Quo Vadis Pemuda? Ahan Syahrul Arifin ; Ketua PB HMI periode 2013-2015 |
HALUAN, 08 April 2014
Berulangkali para ahli mengingatkan akan pentingnya bonus demografi. Sebetulnya sederhana saja mengartikan bonus demografi. Yakni saat jumlah penduduk produktif berada di puncak piramida. Besarnya jumlah penduduk produktif ini tentu akan sangat bermanfaat bagi peningkatkan aktivitas pembangunan di suatu negeri. Indonesia sendiri diprediksikan akan mencapai titik ini, seperti diungkap Prof (emeritus) Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dalam buku “Menerawang Indonesia” pada rentang tahun 2030-an. Bonus demografi tidak akan datang dua kali. Jika kita gagal memanfaatkan momentum ini, bisa fatal akibatnya. Terutama pasca 2040 nanti, saat itu jumlah terbanyak penduduk produktif akan masuk masa tua. Produktivitas akan menurun, tenaga berkurang, sakit mudah mendera. Masa dimana mereka memasuki masa istirahat. Bayangkan saja, jika saat itu tiba, saat kesejahteraan belum baik, negara masih miskin, saat penduduk usia senja memenuhi setiap gang. Beban penduduk produktif tentunya akan lebih berat dan besar. Jika diakumulasikan, negara akan mendapatkan beban yang sangat besar. Dalam satu sisi, bonus demografi akan jadi peluang besar bagi suatu negara untuk mencapai titik tertinggi dalam segala bidang. Tapi begitu salah urus, bonus demografi akan jadi ancaman yang fatal di masa depan. China dan Brazil adalah contoh negara yang berhasil melewati masa ini. Keberhasilannya memantik kinerja pembangunan yang melonjak tajam. Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan PDB/perkapita dan peningkatan kesejahteraan penduduk merupakan parameter yang menunjukkan keberhasilan tersebut. Bahkan dalam kapasitas tertentu, China menyodok menjadi penantang serius Amerika dalam penguasaan aset-aset ekonomi dunia. Kini kesempatan, peluang dan tantangan di tangan Indonesia. Salah ambil kebijakan, bisa runyam di masa depan. Namun butuh prasyarat tertentu untuk lolus ujian ini. Salah satu kanalisasi adalah membangun generasi produktif yang inovatif, kreatif dan terampil. Sektor pendidikan akan jadi tombak penting untuk membingkai lahirnya generasi emas tersebut. Asumsi apapun yang dipakai, dengan bekal pendidikan tinggi, seseorang akan memiliki informasi, data, analisa terhadap berbagai persoalan. Masalahnya kemudian, pencapaian angka lulusan perguruan tinggi di Indonesia masih sangat rendah bila dibandingkan dengan Malaysia, Filipina dan Singapura. Menurut World Bank (2007), capaian Indonesia untuk pendidikan tinggi (Tertiary Education) berada di angka 6,5 persen. Bandingkan dengan Malaysia 20,3 persen, Filipina 27,7 persen, dan Singapura 23,7 persen. Merunut data di atas, kompetensi untuk sektor pendidikan, Indonesia masih ketinggalan. Rendahnya jumlah lulusan berimbas pada daya saing anak bangsa. Tak salah bila, strata TKI Indonesia lebih rendah dari Filipina. Peningkatan kuantitas lulusan perguruan tinggi memang harus jadi prioritas tanpa juga menanggalkan kualitas lulusan. Dengan anggaran pendidikan sebesar 20 persen, kesempatan bagi anak-anak bangsa untuk mengenyam pendidikan tinggi wajib ditingkatkan. Tak ada cara lain untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, selain melambari generasi muda dengan pendidikan tinggi. Ongkos mahal investasi pendidikan tidak akan pernah sia-sia. Perubahan-perubahan besar di Indonesia selalu dimotori generasi terdidik yang tercerahkan dan tersadarkan. Itulah kenapa, peningkatakan kuantitas lulusan perguruan tinggi juga harus linear dengan kualitasnya. Jangan sampai tingginya kuantitas lulusan hanya melahirkan pengangguran intelektual. Bukan menjadi solusi, malah beban baru. Maka penting untuk digarisbawahi, kurikulum dan materi pelajaran harus mampu membangun kesadaran dan kepercayaan anak didik untuk bersaing dalam medan kompetisi global yang ketat, kompetitif dan penuh dengan tantangan. Kualitas SDM akan menjadi pembeda dalam persaingan bebas. Gejala, tantangan, tabiat masa depan yang membutuhkan tangan-tangan terampil untuk menaklukkannya. Peran anak-anak muda, dalam konteks ini sangaturgent bagi perubahan. Change Makers Di masa lalu, anak-anak muda memainkan peran yang besar dalam menggerakkan perubahan. Dinamika kehidupan berbangsa selalu dimotori gerakan-gerakan anak muda yang menempatkan ide dan gagasan sebagai tulang punggung perubahan. Disadari atau tidak, gerakan anak-anak muda mempunyai potensi yang sangat besar dalam upaya membangun peradaban yang maju dan bermartabat. Dengan bekal pengetahuan, wawasan keilmuannya, jaringan dan penempaan diri yang berjenjang berlapis, sudah barang tentu mahasiswa mempunyai peranan yang niscaya dalam mengubah sebuah keadaan. Jamaknya, mahasiswa dengan ide dan gagasaannya selalu di tempatkan sebagai lokomotif penyuara perubahan. Hal ini bisa kita baca dari berbagai rangkaian sejarah kehidupan bangsa. Mulai dari kebangkitan nasional 1908 hingga peristiwa berdarah Mei 1998. Mahasiswa selalu aktif di garda depan perubahan bangsa. Artinya, ide progesif dan visioner yang dilontarkan mahasiswa mampu melampaui keadaan dan membawa sebuah kebaikan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, kini, tidak jarang kita juga mendengarkan kisah bagaimana perilaku menyimpang mahasiswa. Perilaku yang sesungguhnya tidak mencerminkan karakter mahasiswa. Perilaku destruktif yang bertolak belakang dengan sisi kepahlawanan mahasiswa yang di mitoskan sebagai bagian penting dalam alur perubahan. Ini bisa kita saksikan melalui banyaknya pemberitaan media tentang banyaknya pengedar narkoba dari kalangan mahasiswa, seks bebas yang merambah kalangan mahasiswa, perkelahian dan berita-berita negatif lainya. Keadaan ini tentu berkebalikan seratus persen dengan aktivitas mahasiswa yang mampu menempatkan dirinya sebagai agen perubahan. Berpijak dalam pusaran sejarah, dan gelagat masa depan yang cerah gilang gemilang. Perjalanan bangsa tidak bisa dilepaskan dari bagaimana kaum muda mengambil jalan kepeloporan. Soekarno bahkan dengan lantang menyatakan, untuk mengubah dunia ia hanya butuh sepuluh pemuda. Mengingat peran vitalnya, jelas peran serta anak-anak muda yang kini memasuki usia produktif harus mampu disalurkan di jalan yang benar. Kesadaran sejarah bahwa mereka yang hidup zaman ini akan menentukan nasib bangsa mesti disuntikkan sebagai paradigma. Sehingga anak-anak muda zaman ini memiliki kesadaran akan masa depan yang cepat berubah. Kesadaran akan masa depan, diharapkan membuat generasi muda tak henti untuk belajar, berkarya dan terus meningkatkan kapasitas dirinya. Sebelum pada akhirnya mereka duduk menjadi penentu kebijakan. Rentang masa bonus demografi sudah di depan mata. Peluang ini tidak akan datang dua kali. Salah melangkah, masa depan gemilang siap-siap tergadaikan. Jalan apakah yang akan kita ambil ? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar