Revisi Perda Diskriminatif Darmaningtyas ; Pengamat Masalah Transportasi |
KORAN JAKARTA, 15 April 2014
Wakil Gubernur DKI, Basuki Tjahja Purnama (Ahok), pantas marah lantaran proses hibah 30 bus dari swasta untuk Transjakarta dipersulit bawahannya yang tetap ngotot agar menggunakan bahan bakar gas (BBG), sementara bus hibah tersebut menggunakan solar, tapi keberadaannya amat dibutuhkan buat menambah armada. Persoalan tersebut muncul karena dua titik pandang berlawanan. Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah (Plt Sekda) yang tetap ngotot menuntut harus ber-BBG berpatokan pada Perda No 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Pasal 20 Ayat (1) Perda tersebut menyatakan: Angkutan umum dan kendaraan operasional Pemerintah Daerah wajib menggunakan BBG untuk mengendalikan emisi gas buang kendaraan bermotor. Adapun Wakil Gubernur Ahok berpedoman pada fakta di lapangan bahwa sampai saat ini Transjakarta masih kekurangan armada dan pasokan BBG juga masih terbatas. Sampai akhir Maret lalu, baru tersedia enam stasiun pengisian BBG di Jakarta. Tentu, bila keduanya ngotot mempertahankan sudat pandangnya, sulit bertemu. Keduanya hanya mungkin bertemu bila dikembalikan pada substansi pengurangan pencemaran udara dari sektor transportasi. Semangat Perda No 2/2005 untuk mengurangi pencemaran udara dari sektor transportasi melalui migrasi energi dari solar/premium ke gas yang dinilai lebih bersih. Dari perspektif lingkungan, semangat migrasi itu tepat sekali. Tapi bila tidak didukung penyediaan BBG yang cukup, moda transportasi umum dan mobil operasional Pemprov DKI Jakarta sulit. Mereka tetap menggunakan solar/premium, tentu tidak dapat dibenarkan. Jadi, semangat perda tadi hanya dibenarkan bila ditunjang penyediaan BBG yang cukup sehingga semua moda transportasi yang diatur dalam perda dapat migrasi, tanpa hambatan. Amanat Pasal 20 jelas untuk semua angkutan umum dan kendaraan operasional Pemprov DKI Jakarta. Tapi implementasinya, baru Transjakarta dan sebagian kecil bajaj (sekitar 5.000 unit bajai BBG). Ini tentu tidak fair karena perda berlaku secara diskriminatif. Mengapa Transjakarta yang mengangkut jumlah penumpang lebih banyak sehingga konsumsi bahan bakarnya lebih efisien dipaksa menggunakan BBG yang pasokannya masih terbatas? Sementara angkutan umum lain dan kendaraan operasional Pemprov DKI Jakarta yang mengangkut penumpang lebih sedikit justru tidak dipaksa pindah ke BBG? Dengan kata lain, bila pedoman keharusan Transjakarta menggunakan BBG itu Perda No 2/2005, mestinya pedoman tersebut mengikat semua angkutan umum dan kendaraan operasional Pemprov. Bila implementasinya diskriminatif, perda harus ditinjau. Maksud para aktivis lembaga swadaya masyarakat yang berjuang agar angkutan umum dan kendaraan DKI menggunakan BBG demi udara bersih. Tapi itu harus ditunjang komitmen pemerintah dengan menyediakan pom BBG yang cukup. Kenyataan di lapangan, sampai hampir 10 tahun, perda hanya berlaku untuk Transjakarta dan sebagian kecil bajai. Ini yang membuat wakil gubernur tidak memaksakan kehendak Transjakarta menggunakan BBG. Mestinya seluruh kendaraan Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway dan Kopaja AC tidak boleh menggunakan solar. Mereka harus menggunakan BBG. Kenyataannya, mereka tetap menggunakan solar dan diizinkan Pemprov DKI Jakarta lewat Dinas Perhubungan. Dalam tiga tahun terakhir juga ada kendaraan operasional DKI menggunakan solar/premium. Ini aneh bila bus bantuan untuk penambahan armada Transjakarta dipaksa menggunakan BBG. Revisi Memaksakan armada Transjakarta tetap menggunakan BBG, sementara persediaan pom BBG terbatas, dan kendaraan lain boleh mengisi premium merupakan tindak diskriminatif! Maka perda itu perlu direvisi demi tegaknya regulasi. Banyak perda diubah dan tidak masalah. Di antara, Perda No 12/2003 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, KA, Sungai-Danau, serta Penyeberangan sudah direvisi menjadi Perda Transportasi. Perda direvisi karena dinilai sudah tidak sesuai semangat zaman dan kondisi baru di lapangan yang perlu diakomodasi. Jadi revisi perda untuk disesuaikan dengan kondisi lapangan agar terimplementasi secara penuh merupakan kemajuan. Perda No 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara posisinya sama dengan perda-perda lain, bukan barang keramat, sehingga sah saja direvisi agar aturan yang dimuat di dalamnya lebih implementatif. Ini lebih baik daripada dipertahankan tapi hanya menjadi macan ompong dan diskriminatif! Bisa saja direvisi cukup sejumlah pasal. Misalnya, Pasal 20 diubah menjadi "Angkutan umum dan kendaraan operasional Pemerintah Daerah dapat menggunakan BBG untuk mengendalikan emisi gas buang kendaraan bermotor." Jadi, revisinya cukup mengganti "wajib" dengan "dapat" yang bersifat opsional. Maka, apa pun bahan bakar yang dipakai memiliki landasan hukum yang sama. Alternatifnya, bersifat opsional mengingat semangat ke depan arahnya keragaman energi: gas, solar, premiun, biofuel, dan listrik. Jadi tidak hanya gas. Maka, kalau ada persoalan BBG, masih bisa memakai solar/premium. Sebaliknya, bila ada persoalan dengan solar/premium, masyarakat dapat beralih ke biofuel atau listrik. Mengunci pada penggunaan BBG saja merupakan kekeliruan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar