Memotong Rantai Kemiskinan Hery Nugroho ; Guru SMA Negeri 3 Semarang, Alumnus Heartland International Chicago AS |
SUARA MERDEKA, 09 April 2014
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa pendidikan merupakan hak bagi seluruh rakyat, termasuk untuk anak-anak bangsa dari golongan ekonomi kurang mampu. Menurutnya, sudah menjadi tugas dan kewajiban pemerintah mengupayakan mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran melalui pendidikan (SM, 28/2/14). Ia menyampaikan hal itu di depan peserta Forum Silaturahim Nasional Bidikmisi 2014 (26-28/2) di Jakarta. Peserta berasal dari perwakilan mahasiswa penerima Bidikmisi berprestasi angkatan 2010-2013 dari 98 PTN/PTS. Bidikmisi yang dikelola Ditjen Dikti Kemdikbud merupakan program pemberian beasiswa untuk mahasiswa tidak mampu tapi memiliki prestasi. Program tersebut patut diapreasiasi karena selama ini belum semua lapisan masyarakat dapat mengenyam pendidikan tinggi. Data Dirjen Dikti tahun 2014 menyebutkan, angka partisipasi kasar (APK) baru 27,1% dan angka tingkat melanjutkan ke perguruan tinggi masih rendah dibanding negara lain. Di antara penyebabnya adalah kondisi perekonomian orang tua. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Maret 2013, jumlah penduduk miskin di Indonesia 28,07 juta orang (11,37%). Keterbatasan ekonomi pernah dialami SBY semasa kecil. Dia bersama sejumlah teman di Pacitan Jawa Timur memiliki impian menjadi mahasiswa perguruan tinggi ternama seperti UGM, Unair, ITS. Namun karena keterbatasan ekonomi, banyak yang tak bisa mencapai mimpi itu. (www.kemdikbud.go.id). Penulis pun teringat semasa berkuliah. Begitu beratnya beban orang tua membiayai tiga anak yang dalam waktu hampir bersamaan kuliah. Penulis membantu meringankan beban orang tua dengan berjualan di traffic light Krapyak Semarang. Kondisi serupa dijalani beberapa teman. Untuk bisa kuliah, mereka menjadi kuli bangunan, berjualan nasi bungkus, memberikan les privat, menjahit, dan sebagainya. Perlu beberapa langkah strategis supaya program Bidikmisi betul-betul dapat memotong mata rantai kemiskinan di Indonesia. Pertama; perguruan tinggi perlu mengawal semua peserta program dalam menempuh studi agar dapat menyelesaikan sesuai jadwal, dengan hasil baik. Hal itu mengingat tak semua masaiswa bisa mendapatkan fasilitas itu. Nilai Plus Selain pembelajaran di kelas, mahasiswa peserta program Bidikmisi perlu dibekali soft skill (kepemimpinan, kewirausahaan, jurnalistik, dan lain-lain). Lewat cara tersebut, setelah selesai kuliah mereka mempunyai nilai plus saat berkompetisi dalam bekerja atau menciptakan lapangan pekerjaan di masyarakat. Kedua; peserta Bidikmisi sebelum lulus perlu mendiseminasikan bidang keahlian yang dimiliki atau semangat belajar di perguruan tinggi kepada masyarakat tempat tinggalnya, akan pentingnya pendidikan. Harapannya, hal itu akan menjadi spirit baru bagi masyarakat di lingkungannya untuk berubah. Ketiga; perlu ada tindak lanjut bagi alumni Bidikmisi. Bagi yang berprestasi, Mendikbud memberikan beasiswa S-2 dan S-3 di dalam atau luar negeri, yang perlu didukung berbagai pihak. Dengan melanjutkan studi, mereka akan lebih memiliki daya saing dan menginspirasi generasi muda. Untuk alumni yang ingin berwirausaha, pemerintah sebaiknya menfasilitasi pelatihan kewirausahaan dan memberikan bantuan modal usaha. Harapannya mereka dapat terjun langsung berwirausaha. Keempat; alumni Bidikmisi yang sudah mandiri bisa membantu pemerintah dalam pengentasan masyarakat dari kemiskinan sesuai bidang masing-masing. Lebih baik lagi andai mereka menyisihkan sebagian penghasilannya untuk memberikan beasiswa kepada masyarakat yang belum terlayani oleh Bidikmisi. Seyogianya hasil donasi tersebut dikelola lembaga khusus alumni Bidikmisi. Tujuannya untuk memperluas kesempatan masyarakat ekonomi lemah yang lain, supaya juga dapat mengenyam pendidikan tinggi. Program Bidikmisi bermanfaat untuk memotong mata rantai kemiskinan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar