Jilboobs dan Simbol Otokritik

<div align="center"> <table border="0" cellpadding="0" class="MsoNormalTable" style="mso-cellspacing: 1.5pt; mso-yfti-tbllook: 1184; width: 636px;"> <tbody><tr style="height: 38.25pt; mso-yfti-firstrow: yes; mso-yfti-irow: 0; mso-yfti-lastrow: yes;"> <td style="height: 38.25pt; padding: .75pt .75pt .75pt .75pt; width: 474.15pt;" valign="top" width="632"> <h1 align="center" style="margin-top: 0cm; tab-stops: center 236.3pt left 379.35pt; text-align: center;"><span style="color: windowtext; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 20.0pt;">Jilboobs dan Simbol Otokritik<o:p></o:p></span></h1><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-align: center;"><span style="font-family: "FranklinGothic-ExtraCond","sans-serif"; font-size: 14.0pt; mso-bidi-font-family: FranklinGothic-ExtraCond;">Pangki T Hidayat  ;</span>   <i><span style="background: white; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 13pt;">Direktur Eksekutif <o:p></o:p></span></i></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-align: center;"><i><span style="background: white; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 13pt;">Research Center for Democratic Education, Jogjakarta</span></i><i><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 13pt;"><o:p></o:p></span></i></div></td> </tr></tbody></table></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-align: center;"><b><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">JAWA POS, 12 Agustus 2014<o:p></o:p></span></i></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-align: center;"><b><i><span style="color: #c00000; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"> </span></i></b><b><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">                                               </span></i></b></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; tab-stops: 396.0pt;"><b><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">                                                                                                                                    <o:p></o:p></span></i></b></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><br /></div><table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoNormalTable" style="border-collapse: collapse; mso-padding-alt: 0cm 0cm 0cm 0cm; mso-yfti-tbllook: 1184;"> <tbody><tr> <td style="padding: 0cm 2.8pt 0cm 0cm; width: 466.75pt;" valign="top" width="622"> <div style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><span style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 13pt; line-height: 150%;">BELAKANGAN ini fenomena <i>jilboobs</i> kembali marak dan menjadi perbincangan hangat di media massa maupun media sosial. Fenomena faktual tersebut terjadi sejak munculnya akun Facebook <i>Jilboobs Community</i> yang dibuat pada 25 Januari 2014. Hingga saat ini, akun tersebut telah mendapat lebih dari empat ribu likes pada halamannya dan terus meningkat pesat seiring dengan munculnya kontroversi <i>jilboobs</i>. Belakangan, di Twitter, akun-akun serupa yang mengusung nama dan mem-posting konten-konten yang berafiliasi dengan fenomena <i>jilboobs</i> juga terlihat mulai marak. Sebelumnya, fenomena yang sama menyeruak ke permukaan pada 2012, namun dengan istilah berbeda. Yakni, <i>jilbab gaul</i> dan <i>jilbab funky</i>.<o:p></o:p></span></div><div style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><br /></div><div style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><span style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Secara etimologi, istilah <i>jilboobs</i> merupakan gabungan dua kata. Yakni, <i>jilbab</i> dan <i>boobs</i> (<i>dada wanita/orang dungu</i>). Istilah itu merupakan sindiran kepada para perempuan muslim yang mengenakan hijab, tetapi sangat ketat sehingga lekuk tubuhnya terlihat jelas, terutama bagian dada. Hal tersebut jelas tidak sesuai dengan konsep berpakaian Islam yang <i>syar’i</i>, yakni tertutup, tidak membentuk lekuk tubuh (longgar), dan tidak tembus pandang (transparan). Lebih jauh, Syaikh al-Bani dalam bukunya <i>Jilbaabul Mar’ah Al- Muslimah</i> mengungkapkan ketentuan syariat jilbab yang <i>syar’i</i> sebagaimana yang telah diriwayatkan Alquran. Dalam buku tersebut dijelaskan, ada delapan ketentuan syariat jilbab yang <i>syar’i</i>. Yaitu, menutupi seluruh badan selain bagian yang dikecualikan, tidak dijadikan perhiasan, tidak tembus pandang, tidak ketat, tidak dibubuhi minyak wangi (parfum), tidak menyerupai pakaian lelaki, tidak menyerupai pakaian wanita kafir, dan tidak berupa pakaian <i>syuhrah</i> (mencolok).<o:p></o:p></span></div><div style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><br /></div><div style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><b><span style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Simbol Otokritik<o:p></o:p></span></b></div><div style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><br /></div><div style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><span style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Munculnya fenomena <i>jilboobs</i> itu bisa jadi merupakan bentuk (simbol) otokritik terhadap mereka yang berhijab, tetapi tidak sesuai dengan kaidah dan syariat Islam. Hal itu senada dengan pernyataan pemilik label busana muslim La Perle Collection, Ira Mutiara. Yakni, fenomena <i>jilboobs</i> tersebut muncul karena kurangnya pemahaman sebagian <i>hijabers</i> (pengguna hijab) soal cara berhijab yang syar’i. Karena itu, otokritik ini harus disikapi dengan bijaksana, tidak malah menghakimi secara sepihak.<o:p></o:p></span></div><div style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><br /></div><div style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><span style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Bukan tidak mungkin ternyata mereka sekadar ikut-ikutan atau mendapat hasutan (propaganda) dari orang-orang yang ingin mengadu domba antar penganut Islam. Kondisi tersebut harus benar-benar dicermati. Mengingat, pasca pemilu presiden (pilpres), situasi nasional masih terasa panas. Selain itu, ada ancaman penjejalan ideologi oleh kelompok <i>Islamic State of Iraq and Syria</i> (ISIS). Karena itu, tentu akan sangat berbahaya jika kelangsungan demokrasi nasional menjadi taruhan gara-gara isu sepele ini.<o:p></o:p></span></div><div style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><br /></div><div style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><span style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Di sisi lain, menarik dicermati, mayoritas muslimah yang gemar mengenakan <i>jilboobs</i> adalah mereka yang masih berusia remaja. Menurut Stanley Hall (dalam <i>Santrock 2003</i>), remaja cenderung ingin selalu menjadi pusat perhatian. Karena itu, wajar bila dalam berpakaian mereka juga selalu berusaha tidak pernah tertinggal mode. Hal itu sejalan dengan pendapat pakar psikologi pendidikan dari Universitas Indonesia (UI) Dr Rose Mini Ap MPsi bahwa fenomena <i>jilboobs</i> muncul karena sejumlah perempuan muslim berusaha keras agar terlihat mampu mengikuti <i>fashion</i> (tren mode), tetapi tidak mengerti bahwa yang dilakukan itu justru keliru dan menyalahi aturan busana muslim yang <i>syar'i</i>.<o:p></o:p></span></div><div style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><br /></div><div style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><span style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Karena itu, menghakimi <i>jilboobers</i> (pengguna <i>jilboobs</i>) secara sepihak jelas hanya akan membuat mereka merasa dilecehkan. Bukan tidak mungkin akibat penghakiman sepihak dan <i>bullying</i> yang terus-menerus malah membuat mereka melepas dan meninggalkan hijabnya. Karena itulah, mengatasi fenomena <i>jilboobs</i> itu harus dilakukan dari dua sisi. Yaitu, dari internal diri remaja dan desainer maupun pengusaha garmen, terutama yang menyasar pasar busana muslim di tanah air.<o:p></o:p></span></div><div style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><br /></div><div style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><b><span style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Upaya Persuasif<o:p></o:p></span></b></div><div style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><br /></div><div style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><span style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Bagi remaja, cara-cara persuasif harus dikedepankan dalam memberikan pengarahan berhijab yang syar’i. Hal itu penting dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran diri secara alami dan tanpa paksaan pada diri remaja. Misalnya, memberikan teguran secara halus, selalu memberikan contoh berhijab yang <i>syar’i</i>, dan selalu menekankan nilai-nilai agama dalam berbusana. Selain itu, upaya persuasif akan berdampak jangka panjang daripada menggunakan upaya-upaya yang bersifat paksaan maupun otoriter (<i>Burgon & Huffer, 2002</i>). Sementara itu, bagi para desainer maupun pengusaha garmen, penting diberikan pemahaman agar mereka tidak hanya mengutamakan unsur modis dalam mendesain pakaian muslim, namun juga harus memenuhi unsur kepatutan serta kepantasan sesuai dengan syariat-syariat Islam.<o:p></o:p></span></div><div style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><br /></div><div style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><span style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 13pt; line-height: 150%;">Karena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) perlu berelaborasi dengan Kementerian Agama (Kemenag) untuk mendorong industri busana muslim di tanah air agar menyediakan busana muslim yang lebih sesuai dengan syariat Islam. Yakni, tertutup, tidak ketat (longgar), dan tidak tembus pandang. Upaya tersebut penting dilakukan agar fenomena-fenomena serupa yang secara tak langsung melecehkan nilai jilbab sebagai busana kaum muslimah tidak terulang. Seyogianya, munculnya fenomena <i>jilboobs</i> ini bisa menjadi otokritik yang membangun bagi umat Islam, terutama bagi kaum muslimah, agar lebih mawas diri dalam memilih serta mengenakan pakaian. Pakaian yang dikenakan selain <i>syar’i</i> tentu juga harus bisa melindungi perempuan dari segala macam gangguan sebagaimana termaktub dalam surah Al-Ahzab ayat 59. Dengan demikian, umat Islam bisa menjalankan ajaran agama secara <i>kaffah</i> (total dan sempurna). <i>Wallahu a’lam</i>. </span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 13.0pt; line-height: 150%;">●</span></div></td></tr></tbody></table>

Jilboobs dan Simbol Otokritik Pangki T Hidayat  ;    Direktur Eksekutif Research Center for Democratic Education, Jogjakarta JA...

Baca selengkapnya »