DPR Baru dan RUU KUHAP/KUHPMimin Dwi Hartono ; Penyelidik Komisi Nasional Hak Asasi Manusia |
KORAN JAKARTA, 12 April 2014
Gegap gempita pemilihan umum legislatif 9 April 2014 telah dilalui. Sekitar 75 persen dari 186 juta pemilih menggunakan haknya. Masyarakat mendamba perubahan pemerintahan yang lebih berpihak pada kepentingan rakyat dan melaksanakan pemerataan pembangunan. Berdasarkan hasil quick count berbagai lembaga, seperti sudah diduga, PDI Perjuangan menjadi pemenang dengan suara sekitar 20 persen, disusul Partai Golkar dan Gerindra. Ketiga partai tersebut akan menguasai mayoritas kursi DPR sehingga memunyai posisi strategis dalam menuntaskan agenda-agenda legislator sebelumnya. Salah satunya amendemen Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP/KUHP) yang telah berproses sejak belasan tahun. DPR periode 2009–2014 dan pemerintah ngotot meneruskan pembahasan dua rancangan tersebut meskipun banyak penolakan lembaga negara seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Mahkamah Agung, Polri, dan Komnas HAM. Lembaga-lembaga negara tersebut dan kalangan organisasi masyarakat sipil menolak karena tidak dilibatkan dalam proses perumusan kedua RUU. Banyak dikhawatirkan, RUU ini akan mengamputasi dan membatasi kewenangan lembaga negara. Kewenangan penyelidikan akan dihapus dari criminal justice system. Kewenangan KPK menyadap harus melalui persetujuan Ketua Pengadilan Negeri sehingga rawan bocor atau penolakan. Padahal kewenangan menyadap terbukti sangat efektif untuk menangkap tangan para koruptor. Mahkamah Agung tidak diperkenankan memutuskan vonis yang lebih berat dari putusan pengadilan di bawahnya. Publik pantas gerah dengan RUU tersebut karena mengebiri proses penegakan hukum yang sudah semakin membaik. Para koruptor ataupun penjahat lainnya pantas gerah dan berupaya memperlemah instrumen penegakan hukum dengan berbagai cara. Menghangatnya proses amendemen kedua RUU terjadi di tengah prestasi KPK meningkat dalam memproses kasus-kasus besar yang melibatkan para penguasa politik dan ekonomi. Mantan pemimpin Mahkamah Konstitusi, anggota DPR, gubernur, bupati, ketua umum partai politik, pengusaha kelas kakap, telah merasakan taring KPK yang tidak pandang bulu. Patut dipertanyakan argumentasi di balik semangat mengamendemen kedua RUU. Di antaranya, proses hukum yang dilakukan KPK selama ini dituduh melanggar HAM seperti penyadapan karean mengganggu hak atas privasi seseorang. Namun, hal itu dibenarkan Pasal 73 UU tentang Hak Asasi Manusia, di mana HAM bisa dibatasi undang-undang, utamanya untuk pemberantasan korupsi. Ini tidak berlaku pada ketentuan non derogable rights atau HAM yang tidak bisa dikurangi dan dibatasi dalam keadaan dengan alasan apa pun. Di antaranya hak hidup, beragama, atas persamaan di depan hukum, dan hak untuk tidak disiksa (Pasal 4). Penghapusan kewenangan menyidik dalam RUU KUHAP tidak beralasan. Di sini hanya disebutkan bahwa penyidikan sebagai tahap awal proses penegakan hukum (Pasal 6–39). Hal itu berimplikasi, di antaranya, hilangnya kewenangan penyelidikan, termasuk dalam kasus pelanggaran HAM berat, sebagaimana diemban Komnas HAM yang diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang tentang Pengadilan HAM. Pasal 10 UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menyebutkan hukum acara atas perkara pelanggaran HAM berat berdasarkan KUHAP. Dengan penghapusan kewenangan penyelidikan, pupus sudah impian para korban pelanggaran HAM berat memperoleh keadilan. Padahal, potensi dan indikasi pelanggaran HAM berat masa mendatang sangat besar. Sampai kini, penyelidikan atas setidaknya tujuh pelanggaran HAM berat terhenti di tingkat penyidikan. Keberatan Lebih lanjut, penyidikan tanpa didului penyelidikan bisa mengakibatkan penegakan hukum timpang. Penyelidikan adalah proses fundamental penegakan hukum dalam sistem yang menjunjung tinggi asas rule of law. Tanpa penyelidikan, bisa terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan pelanggaran HAM karena seseorang bisa ditetapkan sebagai tersangka tanpa proses yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan hukum dan HAM. Asas praduga tidak bersalah dan akuntabilitas pun terabaikan. Polri juga keberatan akan hal ini. Keberatan selanjutnya, proses perumusan dan konsultasi kedua RUU tidak partisipatif dan transparan. Padahal, transparansi dan partisipasi publik adalah inti pendekatan HAM serta proses wajib dalam perumusan kebijakan publik. Lembaga-lembaga negara seperti KPK tidak dilibatkan, padahal paling banyak terdampak atas RUU tersebut. Mahkamah Agung, Badan Narkotika Nasional, PPATK, dan Kepolisian telah menyatakan keberatan. Korupsi telah menjadi penyakit kronis dan musuh bersama masyarakat. Anehnya, di dalam RUU tersebut, korupsi hanya dianggap kejahatan pidana biasa. Dengan demikian, tidak ada sifat keluarbiasaan (extraordinary) dari korupsi. Padahal korupsi adalah bentuk dari pelanggaran HAM baik hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Korupsi telah merampas uang publik yang seharusnya untuk pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Korupsi telah mengakar dan sistemik. Dia melibatkan aktor hulu hingga hilir dari para penyelenggara negara, pelaku ekonomi, dan masyarakat umum. Modus serta metode korupsi pun semakin sangat canggih, bahkan melibatkan aktor internasional dan lintas negara. Dengan demikian, korupsi tidak mungkin bisa ditangani secara biasa. Untuk itulah KPK dilahirkan dengan kewenangan yang luar biasa. Demikian pun dengan pelanggaran HAM berat, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida sebagai musuh bersama umat manusia (hostis humanis generis). Di dalam RUU KUHP, kejahatan atas kemanusiaan dan genosida terdapat pada Pasal 394 dan 395. Dengan dimasukkannya pelanggaran HAM berat di dalam RUU KUHP, maka dianggap sebagai ordinary crime, bukan extraordinary crime. Hal ini bertentangan dengan hukum internasional, yaitu Statuta Roma tentang Pengadilan Kriminal Internasional. Dengan berbagai keberatan tersebut, patut dipertanyakan, mengapa pemerintah dan DPR ngotot meneruskan pembahasan. Kedua RUU harus disesuaikan dengan kondisi kekinian, konteks sosial, dinamika publik, dan kebutuhan zaman. Kita tidak ingin hidup dalam kungkungan sistem hukum warisan kolonial Belanda. Namun, jangan sampai semangat tersebut disalahgunakan sehingga membawa kemunduran penegakan hukum dan HAM. Semua berharap agar amendemen kedua RUU haraus mewujudkan prinsip “hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum” seperti disampaikan alm Prof Satjipto Rajardjo. Jika amendemen tersebut justru akan melemahkan semangat memberantas kejahatan luar biasa, patut dipertanyakan apa motifnya dan siapa yang diuntungkan. Tugas DPR baru adalah merancang proses dan mekanisme konsultasi publik yang lebih partisipatif, transparan, nondiskriminatif, serta akuntabel dalam pembahasan RUU KUHAP/KUHP. Dengan demikian, ketika nanti disahkan, keduanya bisa mengantarkan rakyat mencapai tujuan hukum, yaitu for the greatest happiness for the greatest people- demi kebahagiaan terbesar serta untuk sebagian besar warga (Jeremy Bentham). ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar