Gaji Hakim Rp 500 Juta Muhammad Taufiq ; Advokat, Dosen Pidana Universitas Muhammadiyah Surakarta |
JAWA POS, 09 April 2014
MESKI banyak studi tentang kejahatan dan hukuman, penegakan hukum masih menjadi bidang baru yang harus diteliti secara mendalam. Bila pengadilan, penjara, kurungan, dan bidang lainnya dalam sistem peradilan pidana dikaji, sering titik masuk ke dalam sistem itu adalah melalui institusi lain seperti polisi dan penegak hukum lainnya seperti jaksa. Sayangnya, memahami isu-isu penting dalam penegakan hukum, kita hanya memiliki sedikit literatur untuk menggambarkannya. Penggalan tulisan tersebut menggambarkan suasana hati Komisi Yudisial (KY) yang begitu sederhana mengajukan pendapat tentang pentingnya kenaikan gaji hakim agung dengan alasan memiliki tanggung jawab yang besar. Komisioner KY Taufiqurahman Syahuri bermaksud meninggikan gaji hakim agung agar tidak lirik sana-lirik sini. Problematika hakim menurut hemat penulis bukanlah melulu rendahnya kisaran gaji yang diterima. Pada 1960, terjadi sebuah krisis keadilan di Amerika Serikat yang dipicu serangkaian peristiwa, termasuk beberapa putusan mahkamah agung yang berdampak pada standar dan prosedur tindakan kepolisian. Pemicunya adalah protes hak-hak sipil, penolakan terhadap perang melawan Vietnam, serta peningkatan kejahatan yang luar biasa. Sebagai respons kegelisahan sosial yang muncul saat itu, pada 1965 Presiden Lyndon B. Johnson membentuk Komisi penegakan Hukum dan Kekuasaan Kehakiman (President Commission of Law Enforcement and Administration of Justice). Dia juga menunjuk satu orang sebagai presiden Komisi Kejahatan (Crime Commission). Beberapa ahli dalam bidang pengelolaan/pelaksanaan penanggulangan kejahatan dan hukum meneliti nama Komisi Kejahatan tersebut. Pada 1967 laporan komisi itu dipublikasikan dalam sebuah laporan umum yang disebut The Challenge of Crime in A Free Society. Laporan tersebut menguraikan lebih dari 200 rekomendasi yang bertujuan memajukan pengelolaan peradilan di AS. Yang paling menonjol dalam laporan tersebut adalah memopulerkan ide peradilan pidana sebagai suatu sistem. Intinya, berdasar hasil penelitian tersebut, suatu keputusan atau tindakan yang diambil suatu lembaga akan berpengaruh terhadap lembaga penegak hukum yang lain. Jika membaca rekomendasi itu, rasanya saya tidak mendapati bahwa usul kenaikan gaji hakim Rp 200 juta-Rp 500 juta oleh KY tersebut didapat dari hasil kajian, terkecuali membandingkan dengan hakim luar negeri seperti Singapura. Karena itu, pertanyaannya, apakah usul kenaikan gaji hakim agung tersebut sudah mempertimbangkan pula fakta-fakta atau kondisi di luar pengadilan? Setahu penulis, sejak 2008 hakim menerima remunerasi, disusul penegak hukum lain seperti jaksa dan polisi. Menghubungkan perilaku hukum aparat negara seperti polisi, jaksa, dan hakim dengan remunerasi tentulah menarik. Remunerasi yang berasal dari bahasa Inggris remuneration itu diartikan sebagai gaji atau penghargaan bagi orang yang bekerja. Pertanyaannya, apa relevansinya dengan upaya penegakan hukum? Apa pula pengaruhnya bagi peningkatan kinerja? Pertanyaan itu wajar di tengah krisis kepercayaan kepada institusi penegak hukum yang ditunjukkan oleh menguaknya jaringan makelar kasus (markus) dalam perpajakan dengan mencuatnya nama Gayus Tambunan. Begitu pula yang dibongkar KPK di Mabes Polri yang kemudian memenjarakan Susno Duadji serta Joko Susilo. Sebelumnya Mahfud M.D. dalam sidang di Mahkamah Konstitusi mencuatkan markus lain, yakni Anggodo Widjojo. Dengan demikian, sesungguhnya remunerasi yang diterima penegak hukum seperti hakim Asnun, ketua Pengadilan Negeri Tangerang, yang kemudian faktanya malah memvonis bebas Gayus pada 12 Maret 2010 bukanlah hal baru. Sebab, mulai 1 April 2008, hal tersebut sudah terjadi. Saat itu tunjangan di lingkungan Mahkamah Agung dan pengadilan tinggi naik sangat fantastis. Angka kenaikannya bahkan mencapai 300 persen. Dalam Perpres No 19/2008 tentang Kinerja Hakim dan Pegawai Negeri di Lingkungan MA dan Peradilan di Bawahnya disebutkan, besaran tunjangan untuk ketua MA mencapai Rp 31,1 juta dan wakil ketua MA Rp 25,8 juta. Sementara itu, ketua pengadilan tinggi Rp 13 juta, hakim biasa pengadilan tinggi Rp 10 juta, dan hakim pengadilan tinggi kelas II Rp 4,2 juta. Dalam hal ini, yang perlu dicermati, kenaikan tersebut tidak termasuk gaji pokok. Yang menjadi pertanyaan, benarkah para penegak hukum kita telah bertindak dan bekerja dengan hasrat yang tinggi dalam menuntaskan berbagai kasus yang merugikan negara belakangan ini sehingga layak memperoleh imbalan yang pantas pula? Seiring dengan masih banyaknya penanganan perkara yang dalam pandangan pemerhati hukum dinilai tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat dan begitu tingginya perkara yang belum terselesaikan di MA, tentu remunerasi yang bernilai ratusan juta rupiah tersebut mengundang setumpuk kontroversi. Apakah itu bukan sebuah disorientasi pemahaman reformasi birokrasi yang berarti lebih menyederhanakan proses yang bertele-tele pada birokrasi hukum dengan output keadilan yang baik karena menjadi cepat dan murah. Daripada usul menaikkan gaji atau penambahan renumerasi, namun tidak terdapat output keadilan yang lebih baik? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar