Memilih Tidak Memilih Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi |
KORAN SINDO, 15 April 2014
Di dekat kotak pemilihan suara, dua orang lakilaki, warga satu RT, yang tak saling mengenal berdialog., untuk sekadar mengisi waktu senggang. Yang satu sudah memilih, tapi tidak segera pulang dan yang satu masih menunggu panggilan untuk masuk ke bilik rahasia yang mendebarkan itu. ”Sudah memilih ya?” tanya yang satu. ”Sudah,” jawab yang lain. ”Sampean di RT mana to?” ”RT lima” ”Lho, sama dengan saya. Kok sama-sama warga satu RT tidak saling mengenal ya?” ”Kita sibuk, barang kali.” ”Ya. Itu pasti.” Tapi kita ada rapat RT, dan seharusnya kita pernah bertemu.” ”Mungkin waktu saya datang, Anda tidak. Dan sebaliknya” ”Ya mungkin sekali. Saya memang tak selalu bisa hadir dalam setiap rapat.” ”Omong-omong tadi milih apa, dan atau siapa?” ”Saya milih yang terbaik” ”Apa ada yang terbaik?” ”Ada.” ”Saya menganggap tidak ada yang terbaik. Semua minus. Semua memiliki kelemahan dan cacat memalukan.” ”Ya, memang.” ”Tapi bagaimana Anda bisa menemukan yang terbaik?” ”Yang paling sedikit penyimpangannya, paling sedikit membikin kita kecewa, dan paling sedikit jumlah politisinya yang korup”. ”O, ya, ya. Saya tak pernah berpikir begitu sebelumnya. Semula, bagi saya yang terbaik itu ya yang betul-betul terbaik, yang mutlak tak mengecewakan, yang sepenuhnya menjadi amanah kita, yang betul-betul tak menyimpang.” ”Itu ukuran agama. Bukan ukuran politik. Di dalam politik tak mungkin orang tak menyimpang. Jadi kita harus buat ukuran yang lain.” Teman dialognya, tetangga satu RT, yang tadi bertanya, masih ingin bertanya lagi, tapi panitia pengumpul suara di mana mereka memilih, telah memanggil namanya. Dan dia pun segera berdiri, dan berjalan menuju kotak suara di ruang rahasia yang mendebarkan tadi, dengan sikap yang belum begitu jelas mau memilih yang mana, partai apa, dan siapa-siapa yang layak dipilih. Waktu tidak begitu leluasa untuk berpikir jernih di ruang rahasia tadi. Orang seharusnya— atau sebaiknya—sudah memiliki pilihan jelas sejak beberapa saat sebelumnya. Di ruang rahasia yang mendebarkan itu, orang tinggal mencari partai dan nama-nama tokoh yang sudah dipilihnya di dalam hati, dan kini tinggal mencoblos; blos, blos, blos.... Detik-detik pendek pencoblosan bukan momentum berfilsafat tentang politik, keadilan, dan demokrasi, dan tingkah laku politik yang didambakannya. Di sana hanya urusan teknis, sederhana, untuk ”nyoblos”. Dan dia telah melakukannya. Benar atau salah, tepat atau tidak pilihannya, yang dijatuhkannya dalam momentum pendek itu, tak bisa ditinjau lagi. Sekali lagi, coblosan sudah terjadi. Ibarat kata, anak panah telah lepas dari busurnya, dan melesat jauh ke depan sana. Anak panah itu tak bisa dikejar, tak bisa dibelokkan. Begitulah coblosan tadi. Perbaikan tak mungkin dilakukan. Dia telah memilih. Dan sekali memilih, kita tak bisa menclamencle. Pilihan tak bisa diganti, tak bisa diubah. Sesudah dialog pendek dengan tetangga satu RT yang tak dikenalnya tadi itu, pikirannya memang berubah. Dia telah memilih sebuah partai yang dianggapnya terbaik menurut ukuran tetangganya tadi. Terbaik yang bukan merupakan ukuran mutlak, karena tak ada kemutlakan dalam hidup, dan dalam politik. Apa yang dipilihnya? Dia tak mau mengatakannya pada siapa pun. Tidak juga pada atasannya di kantor, pada istri dan mertuanya. Pilihan ya pilihan. Itu hasil k e b e b a s an bersuara. Itu rahasia pribadi— lebih tepat rahasia pilihan politik pribadi— yang tak perlu d i cer itakan pada orang lain. Ketika dia kembali ke tempat duduknya semula, tetangga, orang yang diajaknya berdialog tadi, masih ada di sana. Dan kini datang orang ke tiga, tetangga satu RT. juga, yang mengenal mereka berdua. Orang ketiga ini datang ke tempat pemungutan suara untuk memberikan suaranya meskipun dia tak percaya pada dalil bahwa ”satu suara menentukan nasib bangsa”. Maka gunakan hak pilih Anda. Suara Anda menentukan. ”Omong kosong” katanya. ”Kalau omong kosong, mengapa sampean memilih juga?” tanya kedua tetangganya itu hampir bersamaan. ”Saya setia memilih, untuk membuktikan bahwa kali ini pun para politisi, yang kelak menjadi pemerintah dan parlemen masih akan tetap mengkhianati mandat konstitusi kita. Dengan kata lain, untuk meyakinkan bahwa suara saya masih akan tetap mereka khianati, seperti suara-suara saya yang lain, yang saya berikan dalam pemilu demi pemilu yang sudah lalu. Itu saja.” Kedua tetangganya, yang satu RT itu, terlongo-longo. Ini argumen kelas atas kelihatannya. Dan mereka tak pernah sampai ke tingkat kesadaran politik yang aneh, ruwet, dan ada harapan, tapi masih tetap bersuara. ”Kalau sampean tak yakin, mengapa masih juga memilih, dan setia terus menerus memberikan suara sampean?” itu pertanyaan yang bisa diajukan tetangganya. ”Saya juga ingin yakin. Tapi politisi selalu busuk. Jadi saya tak pernah bisa menemukan titik keyakinan, seperti ketika saya membaca ayat-ayat kitab suci, atau ketika mendengarkan kiai tarekat yang sedang berbicara mengenai derajat rohani yang perlu kita capai. Apa dengan begini saya salah?” Kedua tetangganya itu diam. Keduanya sudah sampai pada tataran tertinggi kesadaran politik yang mungkin mereka capai. Di atas itu sudah tak mungkin. Kini ketiganya diam. Masing-masing memperhatikan proses pemilu tingkat RT tersebut, dengan tingkat pemahaman yang berbeda. Tiap orang berhak—bukan wajib—memilih. Tapi kita juga berhak untuk tidak memilih. Tidak memilih bukan sikap tercela. Secara etis, sikap tercela malah selalu ditampilkan para jurkam, para anggota elite partai, pimpinan partai dan kaderkader partai. Mereka ingin tampil baik, dengan memburuk-burukkan partai lain dan tokoh-tokoh politik lain. Keburukan orang disebarluaskan. Aib orang kita buka. Orang lain kita fitnah. ”Haruskah orang-orang ini kita pilih?” ”Tidak. Buat apa? Bagi saya, lebih baik memilih tidak memilih”. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar