Pemilu, Demokrasi, “Demophilli”Victor Silaen ; Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan |
KOMPAS, 04 April 2014
PEMILU 9 April mendatang akan diramaikan oleh sekitar 200.000 calon legislator yang siap memperebutkan 560 kursi DPR, 132 kursi DPD, 2.112 kursi DPRD provinsi, dan 16.895 DPRD kabupaten/kota. Siapakah mereka? Bagaimanakah kualitas mereka dan apa motivasi mereka? Kita tak akan benar-benar tahu jika kita tak mencermati mereka secara serius sejak jauh-jauh hari. Minimal itu harus kita lakukan di daerah pemilihan (dapil) masing-masing agar ketika masuk ke bilik suara nanti kita siap menjadi pemilih yang kalkulatif dan investatif sesuai moto ”lima menit untuk lima tahun”. Pemilu kali ini diperkirakan menghabiskan biaya Rp 16 triliun untuk pelaksanaan, pengawasan, logistik, dan kebutuhan-kebutuhan lain. Itu belum termasuk ongkos-ongkos politik yang dikeluarkan oleh partai-partai peserta pemilu dan 200.000-an caleg yang masing-masing—tentu saja—mengeluarkan biaya untuk kerja-kerja sosialisasi dan kampanye yang mereka dilakukan. Jika semua biaya tersebut ditotal, mungkin bisa mencapai lebih dari Rp 30 triliun. Menikmati hak politik Pertanyaannya, apakah pemilu yang berbiaya sangat besar itu menjamin adanya perubahan? Di Indonesia, sejak dulu pemilu telah diibaratkan sebagai ”pesta demokrasi”. Namun, baru pasca Soeharto pengibaratan itu dapat dibenarkan. Artinya, baru setelah Soeharto tak lagi berkuasalah rakyat betul-betul dapat memestakan kebebasannya untuk memilih atau tak memilih, dan karena itu rakyat dapat berperan sebagai cleansing agents (agen-agen pembersih) bagi para petahana yang kinerjanya mengecewakan. Tetapi, bisa juga yang terjadi adalah rakyat salah memilih sehingga pasca pemilu keadaan tetap status quo atau justru kian memburuk. Mungkin atas dasar itulah ahli politik Seyla Benhabib (1996) mengatakan bahwa pemilu tak menjamin adanya perubahan. Memang, pemilu hanya sarana dan bukan tujuan untuk mencapai perubahan yang diharapkan. Pemilu bukanlah jalan satu-satunya untuk menyelesaikan berbagai persoalan di tengah kehidupan bernegara dan berbangsa dewasa ini. Masih tersedia jalan lain seandainya pemilu gagal. Untuk itu, seluruh rakyat harus tetap berharap dan karenanya harus pula senantiasa berpartisipasi aktif di dalam proses-proses politik yang berlangsung di negara ini. Sejatinya pemilu memang hanya untuk memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menikmati hak politiknya, yakni secara bebas memilih partai politik ataupun elite-elite politik yang disukainya. Bahwa kelak para politisi tersebut mampu melakukan upaya-upaya penyelesaian berbagai masalah yang melanda, tak ada jaminan untuk itu. Memang, melalui pemilu dengan sistemnya yang telah ditata secara lebih baik dan cocok, kita berharap kelak muncul elite-elite politik di tingkat nasional ataupun daerah yang betul-betul berkualitas, berintegritas, dan betul-betul terpanggil untuk menjadi wakil rakyat yang siap sedia memperjuangkan aspirasi rakyat. Akan tetapi, harus diakui, tanpa adanya kontrol sosial yang kuat dan tegaknya supremasi hukum, para elite politik itu pada saatnya kelak berpotensi juga untuk melakukan penyimpangan-pelanggaran (ingatlah adagium power tends to corrupt). Terlepas dari itu semua, pemilu memang merupakan salah satu mekanisme politik yang harus ada di dalam sebuah negara demokrasi. Ia harus dilaksanakan secara periodik, dengan asas ”langsung, umum, bebas, dan rahasia”, ditambah dengan prinsip ”jujur dan adil” demi meningkatkan kualitas hasilnya. Maka, jika pemilu dapat berjalan lancar dan tertib sesuai asas dan prinsip itu, pemilu tersebut layak diidentikkan dengan demokrasi. Tak ada jaminan Lalu, bagaimana nanti kinerja para elite politik yang telah dihasilkan oleh sistem pemilu yang demokratis tersebut? Mampukah mereka membawa negara-bangsa ke masa depan yang cerah? Jawabannya, demokrasi tak menjamin apa-apa berkaitan hal itu. Kita harus sungguh-sungguh memahami hal ini agar tak mudah menyalahkan demokrasi seandainya kinerja para elite politik nanti mengecewakan. Janganlah lantaran itu kita lantas berpikir lebih baik kembali ke era Soeharto karena alasan-alasan ”stabilitas, aman, gampang cari duit” dan yang sejenisnya. Sebab, di masa silam yang kelam itu, kebebasan yang merupakan nilai utama demokrasi hampir-hampir tak ada. Karena itulah, dapat dikatakan bahwa sesungguhnya semua keadaan yang diunggulkan sebagai prestasi-prestasi Soeharto semu adanya. Sebab, tanpa kebebasan, kehidupan ini menjadi tak indah dan tak nikmat. Karena itu pulalah, manusia menjadi nir-manusiawi jika kehidupan yang dijalaninya seperti itu. Demokrasi memang tak identik dengan demophili. Jika demokrasi hanya dimaksudkan untuk memberi peluang sebesar-besarnya kepada semua warga negara untuk bersuara dengan bebasnya, maka demophili (berasal dari kata demos dan philea, yang artinya ’cinta rakyat’) meniscayakan lebih banyak dari itu. Ia menuntut semua elite politik, semua yang memperoleh kesempatan untuk memimpin jalannya roda kehidupan bernegara, untuk berbuat yang sebaik-baiknya bagi seluruh rakyat yang sudah memberi mereka kepercayaan untuk menjadi penyelenggara negara. Jadi, jika demophili merupakan sebuah cita-cita, demokrasi adalah alatnya, yang dengan itu kita berharap akan terpilih sejumlah elite politik yang loyalistik dan altruistik, yang rela melepaskan kepentingan-kepentingan partai sejak mereka dilantik menjadi wakil rakyat. Karena itulah, semestinya semua kontestan pemilu menyadari betul untuk tak sekali-kali membodohi rakyat. Biarkanlah rakyat bebas memestakan hak politiknya. Jangan beli suara mereka dengan uang atau iming-iming apa pun, kecuali para kontestan itu tega membuat rakyat menjadi pelacur yang rela menjual kehormatannya. Jangan pula menipu mereka dengan janji-janji manis yang nantinya tak pernah bisa ditepati, kecuali kita memang tega membuat rakyat negeri ini menjadi sekumpulan kerbau yang dungu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar