Kuku Irfan Budiman ; Wartawan Tempo |
TEMPO.CO, 09 April 2014
Ketika ponpin alias telepon pintar terjangkau harganya dan siapa pun bisa memilikinya, barulah terasa betul kegunaan memiliki kuku-kuku tangan yang dipotong pendek. Menggunakan jenis ponpin apa saja bisa lancar. Tanpa ada kuku-kuku di ujung jari, membuka aplikasi yang diinginkan menjadi lebih mudah. Dijamin tidak akan meleset. Nyatanya benar perintah orang tua dan guru di sekolah dulu. Mereka selalu bawel meminta anak-anak atau muridnya untuk menggunting kuku-kuku di tangan. Pesan mereka, kuku yang pendek dan rapi teramat baik untuk kesehatan. Bagus juga kelihatannya. Namun, di masa itu, permintaan itu seperti pemaksaan. Anak-anak selalu malas atau lupa untuk menggunting kuku sampai harus dikejar-kejar segala. Lolos dari sergapan orang tua, di sekolah ada razia kuku, yang biasanya digelar bersamaan dengan pemeriksaan rambut dan gigi. Mereka akan memeriksa kuku-kuku para murid. Mereka yang punya kuku panjang, apalagi kotor, sudah pasti terkena hukuman. Satu pesan dari orang tua yang saya ingat, lebih baik memiliki kuku-kuku yang pendek dan dipotong rapi. Lagi pula, kuku-kuku panjang sepertinya hanya pantas dimiliki oleh kaum wanita. Mereka yang sudah cantik akan terlihat lebih cantik bila dengan kuku-kuku yang panjang yang dipulas oleh cat kuku yang berwarna-warni. Rona-rona di kuku-kuku mereka yang sewarna dengan busana yang dipakai mempercantik penampilan mereka. Memiliki kuku yang panjang bisa menimbulkan masalah. Seorang pemain sepak bola, sebelum masuk lapangan, selalu diperiksa kuku-kukunya. Mereka yang berkuku panjang dilarang masuk sebelum memotongnya. Memiliki kuku panjang juga bisa melakukan kecurangan. Di masa Orde Baru sudah lumrah terdengar cerita soal tidak sahnya suara karena ulah para oknum saat penghitungan suara dilakukan. Saat penghitungan suara tiba-tiba didapatkan banyak kartu suara yang tidak sah. Itu terjadi ternyata karena ada coblosan lebih dari satu. Atau dianggap tidak sah karena kertas suara yang rusak. Syahdan hal itu dilakukan oleh pemilik kuku-kuku panjang. Mereka beraksi dengan hebat. Mereka memiliki kecepatan dan kelihaian tersendiri, kuku-kuku panjang di jempol akan menusuk kertas itu. Hasilnya, kertas suara itu tidak sah. Kertas suara ketika itu memang tidak sebesar dan selebar saat itu. Maklum, hanya ada gambar dari tiga partai politik peserta pemilu. Dengan ukuran kertas suara yang lebih kecil, persoalan kecepatan tangan dalam mencoblos menjadi lebih mudah. Maka, di masa itu, ada perintah jangan golput karena kertas suara yang kosong akan dicoblos oleh kuku-kuku ajaib itu. Alhasil, gerakan coblos semua pilihan pun menjadi imbauan lain. Maksudnya, agar suara itu benar-benar tidak sah dan tidak mungkin akan disalahgunakan oleh petugas penghitung suara yang licik. Lantas bagaimana dengan kecurangan dalam pemilihan umum saat ini? Tidak ada yang tahu. Namun, terlepas dari semua itu, saat berangkat ke kotak suara, mereka yang kebetulan menjadi panitia lebih baik menggunting kuku-kuku di tangannya dengan rapi. Baik juga untuk mereka yang akan memilih. Tinta ungu yang menempel di jari sebagai tanda sudah memilih akan lebih mudah dibersihkan. Tinta ungu itu tidak akan sampai masuk ke balik kuku-kuku yang panjang. Lebih indah dan sehat. Persis seperti nasihat orang tua di masa kecil dulu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar