Belenggu Kekerasan Politik AcehTeuku Kemal Fasya ; Antropolog Aceh |
KOMPAS, 03 April 2014
SIKLUS kekerasan seperti terus berulang pada momentum elektoral di Aceh. Kasus terbaru adalah penembakan mobil Partai Aceh di Bireuen yang menyebabkan tiga orang tewas, termasuk seorang bayi berusia satu setengah tahun (Serambi Indonesia, 1/4). Sebelumnya kekerasan telah merenggut jiwa dua kader Partai Nasional Aceh (PNA) di Aceh Utara dan Aceh Selatan. Bahkan, pembunuhan calon anggota legislatif di Aceh Selatan tergolong sadis. Korban ditembak 46 kali dari jarak dekat! (Serambi Indonesia, 4/3) Bukan hanya dari dua partai lokal eks kombatan itu saja yang berseteru. Di Langsa, calon anggota legislatif dari Partai Nasdem diculik, dikarungi, dan akan dibenamkan di sungai. Beruntung ia dapat melarikan diri sebelum aksi itu terjadi (Serambi Indonesia, 18/3). Di Aceh Timur, calon anggota legislatif dari Partai Amanat Nasional (PAN) dikeroyok oleh sesama ”rekan seperjuangan” yang kini berbeda partai (Serambi Indonesia, 29/3). Konflik ayam jago Konflik kekerasan menjalar sedemikian cepatnya sehingga pertumbuhannya seperti mengikuti deret ukur dibanding deret hitung Malthusian. Menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), kekerasan di Aceh telah terjadi lebih dari 50 kali dalam kurun kurang dari setahun (April 2003 hingga 17 Maret 2014). Ini tentu mencemaskan. Jika merujuk pada kekerasan menjelang detik-detik pemilihan kepala daerah Aceh 2012 akibat konflik interpretasi ”Pasal 256” (tentang calon independen), politik kekerasan dilakukan secara acak dan ”dingin”. Aksi kekerasan bahkan telah mengarah pada isu SARA (suku, agama, ras dan antar-golongan) karena komunitas minoritas dijadikan korban politik, sebagai pesan terhadap Jakarta. Pada Pemilu 2009 benih-benih kekerasan juga mulai tumbuh. Sebagian besar bersumbu pada kelahiran partai politik lokal yang menjadi representasi politik eks Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu. Saat itu kader Partai Aceh lebih banyak menjadi korban, berkebalikan dengan saat ini. Secara permukaan, konflik pada momentum elektoral kali ini terlihat seperti ”perang semua melawan semua”, sesungguhnya tidak demikian. Konflik ini lebih bersumbu pada perseteruan antara ”dua barisan pejuang” yang kini berseberang jalan. Kelompok Partai Aceh—representasi kekuatan penguasa di legislatif dan eksekutif saat ini— menganggap kehadiran Partai Nasional Aceh ilegal dan mengkhianati perjuangan. Di sisi lain, Partai Nasional Aceh—representasi dari kelompok eks petahana dan tim juru runding perdamaian—menganggap pengkhianatan sesungguhnya dilakukan oleh Partai Aceh karena bersekutu dengan pelaku pelanggaran HAM di masa lalu. Secara faktual, Partai Aceh memang berkoalisi dengan Partai Gerindra. Partai Nasional Aceh, meskipun tidak terhubung secara organisasi dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), banyak aktivis mereka merapat barisan ke ”Projo”, aliansi masyarakat sipil dukungan pencalonan Jokowi sebagai calon presiden. Namun, fenomena meupok manok agam (bertarungnya dua ayam jago) juga akan mereduksi konflik tanpa memandang latar belakang. Secara luas konflik ini sesungguhnya kegagalan struktural perdamaian Aceh melahirkan prinsip-prinsip demokrasi berkarakter lokal. Alih-alih mendesain demokrasi lokal yang khas–karena dilahirkan dari model perdamaian berkerangka sosial-demokrasi Skandinavian– model perdamaian Aceh malah menukik ke hal-hal negatif dan destruktif. Perdamaian tidak sungguh-sungguh bisa membuang residu kekerasan dan praktik predatoris, yang dulunya begitu dibenci karena melambangkan Orde Baru dengan ABRI-nya. Malah praktik otoriterisme itu direplikasi dengan inisiatif-inisiatif baru. Wujud negatif demokrasi Aceh telah dipaparkan di banyak tulisan (Olle Tornquist (2010), Edward Aspinall (2010), Gerry van Klinken (2009), dan Kirsten E Schulze (2006), yang semuanya bertumpu pada perilaku politik eks gerilyawan yang belum berubah di era perdamaian ini. Mulai dari sederhana Berangkat dari tesis bahwa esensi demokrasi tidak bisa dilepaskan dari relasi kuasa (power relation) dan peruntungannya terbentuk melalui praktik kehidupan harian (Santoso, 2010), maka perkembangan dinamika demokrasi Aceh juga sangat bergantung pada relasi kuasa para aktor. Dari level elite hingga prajurit, provinsi hingga gampong, struktural dan kultural. Tanpa antisipasi, kondisi di Aceh tetap status quo, bom waktu tanpa detonator. Kekerasan bisa terus berulang menjelang 9 April bahkan dapat semakin tereskalasi pada saat hasil suara mulai dihitung. Kelompok berkuasa (Partai Aceh) akan menghadapi tekanan psikopolitik hebat jika mereka ”kalah” dibandingkan Pemilu 2009. Pada Pemilu 2009, Partai Aceh menjadi kekuatan mayoritas dengan 47 persen suara di DPR Aceh. Demikian pula, ketegangan akan berlipat jika partai oposisi gerilyawan (Partai Nasional Aceh) malah menjadi ”pemenang”. Menyelesaikan masalah ini tidak cukup dengan retorika kampanye ”siap kalah, siap menang” atau strategi menambah pasukan keamanan agar pemilu tetap berjalan. Perlu langkah radikal, terutama dari aktor politik yang kini berkonflik, untuk merumuskan kesadaran untuk berdamai, atau paling tidak memilih sikap pasif dalam merespons kekerasan. Perlu visi intelektual untuk membumikan nilai-nilai demokrasi, sejarah, dan kearifan lokal Aceh sebagai nilai yang padu dalam menghentikan transisi konflik menuju transendensi perdamaian berkelanjutan. Tugas beratnya, bisakah arti kata damai dan demokrasi itu dipraktikkan dengan sederhana? Mulai dari elite turun ke akar rumpun. Mulai dari rangkang (gubuk di sawah) hingga ke meunasah (mushala). Mulai dari tunong (masyarakat pegunungan) hingga ke baroh (masyarakat perkotaan dan pesisir). Mulai dari dayah manyang (perguruan tinggi) hingga ke baleebeut (balai pengajian anak-anak dan remaja). Seharusnya Aceh bisa melepaskan belenggu konflik demi kejayaan masa depan dan tak meratapi masa lalu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar