Kembalikan Kejujuran WartawanDerek Manangka ; Wartawan Senior |
INILAH.COM, 20 Maret 2014
Ada kecurigaan, jauh sebelum Dahlan Iskan diajak Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi peserta konvensi capres Partai Demokrat. Secara pribadi dan diam-diam, Dahlan Iskan diperkirakan sudah menjadi pendukung resmi partai penguasa tersebut. Ada yang bahkan menyebut sejak Pemilu Presiden 2004, Dahlan Iskan melalui Jawa Pos Grup sudah memberi dukungan kepada SBY. Hanya saja dalam rangka menjaga netralitas dan independensinya sebagai pemilik media, dukungan itu tidak dilakukan secara terbuka. Kedekatannya dengan SBY dilakukan secara terukur. Tidak mencolok. Atas sikap seperti itu, Dahlan Iskan sebagai tokoh pers nasional, terus diapresiasi oleh komunitas pers. Tak terkecuali komunitas yang berada di luar kendali atau jaringannya. Mengingat Dahlan Iskan merupakan salah seorang insan pers yang berhasil, pembelajaran apa yang bisa dipetik oleh komunitas pers atas keputusan bos Jawa Pos Grup menjadi partisan? Pertanyaan ini penting sebab Dahlan Iskan sejauh ini menjadi panutan bagaimana menerjemahkan kebebasan pers dalam rangka menegakkan pers sebagai salah satu pilar demokrasi. Dahlan merupakan contoh ceritera sukses yang menjadi kebanggaan komunitas pers. Sebab hampir semua media yang dia lahirkan selalu berhasil. Tapi di balik kebanggaan itu, muncul pula berbagai pertanyaan, mengapa Dahlan tiba-tiba berbelok arah. Ingin menjadi Presiden ? Yang sudah pasti, semenjak Dahlan menjadi kader Demokrat, seluruh media milik Dahlan Iskan, langsung atau tidak, otomatis menjadi media Partai Demokrat. Seluruh kelompok usaha media yang berada dalam konglomerasi Jawa Pos, tidak bisa lagi dikategorikan sebagai media pembawa suara rakyat. Sesungguhnya Dahlan Iskan bisa kita tuding telah mengelabui publik, apabila setelah menjadi kader Partai Demokrat, lantas masih mengklaim, semua media miliknya tetap independen.Hal itu akan sama dengan yang dilakukan Surya Paloh untuk Metro TV dan Media Indonesia atau Aburizal Bakrie untuk TVOne dan Antv. Oleh karena itu akan lebih pantas dan lebih baik, apabila Dahlan Iskan sebagai pemilik dari sekitar 180 media daerah (Radar), Jawa Pos, dan sejumlah televisi lokal menegaskan, bahwa semua media miliknya 'untuk sementara' , selama masa Pemilu menjadi media Partai Demokrat. Penegasan ini boleh jadi menyakitkan bagi insan pers yang bekerja di bawah naungan Jawa Pos Grup - khususnya mereka yang tetap memiliki sikap independensi. Tetapi penegasan ini merupakan sebagai sikap beretika. Sekaligus sebagai sebuah pembelajaran bahwa menjadi wartawan sejati, wartawan profesional, harus jujur, terbuka kepada publik. Untuk yang hitam harus dikatakan hitam. Begitu pula yang putih harus disebut putih. Keputusan Dahlan Iskan menjadi kader partai Demokrat, merupakan hal dan pilihan politik yang tidak bisa diganggu siapapun. Tetapi yang menjadi hak publik, tuntutan publik yaitu adanya kejujuran dan keterbukaan. Seorang figur politik apalagi yang punya cita-cita menjadi Presiden, Pemimpin Nasional, sejak awal sudah harus berani jujur. Ibarat sebuah perusahaan swasta yang ingin masuk dalam pasar modal, menjadi sebuah perusahaan publik, Dahlan Iskan juga harus melakukan apa yang disebut "full disclosure". Membuka semua hal-hal yang wajib diketahui publik. Jangan sembunyikan apa yang perlu diketahui publik. Kalau selama ini media-media milik Dahlan Iskan - melalui pemberitaan, mendorong pemerintah agar terbuka kepada publik, kali ini hal serupa harus dilakukan oleh Dahlan Iskan. Jika selama ini Dahlan Iskan sudah membuka rahasia keberhasilannya menjadi pasien gagal ginjal yang selamat dari maut, tidak ada salahnya keterbukaan yang lebih luas juga perlu dilakukannya. Yaitu perubahan kebijakan partisan seluruh media miliknya. Publik wajib diberi kesempatan untuk menilai sejauh mana sisi positif negatifnya keberpihakan media-media milik Dahlan Iskan. Keterbukaan dan kejujuran media, merupakan hak yang dititipkan publik kepada pemilik media. Oleh sebab itu, hak publik tersebut tidak boleh dimanipulasi. Tirulah cara Rupert Murdoch. Ketika ia berpihak ke salah satu partai politik atau tokoh politik di sebuah negara, hal tersebut dicetuskannya melalui editorial. Ternyata keterbukaan ini, tidak mengurangi pihak-pihak yang tidak sejalan dan seideologi dengan Murdoch untuk melakukan kerja bisnisnya. Saat Murdoch membela mati-mati Margareth Thatcher, Perdana Wanita Inggris yang dijuluki "The Iron Lady", tak satupun politisi Inggris yang tidak tahu latar belakang pembelaannya. Keterbukaan dan kejujuran menjadi kunci dari jati diri wartawan. Oleh sebab itu, media yang dikelola oleh para wartawan yang terbuka dan jujur, kemudian disebut sebagai Pilar Keempat Kekuatan Demokrasi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar