Mari Nyoblos di TPS Dinna Wisnu ; Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina |
KORAN SINDO, 09 April 2014
Selamat bagi Anda yang telah datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dan menggunakan hak pilih Anda dalam pemilu kali ini. Bagi Anda yang belum, mungkin apa yang saya sampaikan dalam tulisan ini dapat menggugah Anda untuk datang ke TPS dan menggunakan hak pilih Anda. Minggu lalu saya membahas beberapa negara yang mewajibkan warganya untuk datang ke TPSdan menggunakan hak pilihnya. Terlepas dari ragam alasan pribadi untuk apatis terhadap dampak pemilu dan golput (tidak memilih), saya menggarisbawahi perlunya dorongan bagi masyarakat untuk menggunakan ”hak pilihnya”. Dalam demokrasi, baik partai, pemerintah maupun warga masyarakat ikut menentukan mutu demokrasi. Dalam akhir tulisan itu saya memberikan masukan bahwa partai politik, pemerintah, bahkan warga masyarakat perlu menyelenggarakan pendidikan politik yang lebihbaikagarwarganegara yang lain mau menggunakan hak pilihnya meskipun pada akhirnya Anda sebagai warga negaralah yang memutuskan untuk berpartisipasi atau tidak dalam pemilihan umum. pandangan tersebut adalah kualitas demokrasi itu sendiri menjadi taruhannya. Jason Brenan (2012) dalam diskusinya soal etika politik mengatakan bahwa ketika seorang warga negara menggunakan hak pilihnya, ia harus sungguh yakin percaya atas dasar yang kuat (justifiedly) bahwa calon wakil rakyat atau partai yang dipilihnya akan membawa kebaikan bersama. Artinya tidak cukup hanya percaya saja, tetapi ia harus memiliki dasar yang kuat atas kepercayaannya itu. Sama seperti ketika ada orang tua yang percaya bahwa morfin dapat digunakan untuk menyembuhkan sakit kelainan jantung pada anaknya, ia tidak sekadar punya niat baik untuk menyembuhkan anaknya, tetapi juga memiliki dasar yang pengetahuan dan informasi yang kuat bahwa morfin itu relatif aman untuk dipilih sebagai alat pengobatan. Artinya, dalam konteks pemilu, seseorang yang tidak punya dasar yang kuat untuk tidak menggunakan hak pilihnya, tetapi bersikeras untuk tidak ke TPS, akan bermasalah dalam etika politik. Perdebatan tentang memilih atau tidak memilih masih terus berlangsung hingga saat ini dari sudut etik, moral, politik, filsafat, dan bahkan ekonomi. Banyak teori yang muncul untuk menjelaskan dan memprediksi perilaku pemilih dalam pemilu seperti rational choice theory, game theory, paradox of voting, theory of voting ethics, consistency theory. Setiap orang atau kelompok akan memiliki dasar argumentasinya untuk menggunakan atau tidak menggunakan haknya. Tapi, sekali lagi, asumsi dasar dari segala teori tersebut adalah bahwa pemilih bertindak karena paham betul akan situasinya (informed). Yang repot adalah kalau ternyata asumsi tersebut keliru. Bagi negara-negara yang mewajibkan warganya untuk datang ke TPS, pertimbangan mereka sederhana dan ekonomis. Salah satunya adalah untuk mengurangi biaya kampanye yang besar dari kandidat atau partai. Partai atau kandidat tidak perlu memikirkan bagaimana caranya agar pemilih datang ke TPS karena itu sudah kewajiban negara. Hal yang perlu mereka lakukan adalah fokus berkompetisi menawarkan program-program kerjanya kepada para pemilih. Dengan demikian, money politics pun bisa dihindari. Mereka berpendapat kalau negara boleh mewajibkan warganya untuk bayar pajak, mengapa tidak bisa mewajibkan pemilih untuk datang ke TPS? Studi lain yang perlu disebutkan di sini adalah perihal kaitan antara hasil kebijakan yang lahir dari pemilu yang gagal diikuti oleh orang-orang yang punya kepentingan langsung dalam isu-isu yang diusung dalam kebijakan. Misalnya kebijakan terkait penanganan kemiskinan atau program pemerataan sistem jaminan kesehatan. Di Amerika Serikat, Martin Gilens (2012) dalam buku terbarunya Affluence & Influence, yang terkenal karena membahas kesenjangan ekonomi akibat perilaku dalam pemilu, mengatakan bahwa memang tidak bisa disalahkan sepenuhnya bahwa ada banyak orang miskin yang tidak ikut pemilu, tetapi karena itulah hasil kebijakan di bidang penanganan kemiskinan cenderung menyimpang dari kebutuhan orang miskin. Hal ini tidak terjadi ketika ada keinginan melahirkan kebijakan tertentu yang melindungi kepentingan orang kaya karena orang kaya di Amerika Serikat cenderung memilih dan pilihan mereka konsisten dengan kebutuhannya. Argumen serupa diangkat pula oleh Ryo Arwatari (2006) yang mengatakan jumlah orang yang memilih dalam pemilu di negara- negara industri semakin rendah dari tahun ke tahun. Penelitiannya di AS dan Inggris menyebutkan sejak tahun 1920 hingga 2005 terjadi penurunan partisipasi pemilu yang signifikan. Jumlah orang yang mencoblos tertinggi terjadi di tahun 1960-an. Apa dampaknya terhadap perekonomian? Dalam konteks kebijakan, yang lahir adalah kebijakan yang pro terhadap kepentingan kelas menengah karena merekalah yang ikut pemilu, sementara biaya sosial yang akhirnya harus ditanggung kalangan miskin menjadi tinggi. Jadi, meskipun program partai politik belum secara terang dan gamblang dikomunikasikan sebagaimana idealnya dalam demokrasi yang matang, kita harus siap bahwa dengan kita tidak berpihak dalam pemilu kali ini, efeknya akan kita rasakan langsung dalam kebijakan-kebijakan lima tahun ke depan. Waktu tidak dapat diputar ulang; menggugurkan hasil pemilu punya risiko politik yang jauh lebih besar daripada mengubah medan politik melalui pemilu. Itu sebabnya pilihan kita untuk datang mencoblos ke TPS adalah bekal perbaikan bangsa yang patut dilakukan segenap masyarakat. Apabila Anda belum menemukan caleg atau partai yang sesuai 100% dengan pilihan rasionalitas Anda saat ini, memilih caleg atau partai yang relatif dekat dengan pilihan rasionalitas Anda saat ini akan membuka peluang kemungkinan lebih besar bahwa harapan Anda akan muncul dalam pemilu selanjutnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar