Kesiapan Perempuan Caleg Oerip Lestari ; Aktivis perempuan, Tinggal di Semarang |
SUARA MERDEKA, 01 April 2014
Genderang perang untuk merebut hati rakyat sudah ditabuh para pegiat politik (politikus), tidak terkecuali perempuan calon wakil rakyat, dari Sabang sampai Merauke. Hiruk pikuknya sudah terasakan. Barangkali, bagi para incumbent (petahana) yang sudah memiliki pengalaman mengikuti pemilu (bahkan sampai dua periode), pertempuran tersebut sudah bukan barang baru lagi. Tentu mereka lebih siap, baik secara finansial fisik maupun strategi pemenangan pemilu. Hal ini merupakan modal utama yang tidak dimiliki oleh para pemain baru di ranah politik. Harus dicermati dan disadari bahwa para petarung ini tidak hanya bersaing dengan partai lain, tetapi yang lebih sulit justru melawan teman separtai (lawan internal). Perempuan calon anggota legislatif wajib mengetahui dengan jelas posisinya, jangan sampai mereka dimasukkan dalam daftar hanya untuk memenuhi kuota 30%, sebagaimana disyaratkan oleh KPU. Dari pengamatan sekilas, para perempuan yang berada di urutan nomor 1 - 3 adalah yang telah memiliki jam terbang cukup tinggi atau memiliki popularitas yang memadai di masyarakat. Langkah strategis benarbenar harus di pertimbangkan oleh pendatang baru (newcomers). Jangan hanya memasang foto-fotonya di mana-mana, menyebar kartu nama, membagi kalender, kaus ataupun atribut-atribut yang tergolong konvensional. Masyarakat sekarang sudah cerdas dibandingkan sepuluh tahun lalu. Saat ini mereka membutuhkan wakil rakyat yang berkualitas, cerdas dan mampu menjawab berbagai persoalan di bidang polilitik, ekonomi, sosial dan budaya. Dengan makin dewasa dan cerdasnya masyarakat, maka pilihan yang dijatuhkan pada sosok perempuan anggota legislatif harus didasarkan pada kemampuan, profesionalisme, kejujuran, kepekaan, keberanian, konsistensi, serta keberpihakan. Di samping itu, harus mampu berkomunikasi politik dengan para pemilihnya, termasuk pemilih pemula secara baik dan benar, Apabila harapan itu tidak terpenuhi, jangan harap Anda ''dicoblos''. Kendala Niat perempuan untuk memasuki dunia politik tidak semulus laki-laki, sebab ada kendala yang dihadapi oleh kaum perempuan, yakni mencakup aspek ideologis, psikologis, sosial dan ekonomi. Kendala ideologis-psikologis meliputi masalah kultur, agama, kurang percaya diri, persepsi prempuan tentang politik sebagai dirty game, media masa yang kurang mendukung, pendidikan politik yang masih minim, dan sebagainya. Berikutnya, kendala sosial-ekonomi, terdiri dari kemiskinan, pengangguran, pendidikan, keterbatasan akses terhadap modal, beban ganda antara tugas-tugas rumah tangga dan kewajiban publik (profesi). Masalahmasalah kekerasan terhadap perempuan, perdagangan perempuan dan anak-anak makin meningkat, tetapi tidak ada upaya tegas untuk mengatasinya melalui kebijakan pemerintah secara konsepsional dan komprehasif. Dalam realitas kehidupan sosial menggambarkan betapa ketidakadilan, ketidaksetaraan masih saja terjadi antara laki-laki dan perempuan hampir di semua aspek. Di bidang politik misalnya, kesenjangan itu sangat dirasakan berdasarkan jumlah keterwakilan perempuan dalam struktur kekuasaan negara (proses kebijakan negara), karena kaum laki-laki ternyata masih sangat dominan. Sebagai contoh partisipasi perempuan dalam membuat kebijakan publik, baik di tingkat provinsi (DPRD) maupun DPRD tingkat kabupaten/ kota masih di bawah 30%. Keterlibatan perempuan di DPRD Jateng hanya 21%, sementara laki-laki mencapai 79%, angka ini lebih kecil di tingkat kabupaten/kota, yaitu 19% untuk perempuan dan 81% untuk lakilaki (data BPS tahun 2012). Melihat ''medan perang'' dan belantara politik yang demikian mengerikan menyebabkan banyak perempuan yang tidak punya nyali untuk menerjuni dunia politik. Konstruksi sosial (sejak Orde Baru) hanya menempatkan perempuan di wilayah yang apolitis (misalnya: Darma Wanita, PKK, Posyandu), jadi tidak perlu terlibat serta memiliki kepentingan pada persoalanpersoalan publik dan politik. Perempuan diminta perannya sebagai kelompok ''penjaga'' tatanan etika dan moralitas, tidak perlu neka-neka. Dengan demikian, perempuan yang sudah berani melangkah ke ranah politik harus memiliki ''nyawa rangkap'', sekaligus ketegaran luar biasa yang barangkali lebih dari laki-laki. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa perjuangan kaum perempuan masih panjang dan kompleks. Di satu sisi dia harus melepaskan diri dari tindakan diskriminatif, sedangkan di sisi lain harus berupaya menghilangkan kendala klasik yang melekat pada dirinya, sehingga akses untuk meningkatkan partisipasinya di parlemen lebih terbuka lebar. Dunia politik mengandung dinamika yang selalu bercirikan adanya perubahan tata nilai kehidupan dan budaya politik sesuai dengan perubahan realitas sosial di masyarakat. Dalam konteks kuota 30%, hendaknya dimaknai sebagai format politik yang mengacu pada prinsip-prinsip tersebut, yaitu dinamika yang mengikuti perkembangan realitas sosial budaya perempuan dan bukan merupakan pengakuan politik yang didasari oleh belas kasihan belaka. Perempuan, bangkitlah! Dan terus maju! Women can do more with their hearts and souls (perempuan dapat berbuat lebih banyak dengan hati dan jiwanya). ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar