KTT Liga Arab dan Masa Depan Arab Ibnu Burdah ; Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam; Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga |
KOMPAS, 02 April 2014
NEGARA-negara Arab tengah menghadapi tantangan historis yang amat menentukan masa depan mereka. Tantangan itu adalah mengembalikan proses demokratisasi ke jalur damai setelah sekitar tiga tahun ini proses itu direcoki oleh aktor-aktor kuat dengan kepentingan beragam, bahkan saling bertentangan. Akibatnya, beberapa negara Arab masuk dalam kubangan perang tak berkesudahan, kekerasan terhadap aktivis dan rakyat, krisis kemanusiaan, instabilitas, dan lemahnya pemerintahan. Patut disesalkan, tantangan terpenting ini sama sekali tidak menjadi agenda pembahasan dalam perhelatan KTT Ke-25 Liga Arab yang berlangsung di Kuwait, 25 Maret 2014. Bahkan rekonsiliasai antara Arab Saudi dan Qatar sudah gagal sebelum konferensi berlanjut. Begitu KTT usai dibuka, Selasa, Putra Mahkota Arab Saudi Pengeran Salam bin Abdel Aziz langsung meninggalkan Kuwait (Kompas, 27/3). KTT Liga Arab kali ini bahkan terkesan menghindari pembahasan masalah-masalah yang sudah di depan mata, seperti pencarian solusi damai Suriah, masalah penjatuhan rezim Ikhwan oleh militer Mesir, dan perselisihan di antara sejumlah negara Teluk. Semua itu dilakukan demi terselenggaranya KTT tersebut. KTT ini pun hanya dihadiri 13 dari 22 kepala negara anggota. Forum penguasa Harus dimengerti, forum KTT Liga Arab adalah forum para penguasa Arab yang sebagian besar menjadi penguasa tidak melalui proses demokrasi. Hanya beberapa penguasa Arab saat ini yang merupakan hasil dari proses demokrasi. Itu pun dengan pemerintahan yang sangat-sangat lemah. Sebagian besar lainnya justru merupakan musuh demokratisasi, dan para penguasa jenis ini memiliki kekuatan besar sebab telah berkuasa dalam waktu lama. Jadi, proses demokratisasi bagi sebagian besar mereka sama sekali tak bermakna peluang, tetapi ancaman nyata. Oleh karena itu, segenap sumber daya mereka dikerahkan justru untuk membendung proses itu, termasuk di forum KTT Liga Arab saat ini. Forum itu justru terlihat digunakan untuk saling menjatuhkan pihak lain yang dipandang sebagai musuh kekuasaan mereka dan pendukung gerakan rakyat. Arab Saudi semula bersikeras ingin memanfaatkan forum itu untuk mengucilkan Qatar meskipun itu tak berhasil. Qatar dipandang sebagai pendukung gerakan-gerakan Ikhwani dan sebagian gerakan demokratisasi di sejumlah negara Arab, terutama di Mesir, Tunisia, Maroko, Palestina, dan Jordania. Arab Saudi memandang kekuatan-kekuatan berideologi Ikhwan dan gerakan demokratisasi di negara-negara Arab sebagai ancaman terhadap survival kekuasaan mereka. Karena itu, negara tersebut menjalankan strategi membendung arus agar pengaruh kelompok Ikhwani dan gerakan demokratisasi jangan sampai menjalar ke wilayahnya dan negara-negara sekitarnya. Upaya pengucilan Qatar di KTT itu dipandang sebagai salah satu langkah strategis untuk mengurangi ancaman kelompok-kelompok Ikhwani dan gerakan demokratisasi ini. Saudi sekarang adalah negara yang begitu agresif dalam percaturan politik kawasan, termasuk dalam melakukan intervensi terhadap politik dalam negeri negara-negara Arab lain. Hanya saja, langkah ini ternyata tidak serta-merta diikuti oleh negara-negara Teluk seperti sebelumnya. Hanya Bahrain yang sangat mendukung langkah ini. Itu pun mungkin disebabkan mereka harus menghadapi tekanan Arab Saudi yang bisa saja sewaktu-waktu menarik pasukannya dari Bahrain. Telah maklum, Arab Saudi mengirimkan tentaranya dalam jumlah besar ke Bahrain untuk membantu rezim negeri itu menghadapi gerakan protes dari rakyatnya. Rezim Bahrain memiliki ketergantungan tinggi terhadap ”tentara asing” itu. Negara-negara Teluk lain, terutama Oman, justru menolaknya. Kuwait sebagai tuan rumah KTT Liga Arab kali ini juga tak menuruti tekanan Arab Saudi. Implikasinya, hubungan di antara negara-negara Teluk itu jadi lebih kompleks dan rumit sekarang. Panggung terbuka Isu memasukkan gerakan Ikhwani sebagai gerakan teroris gelagatnya juga hendak dijadikan agenda KTT ini, terutama oleh Mesir dan Arab Saudi, meskipun itu kemudian tak berhasil. Dahulu, ketika Mesir dan Arab Saudi bersepakat dalam suatu hal, maka kemungkinan besar itu akan mulus menjadi keputusan Liga Arab. Akan tetapi, sekarang, itu tak mudah lagi terjadi meskipun itu juga didukung sejumlah negara Arab lain, seperti Emirat Arab, Jordania, ”Palestina” Fatah, Maroko, dan lainnya. Perkembangan ini tentu memperparah kompleksitas peta konflik di dunia Arab pasca berkobarnya Musim Semi Arab. Saat ini, setiap event besar dan setiap jengkal wilayah di negara-negara Arab adalah panggung terbuka bagi pertarungan aktor-aktor besar dengan ambisi menghabisi yang lain. Padahal, sumber daya mereka sangat besar. Akibatnya, kerusakan yang ditimbulkan juga sangat besar dan dapat terjadi di mana-mana. Lihatlah Mesir, kapan pertikaian di negeri itu akan reda? Siapa yang berani mengatakan Saudi sama sekali tak terlibat dalam menciptakan Mesir seperti sekarang. Tentu saja Qatar, Iran, Palestina Hamas, Israel, dan negara lain juga bermain di sana. Siapa pula yang mengatakan, negara-negara itu tak terlibat dalam rangkaian aksi kekerasan di Irak, pertikaian di Yaman selatan, di Lebanon, dan seterusnya. Setiap jengkal wilayah dunia Arab adalah panggung pertarungan di antara kekuatan-kekuatan itu. Dan, KTT Liga Arab kali ini juga lebih sebagai ajang pertarungan daripada sebagai sarana mencari solusi atas persoalan mereka dan membangun masa depan bersama yang lebih baik. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar