Keterbatasan Politik Populis M Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional |
KOMPAS, 09 April 2014
HADIRNYA Jokowi dalam konstelasi politik Indonesia mutakhir, terlepas dari pro-kontra yang menyertainya, menggambarkan bekerjanya ranah populisme politik. Gaya ”blusukan” yang sesungguhnya lazim saja dilakukan yang lain, di tangan Jokowi—panggilan akrab Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo—tampak lebih alamiah. Jokowi, yang oleh Megawati Soekarnoputri belakangan ini disebut ”Si Kerempeng”, nyaris dengan modal ”keluguannya” justru mampu jadi magnet politik yang kuat bukan hanya di akar rumput, melainkan juga elite politik. Bukan hanya Jokowi, isu-isu politik para bakal calon presiden dan partai-partai politik umumnya juga populis. Banyak yang berjanji memerangi pengangguran dan kemiskinan, juga isu-isu praktis kerakyatan lainnya, yang intinya kalau partai menang, rakyat sejahtera. Isu-isu populis memang sederhana, kalau bukan menyederhanakan masalah, sering kurang masuk akal dan hiperbolik, tetapi punya daya buai yang tinggi. Dalam logika politik populer, di mana dukungan politik diperebutkan secara elektoral, pendekatan populis tidak terhindarkan. Capres, partai, atau entitas politik apa pun berlomba menempuh langkah populis meraih simpati publik luas. Ruang alternatif Populisme politik memang berurusan dengan popularitas politik kendati definisi dan tinjauannya beragam membentang dari konteks gaya komunikasi hingga ideologis. Raadt, Hollanders, dan Krouwel (2004) mencatat, populisme—setidaknya secara wacana ideologis—menolak kemapanan dan politik yang monoton kendatipun tidak anti demokrasi atau anti politik. Politik populis membawa-bawa ”rakyat” dan ”anti kemapanan”, dan menyambungkannya dengan kekuasaan. Populisme, catat Francisco Panizza (2005), merupakan bagian dari lanskap politik modern yang akan selalu bertahan. Merujuk Laclau (2005), praktik populis muncul dari kegagalan lembaga- lembaga sosial dan politik ketika meningkatnya tuntutan tidak disertai oleh meningkatnya ketidakmampuan sistem kelembagaan untuk menyerap mereka. Dari sini, kita bisa mencatat populisme hadir ketika orang relatif tidak percaya pada representasi kelembagaan formal yang seolah tidak mampu berbuat apa-apa. Dalam kondisi ketika lembaga formal defisit kepercayaan, karena ciri-ciri umumnya birokratis dan korup, hadirnya para pejabat politik baru yang bergaya kepemimpinan alternatif segera menjadi pusat perhatian. Di Indonesia, publik pernah memperbincangkan fenomena kepemimpinan Mbah Maridjan meski jabatannya sekadar juru kunci Gunung Merapi. Maridjan ketika itu muncul sebagai ekstrem lain dari alternatif gaya kepemimpinan formal yang menonjol di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di sisi lain, kita juga mulai melihat ketika itu ulasan-ulasan media tentang para pejabat politik lokal yang menonjol alternatif kepemimpinannya. Masuk di ranah ini, belakangan antara lain Jokowi. Belum lekang dalam ingatan ketika Jokowi diusung PDI-P dan Gerindra sebagai calon gubernur DKI berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama. Dari sudut ekstremitas gaya kepemimpinan, kehadiran Jokowi dalam Pilkada DKI itu menggusur Faisal Basri yang sebelumnya berposisi sebagai ekstrem lain dari gaya kepemimpinan Fauzi Bowo, sang petahana. Nyatanya kemudian Jokowi-Basuki terpilih. Kini, dengan pola serupa, Jokowi masih berdiri di posisi ekstrem gaya kepemimpinan populis. Keterbatasan Meski populisme tidak bertentangan dengan demokrasi dan lebih merupakan konsekuensi yang sering tidak terhindarkan, ia memiliki sejumlah keterbatasan. Pertama, merujuk pendapat Nurcholish, populisme berpotensi ke arah ”kecelakaan politik”. Bahwa bisa jadi yang dipilih rakyat yang sekadar populer minim kompetensi. Kedua, populisme membesar ketika lembaga sosial dan politik bermasalah secara fungsional. Ketika sistem kelembagaan tak mampu mengantisipasi ”karisma politik”, sosok berimprovisasi di pentas politik melampaui kesisteman politik. Ketiga, jangka pendek, orang terpuaskan dengan hadirnya sosok populis, tetapi risiko jangka menengah dan panjangnya terbuka. Politik praktis setelah pemilu bisa jauh lebih rumit ketimbang bayangan semula. Tidak ada ”superhero” yang mampu bertahan dari perpecahan politik manakala ia tak mumpuni dalam mengelola konflik. Keempat, mungkin juga pada praktiknya populisme sekadar memberikan penguatan ”politik permukaan”, yang tidak berurusan dengan kedalaman makna. Dalam banyak kasus, pemimpin populis justru sekadar bertahan dalam kekuasaannya dengan membatasi kebebasan publik dan kebijakan yang tidak populer dalam demokrasi. Karena itu, kehadiran pemimpin populis perlu disertai kekuatan pengimbang yang sebanding, baik internal maupun eksternal. Di ranah internal, pendamping dan para pembantunya dituntut memiliki kemampuan mengatasi permasalahan yang hadir sebagai ekses populisme. Yang mengimbangi adalah yang mampu mengelola pemerintahan secara stabil dan menjamin jalannya pembangunan. Pemerintah harus kuat, termasuk dalam berurusan dengan parlemen dan kekuatan-kekuatan eksternal yang sangat kritis. Di Indonesia, dalam batas-batas tertentu, pernah ada Soekarno-Hatta sebagai kekuatan saling melengkapi. Merujuk Herbert Feith, Soekarno lebih bergaya solidarity maker dan Hatta administrator. Kendati dinamika politik memisahkan dwitunggal, tetap saja Soekarno-Hatta lazim dirujuk. Pesan kuat pengalaman sejarah demikian, gaya kepemimpinan populis perlu dilengkapi kemampuan para pengimbang dalam merespons kelemahannya. Bahwa tidak hanya dalam demokrasi secara umum, dalam konteks kepemimpinan nasional pun prinsip checks and balances diperlukan dalam mengelola politik dan stabilitas demokrasi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar