Membangun Kelembagaan EkonomiA Prasetyantoko ; Pengajar di Unika Atma Jaya Jakarta |
KOMPAS, 14 April 2014
RUPANYA hasil hitung cepat Pemilihan Umum Legislatif 9 April lalu mengecewakan investor. Indeks Harga Saham Gabungan langsung terkoreksi 3,16 persen menuju level 4.765. Padahal, sehari sebelum pemilu legislatif, IHSG sempat naik pada level 4.921. Situasinya persis sebaliknya saat Joko Widodo diumumkan sebagai calon presiden: lonjakan IHSG sebesar 3,2 persen. Waktu itu, perekonomian kita bagaikan pesawat yang terdorong angin dari belakang (tail winds) dan kini melawan angin dari depan (headwinds). Mungkin, ”nilai wajar” perekonomian kita pada level sekarang ini kemarin lebih didorong faktor sentimen ketimbang fundamental. Sebenarnya fundamental ekonomi kita sudah relatif membaik yang ditandai dengan berkurangnya defisit neraca transaksi berjalan triwulan IV-2013. Merespons pengumuman itu, sejak pertengahan Februari 2014, arus modal asing masuk lebih konsisten sehingga IHSG naik, nilai tukar menguat, dan imbal hasil obligasi turun. Membaiknya fundamental ekonomi diikuti oleh menguatnya sentimen pencalonan presiden. Sayangnya, fundamental politik masih berliku, ditandai dengan hasil quick count yang menunjukkan tak ada satu partai politik pun yang memiliki suara lebih dari 20 persen. Benarkah tak ada harapan dalam transisi politik ini? Meski tak sesuai harapan, pemilihan presiden tetap memberikan peluang bagi perubahan ”fundamental politik” dengan berbagai syarat. Pertama, koalisi partai dalam pengajuan presiden dijamin kokoh, tak ada perubahan peta koalisi pada menit terakhir. Kedua, segera muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden yang benar-benar meyakinkan semua pihak dengan integritas dan kompetensi memadai. Ketiga, rumusan visi-misi, program kerja, dan agenda aksi calon presiden benar-benar menjawab persoalan mendasar. Pada intinya, semua pihak (terutama investor) butuh segera terbentuknya kelembagaan politik yang memungkinkan akselerasi kebijakan ekonomi guna menjawab persoalan mendasar. Masalah defisit neraca transaksi berjalan dianggap sebagai simptom persoalan struktural perekonomian kita sehingga investor sensitif terhadap besaran defisit. Neraca perdagangan Februari lalu surplus 785,3 juta dollar AS, tetapi belum solid. Kenaikan ekspor 0,68 persen dari bulan sebelumnya terjadi karena kenaikan harga komoditas (CPO). Dibandingkan dengan Februari tahun sebelumnya (year-on-year), ekspor turun 2,96 persen. Untungnya, pada periode yang sama impor merosot 9,98 persen sehingga neraca perdagangan masih bisa surplus. Mengamankan neraca transaksi berjalan membutuhkan kebijakan ekonomi progresif. Akutnya neraca jasa mengharuskan reformasi di bidang jasa pelayaran dan asuransi ekspor. Pada neraca perdagangan diperlukan transformasi menyeluruh di berbagai bidang guna meningkatkan daya saing produk nonmigas kita. Membangun kelembagaan ekonomi bisa dituangkan dalam kerangka kebijakan industrial yang memadai. Paling tidak ada beberapa masalah pokok yang harus ditangani. Pertama, pemberdayaan sektor pertanian melalui keterkaitan dengan sektor industri manufaktur. Kita telah mengalami lompatan yang salah ketika meninggalkan sektor pertanian ke industri manufaktur dan dari industri manufaktur ke sektor jasa. Kebijakan industrial harus mampu mengintegrasikan kembali sektor ekonomi kita dalam kesatuan mata rantai nilai (value-chain) yang solid. Kedua, kita terbukti tak mampu memenuhi prasyarat yang dibutuhkan untuk mendorong kinerja ekonomi lebih cepat, seperti pasokan infrastruktur dan energi, birokrasi, serta sistem logistik yang memadai. Percepatan pembangunan infrastruktur dan energi harus menjadi prioritas, selain reformasi birokrasi dengan menarik beberapa kewenangan kebijakan dari level daerah ke pusat. Ketiga, kualitas sumber daya manusia kita belum memadai, mengingat sebagian besar tenaga kerja berpendidikan SD dan SMP. Komitmen anggaran sebesar 20 persen dari APBN untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan belum menghasilkan dampak. Masih perlu waktu lagi dengan catatan prosesnya benar. Keempat, struktur anggaran yang tak memberikan ruang fiskal cukup bagi pemerintah baru untuk bermanuver dengan kebijakan di luar koridor yang sudah diikat dalam APBN. Pemerintah baru dituntut melakukan pengalihan anggaran yang besar terhadap subsidi, terutama bahan bakar minyak (BBM), ke pos pengeluaran lain. Hal terakhir sangat sensitif karena bisa menimbulkan gejolak politik dan sosial. Diperlukan legitimasi yang kuat, kemampuan teknokratis, dan komunikasi politik yang solid. Pengalihan subsidi BBM bisa dilakukan dengan dua opsi besar, yaitu penentuan subsidi tetap dan pengurangan secara terencana dengan perhitungan yang matang. Subsidi tetap bisa diambil dengan menentukan besaran subsidi setiap liter secara tetap dan jika ada fluktuasi harga konsumen diminta menanggung. Navigasi persoalan ekonomi sama sekali tak mudah. Dari sisi domestik begitu rumit dan kompleks, belum lagi faktor regional dan global. Akibat rapuhnya struktur ekonomi domestik, selama ini kita terombang-ambing oleh dinamika regional dan global. Pemilu kali ini harus dimanfaatkan untuk melakukan perubahan, baik dari sisi fundamental politik maupun ekonomi. Peta calon presiden tak akan banyak berubah; pasar sangat menantikan figur calon presiden. Begitu muncul sosok yang punya kredibilitas dan kompetensi tinggi, pasar kembali beraksi positif. Kita membutuhkan calon wakil presiden yang sangat menguasai dimensi teknokratis dalam birokrasi, tetapi juga punya kemampuan mengoordinasikan seluruh kebijakan agar terjadi sinergi. Setelah itu, tonggak penting lain adalah pengisian pos kementerian, terutama posisi penting, seperti kementerian keuangan, BUMN, serta energi dan sumber daya mineral. Intinya, persoalan bangsa ini harus diselesaikan sistematis dengan cara membangun kelembagaan politik dan ekonomi yang solid. Ironisnya, masyarakat masih mengandalkan figur (individual) dan cenderung tak percaya pada institusi (partai) politik. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar