat jadwal pertemuannya dengan Megawati yang saat itu bersaing dengan SBY dalam Pilpres 2004, tidak terkejar. Selama tiga hari di Jakarta, John Kerry tidak bertemu dengan politisi yang disebut-sebut akan maju dalam Pilpres 2014. Sehingga barangkali memang benar, AS tidak ikut campur dalam Pemilu Indonesia. Namun bisa jadi, jawaban Menlu AS itu, sifatnya sementara. Kelak AS akan menunjukkan sikapnya, setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mengumumkan nama-nama capres. Pengumumannya, pasca Pemilu Legislatif 9 April 2014. Oleh sebab itu pernyataan Menlu John Kerry masih perlu dilihat sebagai jawaban yang masih di tahapan koma. Belum titik. Pernyataan itu semata-mata sebuah jawaban diplomatis. Di 1989 misalnya saat demokrasi di Indonesia masih diikat ketat oleh rezim militer pimpinan Jenderal Soeharto, adalah Paul Wolfowitz, Dubes AS untuk Indonesia yang mencampuri politik Indonesia. Melalui pidato perpisahannya di American Center, Wolfowitz secara implisit menyatakan perlunya keterbukaan politik di Indonesia. Pidato itu ditandai sebagai pesan kuat AS kepada para advokat demokrasi di Indonesia untuk segera melakukan perlawanan terhadap rezim yang tidak demokratis. Memang dibutuhkan sembilan tahun setelah pidato Wolfowitz lalu di Indonesia terjadi reformasi dan demokratisasi. Namun persitiwa ini hanya satu dari sekian banyak indikator bagaimana AS selalu ingin atau berkepentingan mencampuri politik di Indonesia. Nah bagi bangsa Indoneia sendiri tentu jauh lebih baik kalau Pemilu dapat digelar tanpa campur tangan asing. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar