| 10   Tahun Menata Fondasi Ekonomi Firmanzah  ;   Staf Khusus Presiden   Bidang Ekonomi dan Pembangunan | 
KORAN SINDO, 07 April 2014
| Tahun   ini adalah tahun yang akan menentukan sejarah Indonesia untuk lima tahun ke   depan, 2014–2019.  Landscape   baru konfigurasi anggota parlemen serta transisi kepemimpinan nasional dari   Presiden SBY ke presiden baru akan menentukan arah pembangunan ekonomi ke   depan. Masing-masing tim sukses, terutama tim sukses tiap-tiap calon   presiden, perlu merumuskan visi Indonesia kemudian mengomunikasikan agar   rakyat memahami komitmen politik serta arah kebijakan pembangunan lima tahun   berikutnya. Mengingat pembangunan adalah sebuah proses, pijakan rumusan ini   perlu melihat perjalanan pembangunan ekonomi selama 10 tahun terakhir, 2004-   2014.  Terdapat   sejumlahcapaian sekaligus tantangan di bidang ekonomi dan pembangunan di   Tanah Air yang perlu menjadi perhatian siapa pun yang akan melanjutkan   tongkat kepemimpinan nasional. Dapat dikatakan, selama kurun waktu 10 tahun   terakhir pembangunan ekonomi Indonesia mendapatkan momentumnya kembali   pascakrisis multidimensi pada 1998. Pada awal masa transisi yang dipimpin   Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, dan Presiden Megawati   Soekarnoputri, Indonesia melakukan banyak sekali perombakan dan penataan   kelembagaan ekonomi.  Sejumlah   undang-undang (UU) dilahirkan misalnya UU Otonomi Daerah, UU Ketenagakerjaan,   UU BI, UU tentang Lembaga Penjaminan Simpanan, dan UU Keuangan Negara.   Penataan kelembagaan tidak hanya dilakukan untuk kelembagaan ekonomi, tetapi   juga kelembagaan politik dan mekanisme bernegara. Stabilitas mulai menemukan   bentuknya pasca-Pemilu 2004 di mana untuk pertama kalinya sejak era Orde Baru   pemilihan presiden dilakukan secara langsung dan demokratis.  Pada   awal periode kepemimpinan Presiden SBY, sejumlah kondisi dan situasi masih   belum kondusif untuk mengakselerasi pembangunan nasional. APBNP 2004 tercatat   masih terbatas yaitu Rp430 triliun, penerimaan sektor perpajakan hanya   Rp279,2 triliun, kita masih terikat pada letter of intent (LOI) IMF, BUMN dan   swasta nasional masih belum pulih akibat krisis 1998, porsi utang/PDB   mencapai 56,6%, PDB nasional tercatat hanya USD257 miliar, PDB/kapita sebesar   USD1.179, cadangan devisa sebesar USD36,3 miliar, dan angka kemiskinan   mencapai 16,6%.  Bencana   tsunami di Aceh akhir 2004 juga menambah fokus yang harus ditangani Kabinet   Indonesia Bersatu I. Di bidang ekonomi, beberapa kebijakan dan strategi   pembangunan dilakukan untuk menata kembali perekonomian nasional yang   terpuruk akibat krisis ekonomi 1998. Langkah pertama yang dilakukan adalah   menjamin tata kelembagaan baru (KPK, MK, KY, KPPU, otonomi daerah, BI, LPS,   dan sebagainya) berjalan sesuai peran dan fungsi seperti yang diamanatkan UU.    Kedua,   memberikan sinyal positif membaiknya ekonomi Indonesia dengan dilunasi sisa   utang RI dari IMF pada 2006 dan dibubarkan CGI pada awal 2007. Ketiga,   penguatan ekonomi domestik dari sisi demand   side melalui serangkaian kebijakan keep-buying   strategy. Keempat, pemberdayaan ekonomi rakyat di sektor mikro, kecil,   dan menengah melalui akses finansial dalam skema KUR. Kelima, penguatan   fiskal dan menjaga defisit anggaran dalam rentan yang aman melalui kebijakan   konversi minyak tanah ke gas, penyesuaian harga BBM bersubsidi, dan menjaga   defisit anggaran tetap di bawah 3% dari PDB.  Meskipun   ekonomi Indonesia diuji oleh krisis ekonomi dunia yang bersumber dari krisis Subprime-Mortgage di Amerika Serikat   pada 2008 menjelang Pemilu 2009, langkah-langkah penguatan fundamental   ekonomi yang ditempuh selama lima tahun (2004-2009) membuahkan hasil positif.   PDB Indonesia meningkat 110% pada 2009 mencapai USD539 miliar, PDB/kapita   meningkat 99% mencapai USD2.350, cadangan devisa meningkat 82% mencapai   USD110,1 miliar, belanja negara pada APBN-P 2009 meningkat 118% mencapai   Rp937 triliun, realisasi pendapatan sektor perpajakan meningkat 121% dan   mencapai Rp619,9 triliun, serta rasio utang/PDB berhasil diturunkan   signifikan dan menjadi 28,4%.  Tantangan   ekonomi dalam periode 2009-2014 memiliki karakteristik yang berbeda   dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya. Dari sisi eksternal, sejumlah   guncangan akibat krisis seperti krisis Subprime-Mortgage, krisis utang Eropa,   dan tekanan capital-outflow akibat   rencana tapering-off program   stimulus moneter The Fed. Dari sisi   internal, tekanan lonjakan besaran subsidi BBM berpotensi membahayakan   kesehatan fiskal dan ketidakseimbangan (imbalance)   antara tingginya konsumsi dan produksi nasional membuat neraca perdagangan   serta neraca pembayaran terganggu.  Selain   itu juga ekonomi Indonesia seperti negara emerging lain dihadapkan pada   depresiasi nilai mata uang, peningkatan suku bunga acuan, tekanan inflasi,   dan penurunan pasar ekspor dunia. Dihadapkan pada sejumlah tantangan,   pemerintahan melakukan serangkaian langkah-langkah. Pertama, meluncurkan   MP3EI sebagai blueprint akselerasi pembangunan infrastruktur dan sektor riil   untuk lebih mendorong supply-side dalam mengimbangi tingginya permintaan   domestik.  Kedua,   melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi pada 2013. Ketiga, mengefektifkan   FKSSK sebagai sarana koordinasi, harmonisasi, dan konsultasi kebijakan antara   pemerintah, BI,OJK, danLPS. Keempat, tetap melakukan kebijakan pemberdayaan   ekonomi rakyat dan pengentasan kemiskinan. Kelima, menerbitkan paket   kebijakan sebagai respons terhadap tekanan ekonomi dunia.  Keenam,   melakukan proses industrialisasi dan hilirisasi. Hasilnya pada akhir 2013,   pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,68%, inflasi di bawah prediksi   sebelumnya dan mencapai 8,38%, realisasi investasi tertinggi dalam sejarah   dan mencapai Rp398,6 triliun, cadangan devisa menguat, defisit anggaran di   bawah 3% dan mencapai 2,24%. Dengan begitu, modal kembali masuk ke Indonesia   dan akhir-akhir ini kita melihat tren kenaikan IHSG dan penguatan nilai tukar   rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.  Selain   itu juga stabilitas keamanan sepanjang kampanye legislatif berlangsung aman,   tertib, dan damai. Ihwal ini modal penting untuk masuk ke fase berikutnya   yaitu perancangan pembangunan ekonomi nasional 2014-2019. Penguatan kembali   fundamental ekonomi selama 10 tahun terakhir merupakan modal penting untuk   menghadapi guncangan (shock)   sepanjang 2014-2019 baik yang bersumber dari dalam maupun luar.  Sejumlah   potensi ketidakpastian ekonomi global diprediksi bersumber dari berakhirnya   program Quantitative Easing III,   berakhirnya suku bunga ultra rendah di negara maju, perlambatan ekonomi   global, risiko konflik di sejumlah kawasan yang berpotensi meningkatkan harga   minyak mentah dunia, perubahan iklim, dan gejolak pasar keuangan dunia.   Selain itu juga pasar bebas ASEAN 2015 akan dimulai akhir 2015. Sementara   dari dalam negeri, sejumlah agenda masih membutuhkan perhatian serius dalam   kurun waktu 2014-2019.  Pertama,   pembangunan infrastruktur dan industrialisasi yang tengah berjalan   membutuhkan keberlanjutan. Kedua, programprogram pemberdayaan ekonomi   kerakyatan dan UMKM perlu terus ditingkatkan. Ketiga, program peningkatan   kualitas tenaga kerja dan SDM untuk lebih siap bersaing di kawasan juga perlu   ditingkatkan. Keempat, reformasi birokrasi yang efisien dan efektif juga   perlu ditingkatkan. Kelima, optimalisasi ekonomi kelautan dan sektor   pertanian yang menyerap tenaga kerja terbesar juga membutuhkan perhatian khusus   bagi pemerintahan mendatang.  Keenam,   penguasaan dan pemanfaatan teknologi perlu terus ditingkatkan untuk mendorong   daya saing nasional. Ketujuh, tetap menjalankan macro prudential dengan terus   menjaga keseimbangan bergeraknya sektor riil dan daya beli masyarakat. ● | 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar