Ini   Indonesia, BungAdiwarman A Karim  ;     Peneliti di Center for Indonesian Political Studies  (CIPS) Yogyakarta  |  
REPUBLIKA, 14 April 2014
|    Jokowi telah jauh hari digadang-gadang untuk   menjadi calon presiden. Di beberapa pilkada, beliau ikut berperan serta, foto beliau banyak   menghiasi poster-poster calon legislatif. Kesederhanaan beliau, kedekatan beliau dengan   rakyat kecil, sikap santun dan cerdas menjadi daya tarik tersendiri. Bahkan,   ketika beliau resmi dideklarasikan menjadi calon presiden oleh partainya,   para pengamat ekonomi mengatakan ada Jokowi   effect yang mengangkat indeks harga saham. Indeks harga saham gabungan   (IHSG) secara mengejutkan naik 152,476 poin (3,23 persen) ke level 4.878,643   pada penutupan perdagangan, yang dibarengi penguatan rupiah terhadap dolar AS   menjadi Rp 11.305 per dolar AS atau naik 119 poin per Jumat 14 Maret. Ketika hasil pemilu legislatif tidak   serta-merta memberikan kemenangan tebal kepada partai yang mengusung Jokowi,   IHSG anjlok 92 poin, sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika   Serikat (AS) dibuka melemah pada posisi Rp 11.330 per dolar AS dibandingkan   posisi pada penutupan perdagangan sehari sebelumnya pada Rp 11.290 per dolar   AS.  Tidak satu pun partai yang dominan mendapat   suara mayoritas membuat pelaku pasar kawatir akan adanya ketidakpastian. Fenomena   ini memberikan pesan yang sangat kuat bahwa keinginan dan pilihan investor di   bursa saham tidak serta-merta menggambarkan keinginan dan pilihan rakyat. Logika   pasar tidak selalu sama dengan logika rakyat. Ini Indonesia, Bung. Bangsa ini telah nyaman dengan kebinekaan   dalam segala aspek kehidupan. Bahkan, kebinekaan ini dipandang sebagai alat   pemersatu. Setiap kekuatan yang terlalu dominan akan ditolak karena dianggap   mengancam kelestarian keberagaman. Apa pun kekuatan dominan itu, dominasi   pemerintah, dominasi DPR, dominasi mayoritas, dominasi minoritas akan ditolak   dan dilawan dengan cara khas Indonesia.  Ketika sebagian masyarakat merasa adanya   dominasi pemerintah dalam penentuan awal Ramadhan dan Syawal dan melarang   pelaksanaan shalat Ied yang berbeda harinya pada zaman Orde Baru maka   masjid-masjid yang tetap melaksanakan pada hari berbeda itu mendapat simpati   yang sangat besar. Ketika Buya Hamka menyampaikan fatwa MUI tentang larangan unsur   ibadah dalam perayaan Natal bersama, kemudian masyarakat merasakan adanya   dominasi pemerintah untuk mengubahnya maka Buya Hamka dan MUI kebanjiran   simpati yang sangat besar. Ini   Indonesia, Bung. Kehidupan masyarakat yang harmonis tanpa adanya   dominasi telah mendarah daging di Indonesia. Dalam bahasa Jawa ada ungkapan "ngono yo ngono ning ojo ngono"  (begitu ya begitu, tapi jangan begitu,   dong) merupakan ungkapan penolakan terhadap dominasi. Penolakan itu tidak   disampaikan dengan cara yang jelas berterus terang (explicitly verbal) karena dianggap tidak berbudaya tinggi.   Penolakan itu dapat dirasakan dengan jelas dan ketika disadari telah   terlambat untuk memahaminya. Penolakan khas Indonesia terhadap sikap ekstrem   yang dalam bahasa Minang dirumuskan "jalan   baduo, nak di tangah" (jalan berdua, mau di tengah). Ketika Malaysia dirasakan sebagian masyarakat   terlalu dominan dalam beberapa hal, misalnya, Sipadan Ligitan, Perairan   Ambalat, perlakuan terhadap TKI maka tanpa ada komando, perlahan tapi pasti,   konsumen lebih memilih membeli bensin di SPBU selain Petronas milik Malaysia. Ini Indonesia, Bung. Ketika lembaga legislatif dan pemerintah   daerah begitu bersemangat mengeluarkan perda-perda syariah yang melarang ini   dan itu, penolakan malah mengkristal. Namun, ketika kewajiban berjilbab   menjadi fashion, penerimaan masyarakat   semakin meluas dan mengkristal.  Ketika transaksi perbankan dengan bunga   diharamkan dan dihujat muncul berbagai tulisan membela keabsahan bunga dengan   berbagai alasan. Namun, ketika lembaga keuangan syariah menawarkan layanan   yang mirip dengan konvensional, tentu saja dengan cara yang khas syariah,   penerimaan masyarakat meluas. Sebagian besar nasabah lembaga keuangan syariah   juga nasabah lembaga keuangan konvensional.  Ini Indonesia, Bung. Dalam ilmu ekonomi, penolakan terhadap   dominasi ini digagas oleh Profesor John Nash, pemenang Nobel bidang ekonomi   pada 1994. Dalam banyak situasi yang muncul bukanlah strategi mendominasi   atau terdominasi, melainkan yang lebih lazim terjadi adalah keseimbangan (Nash equilibrium). Keseimbangan itu   akan tercapai bila masing-masing pihak melakukan yang terbaik, apa pun yang   dilakukan pihak lain. Perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia   juga akan mencapai keseimbangan bila masing-masing pihak melakukan yang terbaik.   Dewan Syariah Nasional harus melakukan yang terbaik, regulator mikro dan   makro (OJK dan BI) harus melakukan yang terbaik, sistem peradilan untuk   keuangan syariah harus melakukan yang terbaik, pelaku usaha harus melakukan   yang terbaik. Dominasi salah satu pihak terhadap pihak lain dalam   mengembangkan keuangan syariah akan terbentur pada penolakan khas Indonesia. Masing-masing pihak memiliki kompetensi utama   yang unik. Memaksakan bank yang memiliki kekuatan di bidang konsumen untuk   melayani segmen UKM, semisal memaksakan DSN meyusun regulasi OJK. Memaksakan   bank yang memiliki kekuatan di bidang korporasi untuk melayani segmen UKM,   semisal memaksakan BI menyusun fatwa DSN.  Fatwa dan regulasi perlu terus disempurnakan   untuk menghindari hambatan yang mungkin timbul. Strategi bisnis pelaku usaha   juga harus terus disesuaikan dengan perkembangan dinamika pasar. Waktu tunggu yang   dirasa panjang untuk terbitnya sebuah fatwa juga merupakan pekerjaan   rumah. Kegamangan industri akibat pemahaman tentang kompetensi lembaga   peradilan yang menangani sengketa keuangan syariah juga pekerjaan rumah   besar. Komunikasi dalam proses penyusunan rancangan   ketentuan (rule making rule) menjadi   sangat penting. Sehingga, tidak akan ada rencana keten-tuan baru yang   diketahui oleh pelaku industri melalui media masa terlebih dulu, kecuali hal   tersebut telah disampaikan kepada pelaku usaha dalam suatu proses rule making rule. Rule making rule dalam proses fatwa   baru, rule making rule dalam   ketentuan baru, misalnya, rencana penghentian pemberian izin baru unit usaha   syariah dan berbagai hal-hal baru, dapat mengurangi ketidakpastian dan   kegamangan. Ketidakpastian akan mendorong para pihak menggunakan logikanya   sendiri-sendiri. Dalam bahasa ekonominya disebut mixed strategy, strategi yang membuat pihak lain selalu menduga-duga,   strategi "keep them guessing". Strategi ini akan berhadapan dengan penolakan   khas Indonesia, dalam bahasa Minang, "iyo   an nan dek urang, lalu an nan dek awak" (setujui pendapat orang lain, lakukan sesuai pendapat kita), "you play your game, we play our own   game". Dalam bahasa ekonominya, Nash   equilibrium. Kita lebih paham budaya bangsa kita. Ini Indonesia, Bung. ●  | 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar