Politik Uang dan Perilaku CalegAsrinaldi A ; Dosen Magister Ilmu Politik FISIP Unand, Padang |
HALUAN, 14 April 2014
Penghitungan suara resmi KPU hasil Pemilu 9 April masih berlangsung. Baik pengurus partai politik maupun Caleg harap-harap cemas menunggu hasil penghitungan resmi tersebut. Meskipun sudah ada gambaran hasil hitung cepat yang dilakukan sejumlah lembaga survey, namun hasil tersebut bukanlah hasil final. Namun, dari proses Pemilu yang cenderung berjalan aman dan lancar ini terdapat sejumlah catatan yang perlu menjadi perhatian semua pihak, terutama yang terkait dengan masih maraknya politik uang yang dilakukan calon anggota legislatif (Caleg) dalam Pemilu kali ini. Sebenarnya, maraknya politik uang dalam setiap Pemilu membuktikan bahwa demokrasi elektoral yang dilaksanakan gagal melahirkan negarawan untuk kemajuan bangsa ini. Praktik politik uang telah menjadi cara praktis untuk memenangkan Pemilu dengan mengabaikan akal sehat dalam berdemokrasi. Celakanya, mereka yang menggunakan politik uang inilah yang banyak terpilih karena menjadi pilihan masyarakat. Mudah dilihat sebenarnya semakin mahalnya biaya Pemilu berkorelasi dengan maraknya politik uang. Fenomena semakin meningkatnya biaya politik untuk menjadi wakil rakyat dari Pemilu ke Pemilu memang sungguh mengherankan. Bayangkan saja, untuk menjadi anggota DPR RI bisa menghabiskan uang hingga 5 miliar Rupiah (Pramono Anung, 2013). Semakin ke daerah uang yang dikeluarkan calon anggota legislatif ini memang semakin turun. Namun, kisarannya masih mencapai angka ratusan juta hingga miliaran rupiah. Idealnya, jika dikaitkan dengan kampanye yang dilakukan Caleg, masyarakatlah yang membeli gagasan Caleg agar mereka dipilih dan bisa memperjuangkan-nya di parlemen. Karena merekalah yang akan mewakili aspirasi masyarakat di lembaga legislatif. Anehnya, sejak Pemilu dilaksanakan dengan perwakilan proporsional dengan suara terbanyak, Caleg justru menjadi “pembeli” suara masyarakat. Karenanya tidak sedikit Caleg harus menyediakan uang dengan jumlah banyak untuk membeli dukungan ini. Ini gejala politik yang tidak sesuai dengan akal sehat berdemokrasi. Seolah-olah kebutuhan uang ini menjadi hal yang wajib, jika ingin menang dalam Pemilu. Pada akhirnya kekuatan uang menjadi penentu kemenangan seseorang dalam demokrasi elektoral. Bahkan Caleg yang memiliki uang yang pas-pasan telah “menyerah kalah” sebelum Pemilu dilaksanakan. Setiap turun berkampanye mereka selalu dimintai uang secara terang-terangan oleh masyarakat. Bahkan permintaan uang tersebut dapat ditukar dengan janji para calo yang akan mengarahkan dukungan masyarakat kepada Caleg. Bahkan mereka siap membuat perjanjian di atas kertas bermaterai. Tidak sedikit Caleg menggunakan uang untuk mendapatkan dukungan dengan cara mudah dan praktis pada Pemilu dengan sistem terbuka ini. Penggunaan uang justru bertujuan agar mereka tidak bersusah payah meyakinkan pemilih untuk memberikan suaranya. Cukup melalui calo yang juga menjadi tim sukses, maka uang yang sudah disediakan Caleg dibagikan kepada kelompok pemilih yang mereka sasar. Keadaan ini tentu mengancam praktik demokrasi perwakilan yang dilaksanakan. Bahkan praktik ini semakin mudah ditemukan dalam setiap Pemilu yang dilaksanakan. Tidak ada upaya nyata yang dapat dilakukan pemerintah dan partai politik untuk mengurangi praktik politik seperti ini. Partai politik cenderung mencari Caleg-caleg instan dan yang bukan kader asalkan mereka punya sejumlah uang. Padahal dalam kontestasi demokrasi perwakilan, yang sebenarnya dibutuhkan adalah Caleg yang memiliki kemampuan bicara di depan publik, kemampuan organisasi, dan kepemimpinan. Di negara yang maju dalam berdemokrasi syarat ini menjadi hal yang mutlak dimiliki oleh seorang wakil rakyat yang akan dipilih. Yang mengkhawatirkan justru partai politik tidak lagi menghiraukan fungsi pendidikan politik yang seharusnya dilaksanakan. Padahal pendidikan politik ini menjadi nilai dasar untuk mencegah maraknya politik uang. Jamak diketahui, pendidikan politik adalah bagian dari proses sosialisasi politik, yaitu penanaman nilai-nilai dasar kepada individu sebagai aktor politik. Jika partai politik mampu melaksanakan pendidikan politik ini baik kepada kader maupun konstituennya, maka praktik politik uang ini dapat dikurangi. Namun, gagalnya partai melaksanakan pendidikan politik kepada kader dan konstituennya justru berdampak pada mahalnya biaya yang harus mereka keluarkan setiap menjelang Pemilu. Sebenarnya masa lima tahun dari satu Pemilu ke Pemilu berikutnya adalah waktu yang cukup untuk partai politik dan kadernya menjalin komunikasi yang intensif dengan konstituen mereka. Mulai dari mengomunikasikan apa yang dilakukan kader partai yang duduk di lembaga legislatif ketika memperjuangkan aspirasi hingga pada apa yang dinginkan masyarakat untuk diteruskan kepada perwakilan partai di parlemen. Terjalinnya komunikasi yang intensif ini adalah cara praktis mendekatkan emosional kader partai dengan konstituen. Paling tidak dalam waktu lima tahun, hubungan yang terjalin ini akan membantu meningkatkan popularitas kader di hadapan konstituen mereka. Apalagi kalau kader partai politik yang telah duduk di parlemen bisa menyampaikan hal-hal penting yang berhasil mereka perjuangkan sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada partai tersebut. Kepercayaan inilah sebenarnya menjadi modal utama yang harus dipelihara oleh partai politik. Modal kepercayaan ini juga menjadi cara meminimumkan biaya kampanye pada Pemilu berikutnya. Kader partai yang telah berhasil menjalin komunikasi politik dengan konstituen sekaligus melakukan pendidikan politik harus diprioritaskan oleh partai untuk menjadi Caleg pada Pemilu berikutnya. Namun, pengamatan terhadap partai yang pernah melakukan rekrutmen politik di daerah justru terkesan asal-asalan. Partai politik terlihat kesulitan melakukan rekrutmen politik untuk Caleg karena terbatasnya kader yang dimilikinya. Padahal jika fungsi rekrutmen ini dilakukan jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan Pemilu dan diiringi dengan proses sosialisasi kepada masyarakat, barangkali partai tidak akan kesulitan mendapatkan kader yang berkualitas. Namun agaknyacara ini belum pernah diupayakan dengan maksimal oleh partai politik. Jadi, mahalnya biaya seseorang untuk dapat menjadi anggota legislatif sebenarnya berhubungan erat dengan kegagalan partai politik melaksanakan fungsinya. Oleh karena itu, sudah saatnya elite partai politik mengubah cara mereka mengelola partai yang hanya aktif menjelang Pemilu tapi pasif setelah Pemilu dilaksanakan. Ini dapat dilihat dari ketidakhadiran partai ketika masyarakat kebingungan menghadapi masalah politik di sekitar mereka. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar