Kemiskinan dan Ketergantungan Suroto ; Ketua Umum Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Wakil Ketua Induk Koperasi Konsumsi Indonesia |
KOMPAS, 08 April 2014
AKAR kemiskinan itu adalah ketergantungan pada tiga hal, yaitu ketergantungan pada derma/sedekah, politik, dan rentenir. Inilah pandangan Friedrich Wilhelm Raiffeisen (1818-1888), yang menjabat sebagai Wali Kota Flammersfeld/ Westerwald, Jerman, pada 1848. Raiffeisen adalah tokoh sosialis utopis yang kurang kondang pada masa Revolusi Industri waktu itu. Raiffeisen, yang kebetulan tahun kelahiran dan juga kematiannya sama dengan Karl Marx (1818-1888) ini, pernah membuat satu uji coba untuk membantu rakyatnya lepas dari kemiskinan akut akibat sistem kapitalisme di masa Revolusi Industri pada waktu itu. Awalnya dia mendirikan kumpulan para penderma (filantropi) dan mendirikan bread society. Ia mengumpulkan uang dari para penderma guna mendirikan pabrik roti untuk diberikan kepada orang miskin dengan maksud agar mereka lepas dari kemiskinannya. Namun, Raiffeisen menemukan hal yang membuat dia hampir putus asa dengan proyeknya itu. Kemiskinan yang diderita rakyatnya tidak kunjung berkurang. Yang terjadi justru antrean yang semakin panjang dari orang-orang miskin untuk berebut sedekah. Alhasil, dia kemudian menemukan satu konsep bahwa kemiskinan itu tidak dapat diselesaikan dengan cara-cara karitatif atau sedekah. Dia mengambil kesimpulan bahwa orang miskin akan lepas dari kemiskinannya dengan solidaritas di antara orang miskin tersebut untuk saling membantu. Melengkapi konsepnya, Raiffeisen menyarankan agar orang-orang miskin itu coba melepaskan ketergantungan tersebut dengan konsep menolong diri sendiri (self help), mengelola sendiri (self-governance), dan tanggung jawab sendiri (self-responsibility). Konsep itu kemudian diwujudnyatakan salah satunya dengan gagasan koperasi kredit atau credit union, lembaga perbankan yang dimiliki para nasabahnya yang saat ini beranggotakan hampir setengah miliar penduduk dunia. Kemiskinan kita Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada September 2013, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 28,55 juta orang atau 11,47 persen dari jumlah total penduduk. Jika ditambah mereka yang rentan miskin, lebih kurang 70 juta, jumlahnya hampir separuh dari jumlah penduduk Indonesia. Setiap tahun, pemerintah selalu mengalokasikan dana ratusan triliun rupiah untuk menangani kemiskinan ini. Baik dalam program subsidi, dana program pengentasan dari kemiskinan melalui pemberdayaan ekonomi, hingga bantuan langsung. Hasilnya, mereka tetap saja berada dalam jerat kemiskinan dan hidup serba dalam kesulitan. Angka pertumbuhan ekonomi kita yang rata-rata dalam satu dekade ini mencapai 5,6 persen dan menjadikan posisi nomor dua di dunia setelah Tiongkok pada 2013 ternyata tidak mampu mengubah kondisi si miskin. Bahkan, peringkat kesenjangan sosial-ekonomi yang ditandai dengan angka indeks gini 0,41 telah memperlihatkan secara gamblang bahwa segelintir orang menjadi semakin kaya dan rakyat banyak semakin terpuruk. Bila kita analisis secara mendalam, apa yang dilakukan pemerintah ataupun politisi di Senayan sepertinya abai terhadap masalah mendasar dari ketergantungan yang disampaikan Raiffeisen. Mereka malah terlihat berupaya keras untuk melanggengkan ketergantungan tersebut demi memenuhi hasrat kekuasaan dan hasrat ekonomistik dengan program-program populis. Sebut saja, misalnya, pemerintah ternyata lebih gemar menggelontorkan program semacam bantuan langsung tunai, subsidi untuk si miskin, dan program dermatif lainnya. Tak heran bila kemudian setiap upaya pemberdayaan hasilnya adalah ketidakberdayaan dan setiap pembinaan telah menjadikan rakyat terbinasa pelan-pelan. Mereka juga gemar menciptakan regulasi yang tak jelas menyelesaikan akar ketergantungan masyarakat. Para petani kita tetap dibiarkan gurem, di mana fakta di lapangan menunjukkan 75 persen petani tidak punya lahan dan 24 persen lainnya hanya memiliki lahan seluas 0,3 hektar. UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UU PA) yang seharusnya bisa jadi pintu masuk bagi proses redistribusi lahan bukannya dijalankan, justru dipereteli dengan berbagai UU sektoral lainnya. Jerat ketergantungan Hasilnya dapat kita lihat. Menurut data BPS, saat ini 87 persen daratan kita dikuasai hanya oleh 0,2 persen jumlah penduduk. Masyarakat kita tidak saja telah terpisahkan dari tanah tempat mereka bercocok tanam untuk sekadar bertahan hidup (subsisten), tapi telah masuk dalam jerat ketergantungan pada mafia kartel pangan yang serba diimpor. Puncaknya, pada 2013, kita didera defisit perdagangan dan pembayaran, yang sepertinya masih akan menjadi ancaman di 2014 karena penanganan semu pemerintah dengan hanya berkutat pada indikator-indikator ekonomi makro. Buruh miskin perkotaan juga dibiarkan setiap akhir tahun berdemo demi menuntut kenaikan gaji yang sebetulnya secara riil kenaikannya selalu saja tergerus inflasi. Tidak ada sedikit pun tanda-tanda pemerintah dan para elite politik di negeri ini ingin mengadakan reformasi mendasar terhadap persoalan regulasi korporasi. Undang-undang pembagian saham bagi buruh tidak pernah muncul, bahkan sekadar sebagai isu. Pembatasan rasio gaji antara mereka yang di level top management dan buruh terendah juga tidak pernah dibahas. Persoalan ketidakadilan dalam redistribusi kekayaan dan pendapatan hampir tak terbahas. Padahal, jelas bahwa perintah konstitusi kita mengharuskan dilakukannya proses demokratisasi ekonomi. Seperti mekanisme kerja tembolok, kemiskinan di negeri ini sepertinya selalu ditaruh untuk penanganan sementara dan kemudian akan dikunyah terus dari waktu ke waktu tanpa henti. Kemiskinan akan terus dikritik. Akan tetapi, itu dilakukan demi pelanggengan kemiskinan itu sendiri, dan semua itu bermuara dari hasrat untuk berkuasa dan keserakahan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar