Sistem Presidensial Bambang Kesowo ; Pengajar Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum UGM; Anggota Dewan Penasihat IKAL-Lemhannas |
KOMPAS, 17 April 2014
TULISAN ini tidak dipikirkan dalam konteks pembagian kekuasaan negara dan kedudukan lembaga kepresidenan di dalamnya. Bukan pula dalam kaitannya dengan soal kemampuan membaca real politics, apalagi dengan soal membangun koalisi antarpartai politik yang diperkirakan akan dapat menjadi penopang. Pengalaman terakhir menunjukkan, reka-pikir sekitar yang terakhir tadi ternyata bukan saja meleset, melainkan malah bagai menggali lubang bagi diri sendiri. Tulisan ini hanya dititikberatkan pada bagaimana sebaiknya membangun hubungan kerja presiden dan wakil presiden dalam memimpin pemerintah dan pemerintahan negara di masa depan yang lebih efektif. Bagaimana membuat kabinet yang dipimpinnya dapat bekerja lebih efektif. Tugas wakil presiden Dalam sejarah kepresidenan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kita memiliki sepuluh wakil presiden. Dibandingkan dengan wakil presiden sesudahnya, mungkin tidak banyak yang sempat diketahui secara detail bagaimana peran dan fungsi Wakil Presiden Mohammad Hatta ketika beliau membantu Presiden Soekarno menjalankan pemerintahan republik ini, kecuali nilai dwitunggal dalam kepemimpinan politik selaku Bapak Pendiri Bangsa (founding fathers). Namun, sebaliknya, mulai dari masa Wakil Presiden Hamengkubuwono IX hingga kini, ada pula pertanyaan yang tetap menggantung. Apa persisnya tugas dan peran wakil presiden? Dalam kosakata kita, pernah kita dengar istilah ”ban serep” bagi peran dan fungsi wakil presiden. Kadang kita merasa risih dengan istilah tersebut. Banyak yang masih ingat, ketika wakil presiden di masa Orde Baru hanya berperan dalam tugas pengawasan pembangunan dan tugas tertentu lainnya yang diberikan presiden. Dalam konteks efektivitas sistem presidensial, stelsel tersebut belum banyak dipertanyakan. Bukankah pada waktu itu secara politik posisi presiden kuat? Jika demikian, apakah penilaian tentang peran dan fungsi wakil presiden yang sangat terbatas itu yang kemudian mendorong semacam keprihatinan tentang ”kurang didayagunakannya” posisi wakil presiden? Pada masa-masa awal era tersebut, mungkin saja hal itu dapat dipahami. Namun, seiring dengan perkembangan waktu, mungkin juga sejalan dengan cita reformasi atau mungkin karena pengaruh keadaan dan penilaian terhadap kebutuhan tampil keinginan kuat untuk mengembangkan pikiran tentang pengefektifan peran dan fungsi wakil presiden dalam sistem presidensial. Dengan perubahan dan perkembangan keadaan, dengan semakin luas dan beragamnya tantangan, dipikirkan perlunya kabinet yang mampu bergerak lebih gesit, mampu bekerja lebih cepat, dan berdaya guna. Pemikiran yang mencuat: mengapa wakil presiden tidak diberi tugas membantu dengan ruang gerak yang lebih besar? Sempat muncul pemikiran (ketika menyimak rentannya sistem presidensial jika dikaitkan dengan praktik perpolitikan yang kian terkesan menampilkan ”perangai” parlementer pasca reformasi) agar sistem presidensial dimodifikasi. Arah pikirnya dilengkapi dengan jabatan perdana menteri seperti di Perancis. Wakil presiden beralih fungsi menjadi perdana menteri. Idenya, agar ada semacam ”bantalan” politik terhadap sistem presidensial. Namun, jelas pemikiran itu sedikit banyak memiliki implikasi terhadap pengaturan dalam UUD. Bukan saja lebih luas dari sekadar wacana tentang efektivitas sistem presidensial itu sendiri, melainkan banyak pihak mulai capek jika ujungnya masih harus bergulat dengan ubah-mengubah UUD lagi. ”Dalam melakukan kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden”. Begitu ketentuan UUD. Ketentuan itu sedari kelahiran UUD tidak berubah hingga setelah mengalami empat kali perubahan. Tidak ada arahan lebih lanjut tentang ketentuan itu. Jika kemudian hal itu diserahkan kepada interpretasi, sudah barang tentu tafsir presiden yang akan tampil. Peran dan fungsi wakil presiden selama era Orde Baru mungkin juga buah dari tafsir presiden pada waktu itu terhadap ketentuan UUD. Tidakkah mungkin penafsiran yang lain? Efektivitas sistem presidensial Di masa pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid, Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri mengajukan pemikiran agar kata ”dibantu” diartikan tugas membantu presiden, di luar hal-hal tertentu yang menjadi prerogatif presiden, berlangsung selebar koridor tugas dan kewajiban presiden. Ketika presiden menyetujui, wakil presiden diberi tugas yang begitu luas. Dengan itu pula struktur organisasi staf Sekretariat Wakil Presiden yang waktu itu sudah dipisah dari organisasi Sekretariat Negara disusun dengan sedekat mungkin memperhatikan struktur kabinet. Wakil presiden diserahi tugas-tugas membantu presiden dalam memimpin sidang-sidang kabinet meski presiden yang membuka sidang dan tetap memberi keputusan akhir. Karena keadaan dan kebutuhan pula, presiden memberi tugas wakil presiden menandatangani keputusan (sekarang peraturan) presiden atas nama presiden, setelah materinya dilaporkan dan disetujui presiden. Wakil presiden ditugasi memimpin penyelesaian dan pelaksanaan kebijakan yang sudah diputuskan presiden. Terlepas dari situasi, kondisi, dan kebutuhan obyektif yang ada waktu itu, wakil presiden juga memetik manfaat dari kebijakan tersebut. Ketika harus menggantikan kedudukan dan tugas sebagai presiden dan ketika program-program yang diamanatkan sebagai mandataris MPR (waktu itu) harus dilanjutkan, tidak ada kecanggungan dalam pelaksanaannya. Dalam kaitannya dengan soal efektivitas sistem presidensial ini (baca: efektivitas kabinet), mungkin juga di masa depan dikembangkan interpretasi lainnya. Wakil presiden ditugasi bertindak sebagai ”kepala staf” dalam kabinet. Tugas utamanya memimpin dan mengendalikan teknis pelaksanaan keputusan-keputusan yang diambil dalam sidang kabinet, memastikan penanganan dan capaian hasilnya, dan melaporkannya kepada presiden. Dukungan administrasi tetap diberikan oleh menteri sekretaris negara/ sekretaris kabinet. Dengan demikian, presiden dapat berkonsentrasi pada aspek eksternal, bekerja pada tataran akhir semua persoalan pokok, baik yang menyangkut pembinaan politik dalam dan luar negeri, pertahanan dan keamanan, maupun dalam penyelenggaraan hubungan politik antarlembaga negara dan masyarakat, serta memberi keputusan. Dengan pendekatan tafsir ini, presiden memiliki waktu yang lebih banyak untuk memikirkan dan memutuskan masalah yang pokok dan tidak terlalu terjerat dalam persoalan detail dan teknis. Pada saat yang sama, wakil presiden juga memiliki tugas, kewenangan, dan tanggung jawab internal yang jelas serta luas. Kabinet dapat bekerja efisien dan program-program dapat diupayakan secara lebih efektif. Sudah barang tentu pemahaman hal ini juga tidak terlepas dari faktor kedekatan pikir dan saling percaya antara presiden dan wakil presiden. Namun, itu soal lain lagi, bukan? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar