Prabowo Bangunkan “Macan Tidur”Derek Manangka ; Wartawan Senior |
INILAH.COM, 26 Maret 2014
"Kalau saya bilang Anda ini penculik dan pembunuh bagaimana?" begitu potongan kalimat Ikrar Nusa Bakti, pengamat politik dari LIPI, mengomentari pidato Prabowo dalam kampanye Pemilu 2014. Pernyataan peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) ini dalam waktu singkat menyebar atau disebarkan oleh media-media sosial. Sebelumnya hanya dikutip oleh media mainstream. Selain komentar yang menohok langsung ke pribadi Prabowo Subianto, Ikrar Nusa Bakti juga menilai isi pidato politik pendiri Partai Gerindra itu, sebagai hal yang tidak mendidik. Dalam soal yang terakhir ini, Ikrar Nusa Bakti merujuk pernyataan-pernyataan Prabowo yang sifatnya menyerang soal pribadi orang lain. Ikrar mengingatkan salah satu contoh kampanye berkualitas yang dipertontonkan Barack Obama dan Hillary Clinton, sewaktu keduanya bersaing memperebutkan tiket capres Partai Demokrat di tahun 2008. Obama tak pernah menyinggung 'kelemahan' Hillary dalam soal perselingkuhan Bill Clinton, suaminya dengan sejumlah wanita. Keduanya bersaing dalam soal program. Dalam catatan INILAHCOM, semenjak mantan Danjen Kopassus itu gencar berkampanye di Pemilu 2014, pernyataan yang bersifat menyerang terhadap Prabowo Subianto bukan hanya datang dari Ikrar Nusa Bakti. Ada pula yang (secara tidak langsung) datang dari lawan politik utamanya. Yaitu Wiranto, bekas atasan Prabowo di TNI dan sekaligus pendiri Partai Hanura. Sejumlah media memposting kembali pernyataan Wiranto, yang di 1998 menjabat Panglima TNI sementara Prabowo sebagai Panglima Kostrad. Isinya berupa penegasan yang mengklarifikasi bahwa Prabowo Subianto dipecat dari TNI karena keterlibatannya dalam aksi penculikan di tahun 1990-an, terhadap sejumlah aktivis. Posting ini, sebetulnya merupakan pengulangan. Sebab tahun lalu, hal tersebut sudah pernah ditayangkan oleh berbagai media. Namun tahun ini kembali ditayangkan, begitu Prabowo mulai 'menyerang' lawan-lawan politiknya. Selain itu ada pula analisa seorang blogger Kompasiana yang bermukim di Amerika Serikat. Josef H.Wenas, demikian nama sang blogger menganalisa sikap-sikap Prabowo belakangan ini. Kepada pembaca Josef Wenas menyarankan agar menggali informasi tentang Prabowo melalui Google Search. Yang perlu dicari tahu bermacam-macam termasuk status perkawinan dan keluarga. Wenas kemudian menyimpulkan, Prabowo memiliki kesamaan dengan Adolf Hitler, pemimpin Nazi dari Jerman yang dikenal temperamental dan mengeksekusi jutaan warga Yahudi. Penamaan dan penyamaan Prabowo dengan Hitler mengandung pesan destruktif bagi capres Gerindra tersebut. Sebab citra Hitler, dimana pun di belahan dunia ini, tak ada yang positif. Pada saat yang hampir bersamaan, juga muncul posting-posting adanya tuntutan buruh di perusahaan milik Prabowo yang belum menerima gaji. Tak perlu dijelaskan apa maknanya. Intinya mengarah pada soal kelemahan Prabowo yang selama ini ditutupi. Semua fakta di atas mengindikasikan, perlawanan atau penolakan terhadap Prabowo Subianto, tiba-tiba saja mengemuka secara bersamaan. Mereka yang menolak Prabowo, selama ini nampaknya diam seribu bahasa sepanjang calon presiden dari Partai Gerindra ini tidak mengganggu ketenangan orang lain. Selama Prabowo menyuarakan idealisme, nasionalisme dan menyemangati anak bangsa untuk bangkit, tak ada penolakan apalagi perlawanan. Tetapi begitu Prabowo mencoba mengesankan, dialah salah satu putera terbaik bangsa dan yang lainnya tidak, itulah yang mengundang reaksi. Selama Prabowo membuat pernyataan yang terukur, tidak menyerang capres lainnya, selama itu pula kehadiran putera begawan ekonomi Indonesia almarhum Sumitro Djojohadikusumo itu di panggung politik, tak diganggu oleh siapa-siapa. Memang diskurs yang diangkat Prabowo Subianto demikian pula tanggapan Ikrar Nusa Bakti, merupakan topik yang hangat pada saat ini. Isu tentang siapa yang pantas menjadi capres atau Presiden RI periode 2014 - 2019, merupakan isu yang ibarat makanan, merupakan penganan yang lezat untuk dinikmati. Bagaimana tidak? Prabowo mengomentari atau menyindir prilaku politik Jokowi capres PDIP yang tidak pernah menyerang siapapun termasuk Prabowo sendiri. Ketika sindiran itu diangkat Prabowo, suasana kebatinan yang dicerminkan media-media, menunjukkan, Jokowi merupakan sosok yang diminati oleh banyak orang menjadi capres. Salah satu yang menarik dari perdebatan ini, Prabowo tidak pernah menyebut nama Jokowi. Tetapi bagi kaum intelektual seperti Ikrat Nusa Bakti dengan cepat bisa membaca, kemana arah sindiran Prabowo dialamatkan. Sementara Ikrar Nusa Bakti, seorang intelektual sipil yang sejak era Orde Baru selalu kritis pada setiap prilaku militer yang represif, kelihatannya belum begitu bisa menerima kehadiran tokoh berlatar belakang militer di panggung politik nasional, seperti Prabowo. Oleh sebab itu prilaku mantan Danjen Kopassus maupun Panglima Kostrad, termasuk hal yang terus menerus dicermati. Selama Prabowo berkampanye baik di era menjelang Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 dan tema yang dia pilih masih seputar nasionalisme, merah putih dan Indonesia Raya, publik termasuk Ikrar Nusa Bakti, masih merasa "fine-fine". Selama Prabowo tidak menunjukkan keinginannya untuk mengembalikan pemerintahan militer di Indonesia, intelektual sipil seperti Ikrar Nusa Bakti, tak akan berreaksi. Mereka lebih melihat apa yang menjadi gagasan positif Prabowo dan bukan mempersoalkan masa lalu atau rekam jejaknya. Yang dinilai bukan manusia atau penyanyinya. Tetapi nyanyian atau syair lagu-lagunya. Akan tetapi begitu lagu yang dinyanyikan terdengar false, tidak enak didengar di kuping, ceriteranya menjadi lain. Begitu Prabowo masuk ke soal yang mencoba menunjukkan kepada publik bahwa dirinyalah yang terbaik di antara semua capres di Indonesia, sosok seperti Ikrar Nusa Bakti, langsung bergeliat. Ibarat manusia yang punya nafsu seperti raja hutan (macan), Prabowo sudah membangunkan macan yang sedang tidur yang siap menantangnya dimanapun tempat dikehendakinya. Pemilu 2014 memang merupakan tahun politik yang penuh manuver dan intrik. Kalau Prabowo bermanuver dan melakukan intrik, yang lainnya pun tidak berarti berdiam diri. Manuver dan intrik membuat semuanya serba peka dan sensitif. Oleh sebab itu setiap politisi memang harus cerdik, cerdas dan cermat menghadapinya. Termasuk Prabowo Subianto. Jangan pernah mencoba mengklaim sebagai sosok yang terbaik dan teratas di posisi paling atas. Sebab di atas awan masih ada langit dan di atas langit masih ada langit ketujuh. Di mana tempat langit ketujuh itu berada, kita hanya bisa menyebutnya, tapi tak mungkin kita sebagai manusia bisa mencapainya. Maka jadilah manusia yang tidak harus mengganggap diri sebagai manusia super. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar