Prospek Poros Keempat Eep Saefulloh Fatah ; Pendiri dan CEO PolMark Indonesia Inc, Pusat Riset dan Konsultasi Political Marketing |
KOMPAS, 12 April 2014
SUKSES itu banyak orangtuanya. Gagal itu yatim piatu. Biasanya, peribahasa inilah yang memandu penggabungan kekuatan antarpartai politik. Artinya, partai-partai akan cenderung terserap oleh daya magnet elektoral paling kuat dan menggabungkan diri dengan sang calon pemenang. Sebaliknya, sang underdog yang diperkirakan kalah akan cenderung kesepian. Pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2004, para politisi dan partai politik tampak kesulitan saling takar kekuatan. Potensi sukses dan gagal juga sulit didefinisikan. Kepercayaan terhadap kesaktian survei juga masih rendah. Koalisi pengusungan pasangan presiden dan wakil presiden pun memencar. Terlebih-lebih pada saat itu berlaku ”aturan peralihan” yang hanya mencantumkan angka 3,5 persen kursi legislatif atau 5 persen suara nasional partai sebagai syarat kelayakan pencalonan. Maka, lima pasangan kandidat pun ikut berlaga. Pilpres 2009 ditandai suasana berbeda. Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai presiden petahana ada di atas angin, diramalkan akan memenangi kontestasi. Walhasil, bak terserap magnet berdaya besar, partai-partai mengumpul di sekitar Partai Demokrat dan Yudhoyono-Boediono yang kemudian memang terbukti berhasil memenangi pilpres dalam satu putaran. Berhulu pada hasil Pemilu Legislatif (Pileg) 9 April lalu, peta koalisi partai semacam itu apakah juga yang akan bermuara pada pilpres nanti? Sambil menunggu Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyelesaikan perhitungan, sejumlah dugaan awal bisa diajukan. Daya tolak partai Berdasarkan hasil hitung cepat yang dilakukan Kompas dan lembaga lainnya, Pemilu 2014 menghasilkan kekuatan partai politik yang menyebar, tidak mengumpul. Sebegitu menyebarnya sehingga postur partai-partai hanya tersisa ke dalam dua kategori saja: partai sedang dan partai kecil. Partai sedang adalah partai yang mendulang 10-20 persen pemilih, sementara partai kecil adalah yang menggaet suara di bawah itu. Dengan menimbang ambang batas kekeliruan hitung cepat (sekitar plus minus 1 persen), ada tiga partai yang terkategorikan partai sedang, yaitu PDI-P, Partai Golkar, dan Partai Gerindra. Adapun Partai Demokrat dan PKB berada di garis perbatasan. Selebihnya adalah partai kecil, yakni PAN, PKS, PPP, Partai Nasdem, dan Partai Hanura. Tanpa kecuali, semua partai mendapatkan dukungan yang lumayan jauh di bawah target yang mereka patok. Apa yang terjadi? Mengapa setelah mengusung kandidat presiden yang memiliki elektabilitas meyakinkan—terutama PDI-P dengan Joko Widodo alias Jokowi dan Gerindra dengan Prabowo Subianto— partai-partai tersebut gagal mendulang suara besar? Dugaan saya, ada dua penjelasan yang bisa dipakai. Pertama, otonomi relatif pemilih. Kandidat presiden, sekuat apa pun dia tidak bisa menjadi alat mobilisasi pemilih yang efektif ke partai yang mengusung sang kandidat itu. Pemilih punya preferensi pilihan pada tokoh (untuk pilpres) dan partai (dalam pileg) yang bisa saja berbeda. Baik calon pemilih Jokowi maupun Prabowo dengan santai mereka bisa memilih partai selain PDI-P ataupun Gerindra. Dalam bentuknya yang berbeda, Pilpres 2004 sudah membuktikan itu. Dalam putaran kedua Pilpres 2004, koalisi besar Megawati-Hasyim Muzadi gagal menaklukkan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla yang diusung koalisi partai jauh lebih kecil. Kedua, daya tarik kandidat versus daya tolak partai. Berdasarkan sejumlah survei, baik Jokowi maupun Prabowo, memiliki potensi elektabilitas yang nyaris dua kali lipat perolehan suara partai yang mengusung mereka. Sebagian calon pemilih Jokowi (yang memiliki elektabilitas sekitar 40 persen) tak memilih PDI-P. Hampir sebagian calon pemilih Prabowo (yang memiliki elektabilitas sekitar 20 persen) tak memilih Gerindra. Artinya, daya tarik kandidat ternyata mesti berkelahi dengan daya tolak partai. Gejala yang sebetulnya wajar ini semestinya jadi pembelajaran untuk pilpres. Jika partai mengabaikan fakta daya tolak partai itu dan tak berusaha membersihkan sang kandidat dari unsur-unsur pembentuk daya tolak itu, sang kandidat bisa terancam gagal. Maka, penelusuran soal unsur-unsur pembentuk daya tolak partai selayaknya menjadi bagian penting penyusunan strategi pemenangan pilpres. Dan sejarah mengajarkan bahwa surplus percaya diri berlebihan dan pendekatan pemenangan yang pongah tinggi hati akan mengantar siapa pun ke kekalahan belaka. Berbasis penyebaran suara partai yang sudah terpeta boleh jadi proses pembentukan koalisi partai untuk Pilpres 2014 akan lebih mirip suasana 2004 dibandingkan 2009. Artinya, koalisi lebih menyebar tanpa pengumpulan yang semencolok koalisi pendukung Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono pada 2009. Poros keempat? Sejauh ini tersedia tiga potensi poros pengusungan kandidat Pilpres 2014: Jokowi, Prabowo dan Aburizal Bakrie. Dua poros pertama tampaknya sudah mulai membangun soliditasnya. Poros ketiga, Poros Aburizal, ada dalam posisi yang harus sangat siaga. Mengapa? Sebab, jika mereka terlalu percaya diri dan bekerja kurang sigap, serta jika ada pemain lain dengan penguasaan political marketing yang layak, bukan tak mungkin mencuat poros keempat. Poros keempat bisa terbangun dari kumpulan partai politik yang tak terakomodasi dalam Poros Jokowi ataupun Poros Prabowo, dan tak diajak serta oleh Poros Aburizal yang terlalu percaya diri. Poros keempat ini bisa memberi efek kejut pada calon pemilih jika berhasil memilih kandidat yang memiliki posisi dan diferensiasi yang unik dan segar. Namun, pembentukan poros keempat yang memberi efek kejut itu hanya realistis dibayangkan manakala para pemimpin partai bukan saja bekerja dengan sigap, melainkan juga dengan cara berpikir di luar kelaziman lama. Sayangnya, mereka yang sigap kerap terkurung dalam cara berpikir lama dan mereka yang berpikir dengan cara baru tak punya perangkat politik untuk bergerak sigap. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar