Reformasi Birokrasi Menyisakan Persoalan Harry Mulya Zeini ; Pemerhati Pemerintahan, Tinggal di Kota Tangerang |
MEDIA INDONESIA, 01 April 2014
“Ketika pemerintah telah amanah dalam mengelola anggaran publik, rasa curiga itu akan hilang dengan sendirinya. Kepercayaan masyarakat (civil society) kepada pemerintah dengan sendirinya terbangun.” PASCAPENETAPAN Gubernur Banten menjadi tersangka kasus suap pemilu kada Kabupaten Lebak, hingga saat ini penyelenggaraan pemerintahan menjadi stagnan dan tidak menentu. Selain itu, dengan tidak ada pendelegasian kewenangan kepada wakil gubernur, roda pemerintahan pada Provinsi Banten agak tersendat. Untuk menyikapi hal itu, masyarakat Banten yang diprakarsai para tokoh pendiri Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten menggelar Kongres Rakyat Banten II, dengan maksud memberikan masukan berupa rekomendasi kepada pemerintah baik pusat maupun daerah. Wakil Gubernur Banten Rano Karno, saat membuka acara kongres tersebut, menyatakan bahwa pemprov di masa depan akan menciptakan sebuah tata kelola birokrasi pemerintahan yang baik. Lontaran pernyataan itu pun sebagai bentuk tindakan antisipatif terhadap kinerja birokrasi Pemprov Banten yang sekarang ini dinilai sarat KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) dan sangat buruk terutama dalam pengelolaan APBD (anggaran, penerimaan, dan belanja daerah) oleh masyarakat Banten. Rasa curiga itu akan muncul tatkala pemerintah dianggap tidak amanah dalam mengelola anggaran publik. Akan tetapi, ketika pemerintah telah amanah dalam mengelola anggaran publik, rasa curiga itu akan hilang dengan sendirinya. Kepercayaan masyarakat (civil society) kepada pemerintah dengan sendirinya terbangun. Secara teoritis, pemerintahan bersih atau istilah dalam ilmu pemerintahannya ialah clean governance tidaklah sebatas pada bagaimana pemerintah menjalankan wewenangnya dengan baik, tetapi--lebih penting lagi--ialah bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi dan mengontrol pemerintah dalam menjalankan wewenang tersebut dengan baik (accountable). Sebab sering kali tata pemerintahan yang baik dipandang sebagai `sebuah bangunan dengan 3 tiang'. Ketiga tiang penyangga itu ialah transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Persempit peluang Pertama, transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi terkait, seperti berbagai peraturan dan perundang-undangan serta kebijakan pemerintah, dengan biaya yang minimal. Informasi sosial, ekonomi, dan politik yang ada (reliable) dan berkala haruslah tersedia dan dapat diakses publik (biasanya melalui filter media massa yang bertanggung jawab). Artinya, transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi yang memadai disediakan untuk dipahami dan (untuk kemudian) dapat dipantau. Transparansi jelas mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan publik. Sebab akses penyebarluasan berbagai informasi yang selama ini hanya dimiliki pemerintah dapat memberikan kesempatan kepada berbagai komponen masyarakat untuk turut mengambil keputusan. Oleh karena itu, perlu dicatat bahwa informasi itu bukan sekadar tersedia, melainkan juga relevan dan bisa dipahami publik. Selain itu, transparansi itu dapat membantu untuk mempersempit peluang korupsi di kalangan para pejabat publik dengan `terlihatnya' segala proses pengambilan keputusan oleh masyarakat luas. Kedua, akuntabilitas, yakni kapasitas suatu instansi pemerintahan untuk bertanggung gugat atas keberhasilan maupun kegagalannya dalam melaksanakan misinya dalam mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan secara periodik. Artinya, setiap instansi pemerintah mempunyai kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pencapaian organisasinya dalam pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepadanya, mulai dari tahap perencanaan, implementasi, sampai pada pemantauan dan evaluasi. Akuntabilitas merupakan kunci untuk memastikan bahwa kekuasaan itu dijalankan dengan baik dan sesuai dengan kepentingan publik. Untuk itu, akuntabilitas mensyaratkan kejelasan tentang siapa yang bertanggung gugat, kepada siapa, dan apa yang dipertanggung gugatkan. Karenanya, akuntabilitas bisa berarti pula penetapan sejumlah kriteria dan indikator untuk mengukur kinerja instansi pemerintah, serta mekanisme yang dapat mengontrol dan memastikan tercapainya berbagai standar tersebut. Berbeda dengan akuntabilitas dalam sektor swasta yang bersifat dual-accountability structure (kepada pemegang saham dan konsumen), akuntabilitas pada sektor publik bersifat multipleaccountability structure. Ia dimintai pertanggungjawaban oleh lebih banyak pihak yang mewakili pluralisme masyarakat. Rincinya, kinerja suatu instansi pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan terhadap atasan, anggota DPRD, organisasi nonpemerintah, lembaga donor, dan komponen ma syarakat lainnya. Semua itu berarti pula akuntabilitas internal (administratif) dan eksternal itu menjadi sama pentingnya. Akhirnya, akuntabilitas menuntut adanya kepastian hukum yang merupakan resultan dari hukum dan perundangan-undangan yang jelas, tegas, diketahui publik di satu pihak, serta upaya penegakan hukum yang efektif, konsisten, dan tanpa pandang bulu di pihak lain. Kepastian hukum juga merupakan indikator penting dalam menimbang tingkat kewibawaan suatu pemerintahan, legitimasinya di hadapan rakyatnya, dan dunia internasional. Lingkungan kondusif Ketiga, partisipasi, yang merupakan perwujudan dari berubahnya paradigma mengenai peran masyarakat dalam pembangunan. Masyarakat bukanlah sekadar penerima manfaat (beneficiaries) atau objek belaka, melainkan agen pembangunan (subjek) yang mempunyai porsi yang penting. Dengan prinsip `dari dan untuk rakyat', mereka harus memiliki akses pada pelbagai institusi yang mempromosikan pembangunan. Karenanya, kualitas hubungan antara pemerintah dan warga yang dilayani dan dilindunginya menjadi penting di sini. Hubungan yang pertama mewujud lewat proses suatu pemerintahan dipilih. Pemilihan anggota legislatif dan pimpinan eksekutif yang bebas dan jujur merupakan kondisi inisial yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa hubungan antara pemerintah--yang diberi mandat untuk menjadi `dirigen' tata pemerintahan ini--dengan masyarakat (yang diwakili legislatif) dapat berlangsung dengan baik. Pola hubungan yang kedua ialah keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Kehadiran tiga domain pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil dalam proses itu amat penting untuk memastikan bahwa proses `pembangunan' tersebut dapat memberikan manfaat yang terbesar atau `kebebasan' (mengutip Amartya Zen) bagi masyarakatnya. Pemerintah menciptakan lingkungan politik, ekonomi, dan hukum yang kondusif. Sektor swasta menciptakan kesempatan kerja yang implikasinya meningkatkan peluang untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Akan halnya masyarakat sipil (lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, koperasi, serikat pekerja, dan sebagainya) memfasilitasi interaksi sosial-politik untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas ekonomi, sosial, dan politik. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar