Paradigma IslamMohammad Nasih ; Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Jakarta |
REPUBLIKA, 12 April 2014
Secara umum, di seluruh dunia, agama Islam mengalami perkembangan jumlah pemeluk paling signifikan. Di saat agama-agama lain, terutama agama-agama besar, mulai ditinggalkan oleh para pemeluknya, justru makin banyak orang yang memeluk Islam, baik dari kalangan yang melakukan konversi dari agama lain maupun yang sebelumnya tidak beragama dan/atau ateis. Dari aspek jumlah ini, sudah muncul kalkulasi yang sangat mudah dipahami yang menyatakan bahwa saat ini sesungguhnya Islam adalah agama dengan jumlah pemeluk terbesar di muka bumi; bukan lagi Kristen. Bahkan, walaupun jika jumlah pemeluk Katolik dan Protestan digabungkan menjadi satu. Bagi mereka yang kemudian menjatuhkan pilihan untuk memeluk Islam, di antara daya tarik terkuat Islam adalah konsep teologinya dianggap paling logis atau rasional. Doktrin tauhid atau keesaan Allah, misalnya, merupakan konsep yang sangat bisa dan bahkan mudah diterima nalar sehat. Selain itu, terutama bagi kalangan ilmuan yang kemudian menjadi Muslim, yang membuat mereka tertarik menjadi Muslim adalah ajaran-ajaran Islam terbukti selaras dengan ilmu pengetahuan, baik temuan-temuan masa lalu, dan terutama temuan-temuan kontemporer. Dari temuan-temuan yang relevan inilah, muncul semacam logika bahwa untuk hal-hal yang bisa diverifikasi, mereka menemukan kesesuaian antara yang dinyatakan Islam, baik dalam Al-quran maupun hadis Nabi Muhammad, dengan fakta empiris. Namun, di sisi lain, Islam juga disalahpahami oleh banyak orang. Bukan hanya orang-orang non-Islam, tetapi bahkan oleh sebagian besar pemeluknya sendiri. Mereka belum memahami Islam dengan benar-benar mempelajari Islam secara mendalam dari Alquran maupun sunah Nabi Muhammad. Kesalahpahaman tentang Islam tersebut menyebabkan paradigma keliru tentang Islam yang terbangun. Ironisnya, pemahaman dan perilaku mereka itu kemudian menjadi seolah-olah Islam itu sendiri. Padahal, ada distorsi antara Islam dalam tataran ideal dengan yang di implementasikan oleh orang-orang yang mengaku beragama formal Islam yang menyebabkan kesenjangan antara idealitas Islam dengan realitas cukup signifikan. Kekeliruan paradigmatik tentang Islam tersebut meliputi banyak aspek, dan terlihat sangat jelas terutama dalam konteks paradigma agama, keilmuan, politik, dan juga ekonomi. Kekeliruan ini menyebabkan ajaran Islam tidak tampak. Dalam konteks inilah, apa yang dikatakan oleh Muhammad Abduh bahwa "al-Islam mahjibun bi al-muslimin, Islam tertutupi oleh orang-orang Islam sendiri" menjadi sangat relevan. Dalam konteks agama, misalnya, tidak sedikit ilmuwan Muslim dengan disiplin keislaman, terutama perbandingan agama, mengeluarkan pernyataan dangkal bahwa semua agama sama saja. Menurut mereka, kebenarannya relatif tergantung oleh siapa dan menganut agama apa. Tentu saja, pandangan itu merupakan pandangan yang disebabkan oleh ketidakmampuan dalam melihat realitas secara objektif. Dalam konteks keilmuan, juga ada pandangan kita tentang dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Padahal, agama Islam merupakan agama yang sangat menekankan untuk menggunakan akal atau kecerdasan untuk menjalani kehidupan, termasuk dalam melihat segenap fenomena yang terdapat dalam alam semesta. Karena itu, sesungguhnya Islam tidak pernah memperkenalkan konsepsi yang mendikotomikan antara ilmu agama dan ilmu umum. Semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh dari ilmu-ilmu Allah. Dalam konteks ini, Alquran dan sunah Nabi menempati posisi sentral atau pusat dalam konstruksi "jaring laba-laba" keilmuan Islam. Alquran dan sunah Nabi merupakan sumber segala ilmu pengetahuan dan bahkan juga kebijaksanaan hidup. Dalam konteks politik, tidak sedikit pula mereka yang dianggap memiliki kepakaran dalam bidang ini menyatakan bahwa antara Islam dan politik harus dipisahkan. Pandangan ini disebabkan oleh pengaruh tradisi politik Barat-Eropa yang menolak paradigma integralisme Katolik yang memang nyata-nyata merugikan. Karena itulah muncul gerakan untuk memisahkan antara agama dan politik. Tentu saja tidak demikian dengan Islam, karena Islam justru menjadi sumber ilmu pengetahuan. Dan karena itulah, tidak perlu ada ketakutan terhadap pandangan integralistik Islam dengan politik. Dan kalau toh tidak menyatukan antara keduanya, setidaknya Islam dijadikan sebagai landasan moral dan etika dalam politik. Sebab, secara faktual politik merupakan sarana yang sangat diperlukan untuk mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan bernegara. Nabi telah mencontohkannya secara langsung dalam kehidupan bernegara di Madinah. Dalam konteks ekonomi, Islam menawarkan konsepsi ekonomi yang berkeadilan. Dan secara lebih spesifik dalam praktik perbankan, paradigma ekonomi Islam ini sangat berbeda, karena sangat menentang riba. Dan konsepsi inilah yang kemudian dianggap menjadi semakin relevan dalam kehidupan saat ini. Dan paradigma ekonomi--dan secara spesifik perbankan--ini, telah menarik banyak kalangan non-Islam. Bahkan, pusat perbankan Islam Eropa saat ini berada di Inggris, negara yang berpenduduk mayoritas non-Islam. Baik dalam konteks aspek keilmuan, politik, maupun ekonomi, tampak sekali bahwa Islam juga menekankan tauhid dalam arti bahwa semuanya praktik dalam kehidupan merupakan satu kesatuan yang harus menjadi ajaran Allah SWT. Tuhan yang Esa sebagai panduan atau koridor. Karena itulah, paradigma Islam yang sesungguhnya harus dibangun dan terus- menerus disosialisasikan kepada seluruh umat manusia, terutama dimulai dari umat Islam, agar mereka mampu tampil sebagai implementator ajaran Islam yang benar. Dengan demikian, Islam akan dipahami dengan lebih baik, karena mudah dilihat dan dipahami dari perilaku nyata umat Islam dalam kehidupan keseharian. Dan dengan itu, Islam akan memiliki daya tarik yang lebih kuat dan membuat semakin banyak orang memeluk agama Islam. Wallahu a'lam bish shawab. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar