“Cina” dan “Tionghoa”Ajip Rosidi ; Budayawan |
REPUBLIKA, 03 April 2014
Menjelang habis masa jabatannya sebagai presiden RI, SBY makin kehilangan kemampuannya mempertimbangkan mana urusan yang penting dan mana yang tidak. Alih-alih turun tangan mengenai persoalan jilbab untuk polisi wanita Mus limah yang telah menyebabkan banyak lembaga dan organisasi menuntut Polri membuat keputusan agar polisi wanita boleh (harus!) memakai jilbab, Presiden SBY malah membuat keputusan tentang harus digantinya kata "Cina" dengan "Tionghoa" melalui Kepres No 12 Tahun 2014. Padahal, masalah itu tidak pernah terdengar dipersoalkan rakyat, meskipun Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Tionghoa di Indonesia (LPPM-TI) pernah mengajukan petisi agar pemerintah mencabut Surat Edaran No 6 Tahun 1967 dan mengembalikan penggunaan kata "Tionghoa" dan "Tiongkok". Memang, masalah itu pernah diwacanakan beberapa tokoh peranakan secara pribadi karena kata "Cina" dianggap mengandung penghinaan atau merendahkan. Saya sebut secara pribadi, karena tidak semua peranakan menganggap kata tersebut mengandung penghinaan. Bahkan, kebanyakan saya kira tidak. Saya pernah bertanya kepada al Dr Arief Budiman dan Dr Oei Hong Djien apakah mereka tersinggung atau merasa dihina kalau disebut "Cina". Keduanya menyatakan tidak. Istilah "Cina" sudah digunakan da lam bahasa Melayu (yang kemudian menjadi bahasa Indonesia di Indonesia dan bahasa Malaysia di Malaysia) dan bahasa- bahasa daerah di seluruh Indonesia sejak berabad-abad dan tidak mengandung penghinaan atau merendahkan. Kata "Cina" digunakan sebagai pengakuan adanya etnis tersebut. Bahkan, dalam peribahasa yang lahir dalam lingkungan budaya Melayu, istilah "Cina" mengandung penghargaan terhadap kekhasan budaya etnis tersebut, misalnya "memperjuali orang Cina penjahit" yang artinya mengajar orang yang sudah pandai. Orang Cina dianggap jauh lebih pandai (dari orang Melayu) paling tidak dalam soal jahit-menjahit. Istilah "Tionghoa" mulai digunakan bahasa Melayu pada awal abad ke-20, setelah timbul gerakan kebangsaan yang hendak menyingkirkan penjajah Mongol (dinasti Cing). Gerakan yang dipimpin Dr Sun Yat Sen itu berhasil merun- tuhkan dinasti Cing dan Dr Sun Yat Sen mendirikan negara republik bernama Zhingh Hwa Min Kuo (Republik Chung Hwa). Dia menjadi presiden yang pertama. Di Indonesia berdiri "Tiong Hoa Hwee Koan" dan sejak itu ada usaha agar istilah "Tionghoa" digunakan sebagai ganti kata "Cina". Tapi, penggunaan lstilah "Tionghoa" terbatas di lingkungan tertentu, karena dalam bahasa sehari-hari rakyat Indonesia masih menggunakan dan lebih mengenal istilah "Cina". Lagi pula istilah "Cina" sudah digunakan sejak lama untuk menyebut jenis tanaman tertentu ("petai cina"), potongan pakaian tertentu ("potongan cina") , tempat tinggal kelompok orang tententu (“Pecinan"), dll. Istilah-istilah itu tidak mungkin diganti dengan "Tionghoa". Usaha mengganti istilah "Cina" dengan "Tionghoa" itu tidak mulus, karena rakyat kebanyakan lebih suka menggunakan istilah "Cina" --tanpa ada maksud merendahkan atau menghina. Pada masa Demokrasi Terpimpin, ketika Presiden Sukarno lebih miring ke kiri dan orang kiri menjadi dominan, timbul usaha agar kata "Cina" diganti kata "Tionghoa" dan negaranya agar disebut "Tiongkok". Tetapi, yang mendesak mengganti istilah "Cina" dengan "Tionghoa" dan "Tiongkok" itu sebenarnya hanya sekelompok peranakan yang bergabung dalam Baperki -- organisasi kaum peranakan Cina yang dekat dengan PKI sehingga pada masa setelah Oktober 1965 termasuk organisasi yang dilarang. Karena itulah maka pemerintah Orde Baru pada 28 Juni tahun 1967 secara resmi mengganti kata "Tionghoa" dan "Tiongkok" yang didukung oleh Baperki itu dengan perkataan "Tjina" (atau "Cina"). Namun demikian, dalam masyarakat perkataan "Tionghoa" dan "Tiongkok" masih tetap dipergunakan secara bebas dan hal itu tidak menimbulkan masalah, artinya pemerintah Orba tidak pernah memberikan sanksi kepada mereka yang tetap mempergunakan perkataan "Tionghoa" dan "Tiongkok". Meskipun Ketuanya, Siauw Giok Tjan, menjadi buron di negeri Belanda sampai meninggal, namun anggota dan simpatisan Baperki masih banyak yang tetap hidup di Indonesia, sehingga gagasan mengganti kata "Cina" dengan "Tionghoa" atau "Tiongkok" masih tetap hidup dan berkembang. Penggunaan kata-kata dalam masyarakat sebenarnya sepenuhnya bergantung pada masyarakat itu sendiri. Keputusan Presiden mengenai penggunaan kata-kata tertentu, bisa saja dikeluarkan setiap hari, namun pemakaian kata-kata itu tetap bergantung pada masyarakat. Pernah ada Keputusan MPR yang mengharuskan mempergunakan kata "Saudara" terhadap presiden dan para pejabat tinggi negara lainnya, menghindari penggunaan istilah "Paduka Yang Mulia" dan semacamnya yang dianggap feodalistik. Tapi, masyarakat kita yang memang masih feodalistik dan paternalistik, memilih mempergunakan kata "Bapak" (dan "Ibu") dan tidak pernah --atau kalaupun ada jarang sekali-- terdengar ada orang yang menyebut "Saudara" kepada presiden sejak zaman Soeharto sampai SBY sesuai dengan keputusan MPR tersebut. Orang seperti tidak mengacuhkan dan kemudian melupakan keputusan MPR itu. SBY tampaknya hendak mengikuti Presiden Abdurrahman Wahid yang mencabut Inpres No 14 Tahun 1967 yang melarang penyelenggaraan adat istiadat Cina, agar mendapat simpati politis dari kelompok peranakan. SBY mencabut kebijakan Orba tahun 1967 yang ingin mengganti kata "Tionghoa" dan "Tiongkok" dengan kata "Cina", meskipun dalam masyarakat pemakaian kata "Tionghoa" dan "Tiongkok" tetap digunakan sebagian orang. Artinya, dalam masyarakat tetap saja baik kata "Cina" mau pun kata "Tionghoa" atau "Tiongkok" dipakai secara bebas. Setelah ada Kepres No 14 Tahun 2014 pun, niscaya dalam masyarakat orang akan tetap menggunakan kata "Cina" secara leluasa, tanpa ada maksud menghina atau merendahkan. Dan sebagai Keputusan Presiden niscaya tidak ada ancaman pidana di belakangnya. Kalau ada, niscaya hanya akan menambah pekerjaan polisi saja! Niscaya kita pun akan menyaksikan bahwa masyarakat tidak memedulikan dan kemudian melupakan Kepres No 12 Tahun 2014 dari Presiden SBY. Akan demikianlah nasib semua keputusan presiden dan pembesar atau lembaga negara yang dipaksakan dari atas dan tidak berdasarkan suara dalam masyarakat. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar