“Perseteruan” Prabowo-MegaYosafati Gulo ; Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga |
SUARA MERDEKA, 15 April 2014
PEMBERIAN mandat oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri kepada Jokowi untuk menjadi capres 2014- 2019 ibarat tabung oksigen bagi yang sesak napas di ruang harap-harap cemas atas sikap Mega yang selama ini berkesan tertutup. Bagi mereka, utamanya pendukung, mandat itu terasa melegakan. Bagaimana dengan Prabowo? Jelas berbeda. Baginya, berita itu ibarat letupan senapan yang mengarah langsung, dan ia pun langsung merespons. Bukan sekadar mengelak, naluri ketentaraannya seakanakan membuatnya siap bertarung. Reaksi publik pun bermunculan. Ada yang senang dan ada yang tidak. Yang kentara adalah adanya anggapan hubungan politik antara Megawati dan Prabowo pecah. Serangan-serangan tersirat Prabowo kepada Jokowi selama masa kampanye pileg, dimaknai sebagai bukti bahwa hubungan antara PDIP dan Gerinda; antara Megawati-Jokowi dan Prabowo; sudah kacau. Atas gejala itu, banyak yang bersorak dan berharap muncul imbas signifikan bagi PDIPsekaligus Gerindra. Mereka berharap hubungan PDIP dan Gerindra yang menguat saat Pilgub DKI Jakarta 2013, meredup. Dengan begitu, para pesaing PDIP dan Gerindra berharap mendapatkan ”manfaat”. Dalam logika linier, gejala tersebut memang dapat dipahami sebagai indikasi ”perpecahan”. Berbagai lontaran pernyataan tak sedap Prabowo kepada Jokowi menjadi semacam pembenaran. Tapi harap dicatat, ini bukan dunia akademik melainkan dunia politik yang penuh strategi dan trik. Apa yang tampil di permukaan sering berseberangan dengan tujuan sesungguhnya. Apa yang diucapkan sering berbeda dari isi hati. Tampaknya, pameo tidak ada kawan dan lawan abadi dalam politik merupakan narasi dari ”pentasí yang dimainkan Prabowo dan Megawati. Intinya, Mega dan Prabowo memasang Jokowi sebagai vote getter. Dengan jatuh hatinya rakyat pada gaya kepemimpinan Jokowi, para pendukung partai lain, simpatisan atau pemilih pemula diyakini beramai-ramai bergabung dengan PDIPdan memilih para caleg dari partai itu di DPR/D. Kini terbukti, perolehan suara PDIPmenguat, kendati ”Jokowi effect” tak berpengaruh secara signifikan. Tapi perolehan suara dalam pileg menguatkan posisi tawarnya dalam menentukan presiden periode 2014-2019. Bagi sebagian masyarakat, sikap Megawati bisa dianggap menzalimi Prabowo. Wujud kekecewaan mereka diluapkan dengan menghujat Megawati dan Jokowi. Orang macam itu berasal dari banyak latar belakang. Namun, sebenarnya banyak di antara mereka justru pendukung setia Mega dan PDIP. Mereka tampil seolah-olah menyerang Mega dan Jokowi dengan satu tujuan: menarik simpati pendukung partai di luar PDIP dan Gerinda supaya mendukung Prabowo sebagai pihak yang dizalimi. Faktor Penentu Sebagai prajurit cerdas, Prabowo pun mencoba tampil cerdas. Selama kampanye, ia seolah-olah mengamini opini itu, memosisikan diri sebagai orang terzalimi dan seolah-olah memusuhi Jokowi. Untuk meyakinkan publik, Prabowo kerap menyelingi nada serangan terhadap Jokowi. Harapannya sama, agar simpati publik terus mengalir ke Gerindra, dan pileg kemarin membuktikan. Inilah strategi yang dirancang dan dimainkan ”bersama” oleh Megawati dan Prabowo. Tujuan akhirnya jelas, bila PDIP memenangi pemilu dan suara Gerindra meningkat seperti hasil sementara saat ini maka dua partai itu jadi penentu perjalanan bangsa 5 tahun ke depan. Dalam pilpres Juli mendatang, Prabowo akan diusung bersama PDIP dan Gerindra, dan ”dipastikan” menang. Di sisi lain, Jokowi tetap memangku jabatan Gubernur DKI Jakarta sampai 2019. Kombinasi Prabowo sebagai presiden dan Jokowi sebagai Gubernur DKI diyakini akan memperlancar program ”pembersihan” bangsa ini dari hama korupsi. Pelaksanaan program Jakarta Baru yang digagas Jokowi-Ahok pun diyakini berjalan mulus karena mendapat dukungan penuh dari Prabowo sebagai presiden. Tampilnya Prabowo sebagai presiden dan Jokowi tetap pada posisi sebagai gubernur, tak berarti hiruk-pikuk politik selesai. Orang yang tak senang kepada Prabowo dan Jokowi pun selalu muncul. Jokowi jadi presiden pun, tidak mengubah keadaan. Para koruptor atau yang berambisi sekadar mendapat kuasa cenderung menentang tampilnya Prabowo dan Jokowi. Pada titik ini, bangsa kita ditantang. Apakah kita melaksanakan pileg dan pilpres sekadar rutinitas memperebutkan kuasa? Ataukah ajang mendapatkan pemimpin yang memiliki komitmen tinggi membangun bangsa dengan mengamankan keutuhan NKRI dalam warna pluralisme, serta memberantas korupsi, narkoba, dan terorisme? Andai jawabnya ya maka perlu segera menyadari bahwa tokoh semacam itu tidak cukup hanya berkriteria cerdas dan tegas. Selain cerdas dalam arti luas, harus disertai sikap hidup, cara berpikir, bertindak, dan bergaya kepemimpinan selaras dengan komitmennya. Lebih relevan memikirkan aspek-aspek itu ketimbang sekadar membahas Prabowo dan Jokowi. Kalaupun nantinya Prabowo atau Jokowi yang menjadi presiden, apa salahnya? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar