Partai Islam BersatuM Dawam Rahardjo ; Ketua Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) |
REPUBLIKA, 04 April 2014
Menjelang kemerdekaan RI, akhir dasawarsa `30-an, terjadi kecenderungan persatuan di antara partai-partai berhaluan kebangsaan, khususnya di kalangan yang berhaluan ko-operator secara demoratis, guna memperjuangkan terbentuknya negara Indonesia berparlemen. Tetapi, di antara gerakan sosial keagamaan Islam, khususnya kalangan ulama, terjadi kecenderungan ke arah persatuan yang menghasilkan Majelis Islam A'laa Indonesia (MIAI) tahun 1937. Pada masa akhir pendudukan Jepang, atas prakarsa pemimpin gerakan sosial keagamaan dan ulama, terbentuk partai politik Islam bersatu yang merupakan penggabungan dua kelompok yang diprakarsai Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama di Jawa dan antara Muhammadiyah dengan Majelis Islam Tinggi di luar Jawa. Gabungan kedua kelompok itu disebut "Masyumi" singkatan dari "Majelis Syura Muslimin Indonesia". Tetapi, sesudah kemerdekaan, dibentuk partai nasionalis bersatu yang disebut "Partai Nasional Indonesia" (PNI), sebagai partai tunggal di bawah kepemimpinan Sukarno-Hatta yang juga menjadi presiden dan wakil presiden RI. Partai ini sesungguhnya kelanjutan gagasan persatuan semua partai yang memperjuangkan kemerdekaan, sejak 1927 hingga sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dengan lahirnya Maklumat Wapres No X/1945, 16 Oktober 1945 yang memberikan kesempatan bagi rakyat mendirikan partai-partai politik maka pada 7 November 1945, terbentuk Partai Masyumi, yang merupakan gabungan semua organisasi gerakan sosial-keagamaan Islam. Masyumi pada awal kemerdekaan itu adalah satu-satunya partai politik Islam yang dipimpin Dr Sukiman Wirjosandjojo, mantan ketua Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda. Tapi, partai ini pecah kembali dengan keluarnya Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), tahun 1947, yang diikuti Nahdlatul Ulama yang menjadi partai politik tahun 1952. Setelah bubarnya Masyumi tahun 1960, di awal Orde Baru politik Islam terpecah menjadi 4 partai, yaitu Parmusi (Partai Muslimin Indonesia), PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), Partai Nahdlatul Ulama (NU), dan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah). Dalam rangka penyederhanaan partai maka ditambah dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang bukan partai politik itu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 1973 dibentuk secara paksa oleh Pemerintah Orba. Setelah jatuhnya Orba tahun 1998, di masa reformasi, sejalan dengan timbulnya partai-partai politik baru, maka gerakan politik Islam kembali melahirkan beberapa partai Islam. Yang saat ini, memiliki perwakilan terbesar di DPR adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Dalam pemilihan umum 2004, partai-partai Islam memperoleh 38,25 persen suara. Tetapi, pada Pemilu 2009, perolehan partai-partai Islam menurun menjadi 28,62 persen. Berdasarkan suatu survei, pada Pemilu 2014 elektabilitas partai-partai Islam menjadi satu sekitar 13 persen saja. Dengan demikian, tampak kecenderungan melenyapnya partai-partai Islam dalam Pemilu 2019 nanti. Kecenderungan itu menimbulkan kerisauan di kalangan umat Islam sehingga timbul gagasan "memompa ban gembos", sebagaimana pernah dilakukan Nurcholish Madjid terhadap PPP pada Pemilu 1977. Masalahnya adalah mengapa gerakan Islam politik harus menghilang dalam masyarakat Muslim terbesar di dunia, yang sebenarnya merupakan aset nasional Indonesia dan dalam pergaulan internasional. Islam politik Indonesia memang telah gagal memperjuangan gagasan negara Islam. Teta pi, apakah kegagalan itu harus berlanjut dengan bubarnya Islam politik dari bumi Indonesia? Mungkin gejala itu adalah akibat stigmatisasi negara Islam sebagai kelompok politik ekstrem kanan, sebagaimana PKI adalah kelompok politik ekstrem kiri. Tetapi, Islam politik di Indonesia telah mengalami perubahan dan perkembangan ke arah moderasi menuju demokratisasi, sehingga prospeknya ada lah lahirnya sebuah "Partai Demokrasi Islam" (PADI), dalam gagasan Bung Hatta awal tahun `70-an yang ditolak ke hadirannya oleh rezim Orba. Karena itu, menjelang Pemilu 2014, timbul gagasan mempersatukan partai- partai Islam menuju pembentukan sebuah "Partai Demokrasi Islam" disingkat PADI. Gagasan penyatuan partai-partai Islam itu berkaitan dengan prospek penyederhanaan struktur kepartaian di Indonesia dalam rangka bergeser dari Demokrasi Liberal ke arah "Demokrasi Pancasila". Demokrasi seperti disebut da lam Pembukaan UUD 1945 yang pada hakikatnya adalah "Demokrasi Musyawarah" sebagaimana diwacanakan oleh filsuf Jerman Jurgen Habermas tentang konsep "Deliberative Democracy". Dalam teori komunikasi Habermas, disebut adanya dua macam komunikasi berdasarkan tujuannya. Pertama yang berorientasi pada "sukses", yaitu memenangkan pendapat dalam persaingan politik demokrasi liberal. Kedua, orientasi pada penemuan pendapat lain yang justru berbeda tapi mungkin lebih baik. Tapi, sebenarnya ada satu orientasi lain yang tidak disebut Habermas, yaitu orientasi pada pencarian kesepakatan di antara pendapat yang berbeda yang dalam istilah Indonesia adalah "musyawarah mufakat" berdasarkan hikmah kebijaksanaan permusyawaratan yang lebih mendekati gagasan Habermas. PADI adalah sebuah Partai Islam yang didasarkan pada demokrasi musyawarah tersebut di atas dengan mengasumsikan pluralitas masyarakat dan dunia politik Indonesia. Oleh sebab itu, platform politik yang akan dibawakan PADI pertama-tama adalah agenda kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 yang memuat prinsip-prinsip demokrasi musyawarah dalam pemerintahan dalam suatu negara RI yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kebebasan Beragama (pasal 29 ayat 1 dan 2). Orientasi ketiga dalam pembentukan PADI adalah menciptakan suatu model Islam politik yang demokratis bagi dunia Islam. Indonesia adalah negeri Muslim terbesar di dunia dengan mayoritas penduduk yang beragama Islam. Tetapi, RI bukanlah negara Islam dan Islam bukan agama resmi negara. Islam Indonesia sering dianggap model yang bisa menjadi acuan bagi dunia Islam, walaupun menurut Hillary Clinton masih bercirikan dua aspek saja, yaitu demokrasi dan prin sip kesetaraan gender. Menurut Zuhairi Misrawi, Islam Indonesia adalah "Islam Moderat" sesuai dengan gambaran Alquran, yaitu "ummatan washatan" (QS Ali Imran (#): 110). Terbentuknya PADI yang mengacu pada gagasan Bung Hatta itu, akan mengongkretkan model Islam politik bagi dunia Islam. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar