Indikasi Korupsi Pemindahan Satwa KBS Trimoelja D Soerjadi ; Advokat Senior |
JAWA POS, 02 April 2014
WALI Kota Surabaya Tri Rismaharini telah melaporkan ke KPK soal dugaan penyimpangan pengelolaan Kebun Binatang Surabaya (KBS) terkait pertukaran ratusan satwa surplus KBS yang dinilai janggal. Janggal karena pertukaran itu diwujudkan dalam enam perjanjian "pemindahan" satwa surplus KBS antara Tim Pengelola Sementara KBS (TPS KBS) dengan berbagai pihak. Apakah ada indikasi korupsi dalam perjanjian-perjanjian tadi? Pertama, pindah artinya sesuatu beralih atau dialihkan dari satu tempat ke tempat lain. Dalam hal ini sejumlah satwa surplus KBS dipindah ke tempat lain, yakni ke Pematang Siantar, Banyuwangi, Bandar Lampung, Batu, Lamongan, dan Prigen. Dalam semua perjanjian "pemindahan" tadi, tidak ada satu ketentuan pun yang menerangkan bahwa karena adanya "pemindahan" itu, telah terjadi peralihan hak pengelolaan atas satwa-satwa surplus KBS kepada pihak yang menerima perpindahan satwa-satwa tadi. Dengan demikian, harus disimpulkan bahwa hak pengelolaan atas satwa-satwa yang telah dipindahkan itu tetap ada pada pihak KBS. Lebih lanjut hal itu berarti bahwa pihak KBS telah menitipkan satwa-satwa surplusnya untuk dipelihara dan dirawat di tempat yang telah menerima satwa-satwa tadi. Karena itu, logikanya pihak KBS yang seharusnya memberikan kompensasi kepada berbagai pihak tersebut di atas sebagai biaya pemeliharaan dan perawatan satwa KBS yang dipindahkan di tempat baru. Misalnya, untuk biaya makan, perawatan kesehatan, pembuatan kandang baru, atau renovasi kandang yang sudah ada di tempat satwa-satwa itu dipindahkan, dan biaya angkut satwa-satwa KBS ke tempat yang baru. Namun, dalam semua perjanjian "pemindahan" tadi, justru pihak KBS yang mendapat kompensasi, bukan sebaliknya sebagaimana seharusnya. Ini suatu kejanggalan. Hal itu hanya bisa diartikan bahwa pemindahan satwa tersebut sifatnya permanen dan hak pengelolaan atas satwa-satwa liar KBS telah beralih kepada pihak lain. Kedua, pasal 36 (1) UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya jo pasal 3 PP No.8/1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar antara lain menentukan bahwa pemanfaatan jenis satwa liar dilaksanakan dalam bentuk (1) pengkajian, penelitian & pengembangan, (2) penangkaran, (3) perburuan, (4) perdagangan, (5) peragaan, (6) pertukaran, dan (7) pemeliharaan untuk kesenangan. Ketentuan seperti itu sifatnya limitatif. Artinya, tidak boleh ada bentuk pemanfaatan lain selain seperti yang telah ditentukan di atas. Pemanfaatan satwa dalam bentuk "pemindahan" yang tidak dikenal berdasar ketentuan di atas, merupakan pelanggaran. Ketiga, dalam perjanjian "pemindahan" yang pertama dengan Taman Hewan Pematang Siantar (THPS), misalnya, KBS "memindahkan" 34 jenis satwa yang terdiri atas kurang lebih 140 satwa. Sebagai kompensasi, KBS memperoleh, antara lain, pemugaran dan pembangunan baru museum edukasi satwa KBS dan perbaikan sarana taksidermi KBS. Semua biaya pengangkutan yang berkaitan dengan pemindahan satwa surplus KBS ditanggung pihak THPS. Tidak ada satu pun satwa yang diterima KBS sebagai salah satu komponen kompensasi dari THPS. Di sini sama sekali tidak ada pertukaran satwa. Dalam perjanjian-perjanjian "pemindahan" yang lain, sebagian kompensasi yang diterima KBS berupa satwa ditambah ada yang berupa uang atau barang, seperti mobil dan motor. Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dan tidak boleh dilanggar dalam rangka pemanfaatan satwa liar, yakni (1) satwa hanya boleh ditukar dengan satwa, (2) pertukaran harus dilakukan atas dasar keseimbangan nilai konservasi jenis satwa liar yang dipertukarkan dan (3) penilaian atas keseimbangan nilai konservasi dilakukan oleh sebuah tim penilai yang pembentukan dan tata kerjanya ditetapkan dengan keputusan menteri kehutanan. Jadi, pemanfaatan satwa liar surplus KBS harus dilakukan dengan menurkarnya dengan satwa lain yang nilainya seimbang. Dalam semua perjanjian di atas tidak disebutkan bahwa pertukaran satwa yang terjadi nilainya telah seimbang sebab tim penilai tidak pernah dibentuk. Adanya satwa KBS yang tidak ditukar dengan satwa dan tidak adanya tim penilai merupakan pelanggaran. Selain itu, ada sejumlah satwa KBS yang "dipindah" yang termasuk jenis satwa liar yang dilindungi yang hanya dapat dipertukarkan atas persetujuan presiden, seperti babi rusa, orang utan, komodo, dan harimau sumatera. Ternyata persetujuan presiden tidak ada. Ini merupakan pelanggaran. Semua pelanggaran yang terjadi sifatnya melawan hukum dan sengaja dilakukan karena perjanjian-perjanjian tadi sengaja mengabaikan keberadaan "Berita Acara Evaluasi Kesehatan dan Pengelolaan Satwa KBS" tertanggal 7 November 2012 yang dibuat tim evaluasi. Dalam berita acara tadi yang ikut ditandatangani TPS-KBS di huruf B angka I jelas disebutkan bahwa salah satu solusi pengelolaan satwa surplus adalah dengan cara dilepasliarkan, artinya dikembalikan ke habitat alam, atau dipertukarkan. Kemudian pada huruf C angka 1 disebutkan bahwa terhadap satwa surplus yang harus dikeluarkan, pengeluarannya dari lembaga konservasi, harus legal. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dan bersifat melawan hukum tadi menunjukkan bahwa perjanjian-perjanjian itu ilegal. Adakah kerugian negara sebagai akibat perjanjian-perjanjian tadi? Untuk itu harus diteliti siapa yang berhak atas satwa-satwa liar surplus KBS. Berdasarkan Permenhut No P.31/Menhut-II/2012, Lembaga Konservasi (LK) adalah dalam penguasaan negara. Dengan demikian, satwa-satwa liar surplus KBS merupakan asset negara yang dikelola KBS sebagai LK. BPK harus mengabaikan dan tidak boleh ikut menghitung nilai kompensasi yang diperoleh KBS yang berupa non-satwa, seperti mobil, motor, uang, dan pembangunan atau perbaikan museum, gedung dan atau kandang. Bila BPK ikut menghitung nilai kompensasi yang non-satwa, hal itu berarti BPK melegalkan perjanjian-perjanjian "pemindahan" yang ilegal tadi. Selisih antara total nilai satwa liar surplus KBS yang "dipindahkan" dengan total nilai satwa yang diperoleh KBS sebagai kompensasi, adalah kerugian negara. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar