Mengevaluasi JKN Sulastomo ; Ahli Asuransi Kesehatan/Ketua Tim SJSN, 2001-2004 |
KOMPAS, 07 April 2014
MESKI terlambat, terbentuknya BPJS Kesehatan dan implementasi Jaminan Kesehatan Nasional sesuai UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN perlu kita sambut gembira. Kita harus jaga bersama masa depannya. Semua pihak harus bersedia membuka diri, apa yang salah dan apa yang perlu diperbaiki, agar JKN/BPJS Kesehatan dapat berjalan sesuai UU SJSN dan UU BPJS. JKN menggabungkan tiga program yang telah berjalan sebelumnya, yaitu program bagi peserta Askes (PNS dan penerima pensiun PNS, anggota TNI/Polri); jaminan kesehatan (JK) Jamsostek bagi pekerja swasta; dan program jaminan kesehatan yang diselenggarakan pemda (Jamkesmas). Ketiganya menerapkan sistem pelayanan, cakupan pelayanan kesehatan, dan pembayaran yang berbeda. Kalau ketiganya diharuskan serentak mengimplementasikan sistem yang sama 1 Januari 2014, sebagaimana konsep JKN, setidaknya perlu waktu penyesuaian diri. Padahal, baik Askes, JK Jamsostek, maupun Jamkesmas telah melibatkan ribuan dokter/puskesmas/rumah sakit, baik swasta maupun milik pemerintah, sehingga perlu waktu memahami ketentuan baru yang berlaku. Demikian juga dilihat dari jumlah peserta yang sekitar 100 juta jiwa. Apalagi, tugas BPJS Kesehatan masih harus mencakup peserta Penerima Bantuan Iuran dan peserta perorangan. Semuanya harus memiliki pemahaman yang sama. Kalau tidak, wajar terjadi keribetan. Mengapa ribet Pada tingkat awal sudah tentu akan sangat membantu kalau semua pihak, baik BPJS Kesehatan, Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK), maupun dokter/rumah sakit/puskesmas memahami prosedur pelayanan yang harus diselenggarakan. Kalau calon peserta saja masih bingung bagaimana mendaftarkan diri sebagai peserta BPJS, sudah tentu akan jadi kendala besar. Demikian juga kalau sistem pembiayaan dan prosedur administrasinya (INA CBG) masih belum dipahamai, apalagi belum dapat diterima oleh para PPK, sudah tentu akan menjadi kendala yang tidak ringan. Benarkah PPK tak memperoleh jasa pelayanan yang semestinya sehingga tekor? Hampir semua orang sepakat bahwa perubahan itu harus ke arah perbaikan. JKN akan ditinggalkan kalau gagal menjadi lebih baik dari Askes, JK Jamsostek, bahkan Jamkesmas. BPJS Kesehatan harus mampu menjawab bahwa JKN madu, bukan racun. Ini hanya dapat terjadi kalau JKN benar-benar sesuai Jaminan Kesehatan yang termaktub dalam UU No 40/2004. Pelayanan kesehatan yang diperoleh bersifat komprehensif, mulai dari sakit batuk, pilek, panu yang tak perlu biaya tinggi, sampai pelayanan kesehatan yang perlu biaya tinggi seperti cuci darah, operasi jantung, dan kanker. Pemberian obat bagi penyakit yang perlu pengobatan lama bisa diberikan satu bulan dan tak hanya 3-5 hari sehingga pasien harus bolak-balik ke dokter minta surat rujukan. Demikian juga kalau ada iur biaya (cost sharing) tak boleh memberatkan pasien secara ekonomi. Iur biaya harus terbatas untuk kurangi penyalahgunaan (abuse of care). Untuk penyakit berat, meski perlu biaya besar, sepanjang sesuai kebutuhan medik tak diperlukan iur biaya. Kondisi seperti ini mengesankan belum terpenuhi semuanya sehingga merugikan peserta/pasien. BPJS Kesehatan justru dikesankan sebagai memberatkan pasien. Selanjutnya yang perlu kita cermati adalah kepesertaan bagi pendaftar perorangan. Iuran yang diterapkan secara nominal bagi semua orang bisa membuka peluang bias selection sehingga akan meningkatkan aji mumpung yang besar. Dalam jumlah yang besar sudah tentu bisa jadi ancaman bagi pembiayaan JKN. Titik lemah terjadinya korupsi sebagaimana disampaikan KPK baru-baru ini hanya dapat dicegah kalau secara operasional JKN mampu menumbuhkan sistem pelayanan dan pembiayaan yang efisien sehingga mampu mencegah terjadinya penyalahgunaan (abuse of care), pemakaian pelayanan yang berlebihan (over utilization), dan bahkan pelayanan yang tidak perlu (unnecessary utilization). Dengan memperhatikan perjalanan JKN/BPJS Kesehatan dalam tiga bulan ini, perlu semacam skenario makro bagaimana peta jalan menuju universal coverage dapat berjalan mulus. Sebab, kalau terjadi ketidakseimbangan bisa mengancam keberadaan JKN/BPJS Kesehatan. Pengalaman Askes yang terpaksa menghentikan pelayanan kesehatan bagi pesertanya di awal 1970-an akibat ketidakcukupan dana harus dapat dihindari. Sebab, peserta JKN akan melampaui peserta Askes yang hanya sekitar 15 juta orang PNS/penerima pensiun PNS/anggota TNI/Polri. Dapat dibayangkan dampak sosial dan politiknya kalau peserta BPJS Kesehatan nanti semua penduduk Indonesia yang sekitar 250 juta. Dengan skenario makro itu, kemampuan melayani peserta dan kemampuan dana akan seimbang sehingga jalan JKN akan mulus. ● |
Surabaya, Aktual.com — Majelis Ulama Indonesia (MUI) kembali menyatakan, bahwa sistem Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang diberlakukan pemerintah terdapat masalah dari sisi syariah. MUI sekaligus menepis bahwa fatwa tersebut sengaja digulirkan untuk kepentingan tertentu.
BalasHapus“Enggak ada, bisnisnya siapa? Enggak ada. Itu keluar dalam rangka Ijtima Ulama, ada sekitar 700-an Ulama se-Indonesia, masa mereka dimanfaatkan BPJS?” kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’aruf Amin di Ponpes Mambaul Maarif, Denanyar, Jombang, Jawa Timur, Sabtu (1/8).
Tak Sesuai Syariah, BPJS Kesehatan Perlu Diperbaiki