Mengantisipasi Kendala Cacat PemiluW Riawan Tjandra ; Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta; Alumnus Doktor Ilmu Hukum UGM |
MEDIA INDONESIA, 05 April 2014
PEMILU 2014 bisa dikatakan sebagai pemilu yang bersifat strategis karena dinisbahkan sebagai pemilu yang diharapkan menjadi tonggak konsolidasi demokrasi di negeri ini. Keran demokrasi yang mulai dibuka di era 1998 kini memasuki fase pematangan untuk bisa beranjak pada tahap selanjutnya menuju ke era negara welfare democracy. Jika tahapan itu tak bisa dilalui, negeri ini bisa berbalik arah menuju negara yang gagal mengonsolidasikan demokrasinya. Kegagalan dalam melaksanakan pemilu bisa mewujud dalam sisi prosedural ataupun substantif pelaksanaan pemilu. Kegagalan di ranah sisi prosedural terjadi manakala proses pelaksanaan pemilu tak berhasil atau tak sempurna dalam mewujudkan pemilu yang berintegritas karena adanya sejumlah kelemahan yang menjadi penyebab gangguan terhadap bekerjanya sistem pemilu (legislatif ataupun eksekutif). Kegagalan di sisi substantif bisa terjadi karena faktor kerangka hukum ataupun normatif yang menyebabkan delegitimasi pemilu. Dalam spektrum luas, ancaman kegagalan pemilu yang perlu diantisipasi meliputi saptacacat pemilu yang berpotensi menyebabkan krisis demokrasi konstitusional. Hal itu akan dielaborasi dalam uraian berikut. Pertama, kegagalan yang disebabkan faktor administrasi pemilu dalam bentuk gap antara daftar pemilih tetap (DPT) dan pemilih aktual. Dari sekitar 186.612.255 pemilih, masih ada tak kurang dari 2 juta yang bermasalah dalam persoalan administrasinya dalam DPT. Jumlah warga negara yang masih memiliki permasalahan administrasi DPT tersebut tak bisa dipandang dengan sebelah mata karena berpotensi disalahgunakan dalam pemilu. Jumlah 2 juta tentu bisa berpengaruh dalam perolehan suara apabila DPT bermasalah tersebut ditransaksikan oknum penyelenggara pemilu dengan oknum partai tertentu untuk mendongkrak perolehan suara yang bersumber dari DPT bermasalah tersebut. Tentu, kepekaan dari Bawaslu, para pengawas independen, media massa, dan pengamat sangat diperlukan untuk memantau proses pemilu agar tidak diwarnai politik curang dengan memgomoditaskan suara dari DPT bermasalah. Kedua, kelemahan infrastruktur pemilu yang juga berpotensi menjadi faktor penyebab kegagalan pemilu di suatu daerah pemilihan (dapil) tertentu. Kerusakan surat suara dan kotak suara cukup masih cukup banyak terjadi di beberapa dapil tertentu. Bahkan, ada juga surat suara yang dibakar karena dampak kerusuhan seperti yang terjadi di Sumba Barat, yang terdapat 200 ribu surat suara yang dibakar. Masih terdapat 2,7 juta kekurangan atau surat suara yang dilaporkan rusak atau 0,37%, kerusakan itu tersebar di 301 kabupaten/kota. Di DKI Jakarta juga masih ditemukan tak kurang dari 40% bilik dan kotak suara yang rusak dari total bilik suara yang diperlukan yang mencapai 68.180 unit dan kotak suara sebanyak 51.135 unit. Menurut rencana, kotak suara itu akan diganti dengan kotak berbahan dari kertas kardus. Tentu hal itu juga berpotensi menimbulkan masalah baru terkait dengan kerahasiaan surat suara. Situasi rusaknya infrastruktur pemilu yang terjadi di DKI Jakarta, yang notabene merupakan pusat pemerintahan dan tempat kedudukan para penyelenggara pemilu pusat, bukan tak mungkin bisa diikuti data kerusakan infrastruktur pemilu yang sama di daerah-daerah lain. Ketiga, potensi jual beli surat suara yang bisa mewarnai praktik politik curang dalam pemilu. Hal itu bisa terjadi dengan menyalahgunakan kelebihan surat suara yang kemudian diperjualbelikan oknum penyelenggara pemilu yang nakal dengan oknum caleg atau pengurus partai politik. Guna mengantisipasi hal itu, KPU perlu menyiapkan mekanisme pemusnahan surat suara berlebih dan aturan yang ketat untuk penggunaan surat suara pada hari pemungutan sua ra nanti. Pada 15 Februari 2014 lalu, KPU telah menetapkan rekapitulasi DPT perbaikan 185,8 juta jiwa. Angka tersebut berkurang sekitar 700 ribu pemilih dari DPT awal 186.612.255 jiwa yang sebelumnya ditetapkan November 2013. Akibatnya, pencetakan surat suara juga mengalami penyesuai an. Dari 15 pa ket pencetakan surat suara, 11 paket mengalami kelebihan pencetakan se suai dengan DPT terbaru. Sementara itu, pencetakan surat suara empat paket, yakni paket III, paket V, XIII, dan XIV, harus ditambah. Kontrak awal jumlah surat suara berjumlah 758.498.943 setelah dilakukan adendum menjadi berjumlah 757.963.594. Terdapat selisih cetak sebanyak 535.349. Surat suara berlebih itu harus segera dimusnahkan KPU sebelum pelaksanaan Pemilu 9 April 2014 untuk menutup peluang jual beli surat suara. Jual beli surat suara tentu sangat mengganggu dalam upaya mewujudkan pemilu yang bersih dan berintegritas. Keempat, praktik money politics (politik uang) baik yang berupa penggunaan uang maupun barang untuk membeli suara pemilih masih mewarnai sejumlah pelaksanaan kampanye pemilu. Survei yang sempat dilakukan Lembaga Survei Nasional (LSN) menunjukkan hasil survei yang mengejutkan sehingga mengindikasikan Pemilihan Umum 2014 rawan terjadi politik uang. Mayoritas publik yang disurvei mengaku bersedia menerima pemberian uang dari para calon legislator atau partai politik menjelang pelaksanaan Pemilu Legislatif 9 April 2014 nanti. Sebanyak 69,1% mengaku bersedia menerima pemberian uang dari caleg atau partai meskipun dengan alasan atau dalih yang berbeda-beda. Sebanyak 41,5% responden memang menyatakan, meskipun bersedia menerima uang, tidak akan memengaruhi pilihan mereka. Namun dengan sikap seperti itu, sama saja mereka sudah membuka pintu lebar-lebar berkembangnya money politics. Bahkan, mendekati Pemilu Legislatif 2014, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencurigai modus baru politik uang melalui penyalahgunaan kartu kredit dengan maksud untuk membeli suara pemilih. Modus politik uang bisa terjadi dalam bentuk konvensional, yaitu pembagian uang atau barang di saat kampanye atau menjelang pelaksanaan pencoblosan yang sering dikenal dengan serangan fajar atau bisa dengan modus baru seperti dalam penyalahgunaan kartu kredit untuk memengaruhi suara pemilih. Politik uang ialah cara paling primitif dalam memengaruhi pilihan rakyat. Politik uang tak ubahnya seperti racun yang menjadi pangkal rusaknya sistem seleksi kepemimpinan melalui pemilu. Politik uang juga bisa terjadi dalam berbagai modus, misalnya dengan penyalahgunaan dana bansos atau hibah menjelang dilaksanakannya pemilu. Sepanjang sejarah pemilu yang digelar selama ini, penyalahgunaan dana bansos sangat sering terjadi meskipun sejumlah perbaikan pada ranah regulasi ataupun sistem alokasi dana bansos sudah dicoba oleh pemerintah. Selain itu, yang juga terjadi ialah penggunaan fasilitas negara untuk pelaksanaan kampanye pemilu, yang lazimnya dilakukan sejumlah pejabat pemerintah atau incumbent. Hal itu masih bisa terjadi karena masih belum adanya regulasi yang dengan tegas mengatur pemisahan kepentingan politik pejabat dengan penggunaan fasilitas negara yang melekat pada kewenangan jabatan. Kelima, kegagalan membangun pemilu yang jurdil juga bisa terjadi karena ketidaknetralan penyelenggara pemilu yang berpihak secara terselubung ataupun terangterangan terhadap partai atau caleg tertentu. Cukup banyak kasus yang terjadi karena ketidaknetralan penyelenggara pemilu yang sempat menodai beberapa pemilu sebelumnya harus diantisipasi dengan meningkatkan pengawasan terhadap penyelenggara pemilu. Keenam, pemilu juga berpotensi gagal jika aparat keamanan dan TNI tidak mampu mempertahankan netralitas mereka sebagaimana amanat UU Kepolisian dan UU TNI. Sejumlah indikasi kecurangan yang berpotensi merusak suasana demokrasi sempat muncul dengan adanya dugaan permainan intelijen untuk memuluskan syahwat kekuasaan sejumlah oknum tertentu dalam Pemilu 2014. Ketujuh, potensi delegitimasi hasil pemilu yang bisa terjadi karena maraknya gugatan dalam sengketa pemilu atau yang sangat serius bisa terjadi di saat hasil pilpres diumumkan kelak terjadi gugatan dari kontestan pasangan capres yang kalah berkontestasi dengan mempersoalkan legitimasi Pemilu 2014. Putusan MK dalam perkara No.14/PUUXI/2013 bisa disalahtafsirkan untuk mendelegitimasi hasil pilpres. Putusan MK yang dibacakan pada Kamis, 23 Januari 2014, menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan UUD Negara RI 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, tetapi baru akan diberlakukan pada 2019. Gugatan itu bisa sangat serius karena putusan MK tersebut telah membuka diskursus soal (in) konstitusionalitas Pemilu Presiden 2014 yang bisa berujung pada gugatan mengenai (in)konstitusionalitas hasil Pilpres 2014 di MK. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar