| Menjaga   Kesakralan Jabatan RI-1Derek Manangka  ;     Wartawan Senior | 
INILAH.COM, 22 Maret 2014
| Wiranto   (Hanura), Prabowo Subianto (Gerindra) dan Aburizal Bakrie (Golkar) merupakan   tiga capres yang dikategorikan BJ Habibie, Presiden ke-3 RI, sebagai sosok   yang sudah tua untuk menjadi Presiden 2014-2019. Maunya   BJ Habibie seperti disampaikan dalam acara Mata Najwa, Metro TV, 5 Februari   2014 lalu, capres 2014 harus berusia antara 40 sampai 60 tahun. Jika usia   yang menjadi ukuran, ketiga figur di atas tak lagi memenuhi persyaratan. Para   pemirsa yang hadir langsung di studio Metro TV, banyak yang tertawa   terpingkal-pingkal. Seolah-olah mereka menyindir Wiranto, Prabowo dan Aburizal   Bakrie dan berharap mendengar ocehan Presiden Habibie. Ada yang   tidak disinggung BJ Habibie - hal yang berkaitan dengan kiprah ketiga tokoh   tersebut di dunia pencapresan. Yaitu mereka bertiga sudah pernah ikut serta   dalam perebutan kursi Presiden. Mereka sudah menjadikan Pilpres sebagai   agenda lima tahunan. Mereka tak henti-hentinya selama dua periode mengincar   jabatan Presiden. Namun selalu gagal. Atau rakyat tak mau memilih mereka. Kecuali   Aburizal Bakrie yang baru sekali gagal di konvensi Partai Golkar 2004.   Wiranto dan Prabowo gagal di Pilpres 2004 dan 2009. Berarti keikut sertaan   dua jenderal purnawirawan tersebut dalam Pilpres 2014, sudah merupakan yang   ketiga kalinya. Bahkan   Wiranto dan Prabowo, masih punya ceritera tambahan dalam bagaimana mereka   melihat jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Setelah gagal di 2004, di 2009,   target politik, mereka turunkan. Yaitu hanya mengincar posisi wakil presiden   saja. Wiranto   menjadi Cawapresnya Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto menjadi Cawapresnya   Megawati Soekarnoputri. Itupun, tetap kalah atau gagal. Namun di 2014   keduanya kembali mengincar posisi paling tinggi atau lebih tinggi: Presiden! Maka tak   heran jika muncul pertanyaan apakah Wiranto dan Prabowo menganggap seluruh   rakyat Indonesia sudah menjadi manusia pelupa? Tak   sadarkah mereka, mondar-mandir mengincar jabatan Presiden kemudian Wakil   Presiden dan balik lagi ke Presiden, hanya menimbulkan tertawaan bagi   sementara pemilih yang kritis. Tidak sadarkah mereka bahwa rakyat Indonesia   sudah cukup kritis melihat sepak terjang mereka di dunia politik? Kalaupun   menjelang Pilpres 2014 hadir suara-suara baru yang menginginkan Wiranto dan   Prabowo agar tetap maju sebagai calon Presiden, keinginan itu masih harus   diuji. Suara tuluskah atau sekadar mau membikin kedua bapak tersebut tetap   senang ?. Kedua   mantan pejabat tinggi militer ini, semestinya juga patut memperhatikan suara   yang menolak pencalonan mereka berdua. Dan penolakan itu bagian dari hak   demokrasi setiap orang. Apalagi   di balik puja-puji terhadap kehebatan mereka berdua sewaktu menjadi jenderal   aktif, terdapat suara aktivis. Sejumlah aktivis tetap mengingatkan rekam   jejak yang menyangkut pelanggaran HAM berat sewaktu keduanya menjadi bagian   dari kekuasaan. Sekalipun   terkesan berulang-ulang, tetapi Wiranto tidak bisa mengabaikan tuntutan yang   meminta agar mantan Panglima TNI itu perlu mempertanggung jawabkan peristiwa   berdarah Senayan I dan Senayan II di tahun 1998. Demikian   pula dengan Prabowo Subianto yang terus dikejar oleh pegiat dan advokat HAM   tentang keterlibatannya dalam penculikan sejumlah aktifis. Pesan moral yang   tersirat di pengingatan itu, seharusnya Wiranto dan Prabowo jangan menganggap   publik bisa diminta diam - hanya karena mereka sedang sibuk menghadapi Pemilu   Legislatif dan Pemilu Presiden 2014. Hal   serupa dengan alasan yang berbeda, juga berlaku bagi Aburizal Bakrie.   Konglomerat ini terus digugat pertanggung jawabannya atas nasib buruk yang   menimpa rakyat Jawa Timur akibat proyeknya Lapindo (Lumpur Lapindo). Ngotot   atau memaksakan diri secara terus menerus, ingin menjadi Presiden, memang   bukan monopoli Wiranto, Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie. Masih ada   politikus lainnya yang kengototannya mirip dengan mereka bertiga. Dia adalah   Yusril Ihza Mahendra. Yusril   sudah berjuang sejak 1999, ketika Pemilihan Presiden masih dikuasakan rakyat   kepada 1.000 anggota MPR-RI (Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik   Indonesia). Kalau ditotal, waktu yang digunakan Yusril untuk memperjuangkan   cita-citanya menjadi presiden, sudah hampir 15 tahun. Yang   membedakan Yusril dengan tokoh-tokoh yang disebutkan di atas terletak pada   caranya. Yusril selalu mencari titik lemah UU Pilpres. Terakhir mantan   Mensesneg dan Menteri Hukum dan HAM itu menggugat parliamentary threshold (PT) yang harus dipenuhi sebuah partai,   jika ingin mencalonkan kadernya. Kalau PT bisa dihapus, Yusril bisa   melenggang bebas sebagai capres Partai Bulan Bintang. Tapi   Mahkamah Konstitusi yang mengadili gugatan PT, tetap menolak permintaan   Yusril. Akibatnya untuk sementara peluang Yusril untuk maju sebagai capres di   2014, tertutup. Sewaktu   penolakan itu dibacakan Hakim Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva, Yusril   terkesan seperti tidak percaya. Sebab Hamdan Zoelva, merupakan sahabat   politiknya di Partai Bulan Bintang (PBB). Ada publik   yang kurang begitu paham dengan gugatan Yusril atas parliamentary threshold.   Seolah-olah PT tersebut hanya dimasukkan begitu saja oleh para ahli hukum   ketika membahas pasal-pasal UU Pilpres tanpa visi. Padahal PT itu secara   sadar dimasukkan agar penyeleksian secara elegan dan terukur atas siapa saja   yang ingin menjadi presiden, ada acuannya. Alasannya   antara lain, setelah reformasi, ada kecenderungan siapa saja, begitu punya   uang lebih, makin sering dikutip media, bisa mendadak mendeklarasikan ingin   jadi Presiden. Semua orang merasa mampu menjadi Presiden, terutama setelah   SBY yang tadinya dianggap pintar, ternyata tidak bisa berbuat banyak. Jadi   kesakralan jabatan presiden itu, perlu dijaga dan dilindungi. ● | 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar