Belajar dari Reformasi Ekonomi Filipina Windhu Wibisono ; Mahasiswa Doktoral Ilmu Administrasi UI |
KORAN JAKARTA, 07 April 2014
John Collins (2001) dalam bukunya Good to Great meyakini bahwa "baik" lawan dari "hebat." Itulah sebabnya, sedikit negara yang hebat. Saat ini, Indonesia berada dalam kondisi "baik" karena ekonomi tumbuh 5–6 persen pada tahun-tahun terakhir dengan produk domestik bruto (PDB) 870 miliar dollar AS tahun 2012 (data Bank Dunia). Catatan baik ini disandingi Filipina. Brooks (2014) dalam Indonesia and the Philippines: A Tale of Two Archipelagoes menulis bahwa perekonomian Filipina tumbuh tercepat di dunia, pada semester pertama 2013 sebesar 7,5 persen. Kalau Indonesia telah diakui sebagai salah satu kekuatan utama ekonomi dan masuk ke G-20, Filipina muncul sebagai kekuatan baru. Tulisan ini membandingkan Indonesia dan negeri "peso" tersebut, terutama terkait faktor pendorong ekonomi era reformasi Benigno Aquino III dan pentingnya sumber daya manusia (SDM) bagi pertumbuhan ekonomi Nusantara. Ada beberapa persamaan antara Indonesia dan Filipina dengan banyak kepulauan 17.000 dan 7.000. Bentuk kepulauan memberi tantangan pemerataan penyediaan pelayanan dan logistik. Selain itu, kedua negara berpopulasi terbesar di ASEAN, 247 juta dan 97 juta. Jumlah penduduk yang masif menciptakan potensi keuntungan ekonomi dan berbanding lurus dengan tingginya tingkat konsumsi dalam negeri yang bisa membawa keunggulan komparatif bila dikelola dengan baik. Dua negara juga bermasalah terutama sebagai bangsa yang belum sejahtera. Bank Dunia tahun 2012 menyebut mereka belum masuk negara perpenghasilan tinggi. PDB per kapita Indonesia dan Filipina 3,592 dan 2,614 dollar AS dengan inflasi 4,5 persen serta 1,9 persen. Hal tersebut menyebabkan tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran. Problem lain adalah korupsi yang menghantui pembangunan. Indeks persepsi korupsi sama-sama buruk karena berada di kluster negara dengan skor antara 30–39 dari skala 100 (TI, 2013). Selain itu, mereka kekurangan SDM berkualitas. Indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia dan Filipina tahun 2013 tertinggal di peringkat 121 dan 114 dari 186 negara. Sisi positifnya, sama-sama memiliki harapan perbaikan, khusunya dari sisi daya saing pemerintah. Data Word Economic Forum (WEF) menunjukkan, competitiveness government index (CGI) Indonesia naik 12 posisi dalam 2 tahun menjadi ranking 38 pada tahun 2013–2014, sedangkan Filipina naik 16 posisi menjadi ranking 59. Tren positif ada di hampir semua dimensi. Reformasi Benigno WEF menyebutkan pemerintahan Filipina sebelumnya tidak efisien dan miskin infrastruktur. Setelah Presiden Benigno Aquino III (Benigno) mulai menjabat pada tahun 2010, Manila mereformasi berbagai bidang dengan aksi nyata. Yang populer adalah memerangi korupsi yang telah memberi momentum positif pasar hingga menghasilkan investment grade dari tiga lembaga pemeringkat utama. Rencana pembangunan Filipina periode 2011–2016 menekankan peningkatan SDM sebagai faktor penting pertumbuhan inklusif demi mengurangi kemiskinan. Peningkatan pembangunan manusia dilakukan melalui berbagai subsektor seperti akses kesehatan, pendidikan, akomodasi, perlindungan sosial yang berkualitas. Reformasi pembangunan manusia bukan saja mengurangi kemiskinan, tapi juga mampu mewujudkan ekonomi berkelanjutan. Anggaran Filipina 2014 menunjukkan perhatian besar pada upaya reformasi utama bidang pendidikan. Kementerian pendidikan menduduki peringkat pertama nominal anggaran sebesar 84 triliun rupiah. Ini lebih tinggi dari anggaran kementerian pendidikan Indonesia 82 triliun rupiah. Anggaran terutama untuk meningkatkan fasilitas pendidikan dan sumber daya pembelajaran. Salah satu bukti peningkatan kualitas pendidikan diperoleh dari data UNDP yang menunjukkan angka melek huruf 95,4 persen (bandingkan Indonesia yang 92,6 persen) dan rasio partisipasi kasar pendidikan tinggi 28,9 persen (Indonesia 23,1 persen). Hal ini menggambarkan keberpihakan Manila pada kualitas manusia. Meskipun secara umum permasalahan dan potensi kedua negara sama, perhatian pada pendidikan membantu Filipina menuju pertumbuhan berkelanjutan. Kemudian, perhatian kualitas tenaga kerja, termasuk kaum migran, agar dapat diterima bekerja di sektor formal. Dari 8,5 juta tenaga kerja migran periode 2008–2012 terdiri dari 74 persen sektor formal dan 26 persen informal. Sementara di sini justru menunjukkan komposisi penempatan TKI dari 2006–2012 sebesar 3,9 juta, 72 persen di sektor informal dan 28 persen formal. Brooks (2014) juga melihat masa reformasi 10 tahun terakhir tidak begitu bermakna, tidak demikian dengan Filipina. Menurutnya, Benigno jelas beraksi seperti memerangi korupsi dan memperhatikan sekali pendidikan. Dosen UI, Telisa Falianty, menyebutkan SDM berkualitas menjadi sumber kemajuan ekonomi Filipina. Indonesia bakal surplus demografi hingga tahun 2050 dengan puncaknya 2030. Maka, investasi pendidikan untuk SDM sangat mendesak. Pendidikan dasar dinaikkan dari 10 menjadi 12 tahun, sedangkan pendidikan tinggi menutup program di bawah standar, serta mengembangkan pusat penelitian kelas dunia. Indonesia tidak kalah karena telah memiliki program wajib belajar 12 tahun. Hanya, program harus disempurnakan lewat kebijakan mitigasi risiko putus sekolah. Pemerintah harus mendesain relasi yang mulus antara pendidikan dan pekerjaan. Kebijakan pendidikan sebaiknya mengarah pada sinergi antara institusi pendidikan, masyarakat, pemerintah, dan swasta. Penting untuk konsisten melakukan gebrakan seperti program prioritas sekolah kejuruan yang akan meningkatkan kuantitas dan kualitas lulusan siap diserap pasar. Membandingkan posisi ekonomi dengan negara lain memang penting, namun ada kalanya memperhatikan pertumbuhan berkelanjutan menjadi tidak kalah penting. Sebagaimana pakar pertumbuhan anak (dr Greenspan) pernah mengatakan, "Jangan pernah bandingkan anak dengan anak lainnya. Bandingkanlah dengan diri sendiri sebelumnya." Pembangunan manusia merupakan batu sendi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar