Mencegah Perkembangan ISIS

 On Selasa, 12 Agustus 2014  

                                  Mencegah Perkembangan ISIS

Ahmad Khotim Muzakka  ;   Mahasiswa Center for Religious and Cross-cultural Studies, Pascasarjana UGM
KORAN JAKARTA, 12 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Sejak mendeklarasikan diri sebagai khilafah Islam pada awal 2014, Negara Islam Iraq dan Suriah (ISIS) melakukan propaganda ke seluruh penjuru dunia. Mereka membawa agama sebagai alat. ISIS mendemonstrasikan profil melalui simpatisan lewat jaringan di banyak negara, tak terkecuali Indonesia. Abu Muhammad al-Indonesia secara terbuka di Youtube.com mengajak warga mendukung perjuangan ISIS. Paham tersebut kini mengubah namanya menjadi Islamic State (IS).

Tindakan tersebut bukan tanpa alasan ditujukan ke khalayak Indonesia. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, Indonesia jauh melampaui negara-negara Islam lain. Agenda dalam video yang telah dihapus peredarannya di Youtube bukan tanpa alasan. Dengan potensi demikian besar, harapan simpati dari muslim Indonesia untuk menyalurkan “pengorbanan” uang atau pengiriman orang sangat kentara. Hingga kini, telah terindikasi bahwa beberapa kalangan menaruh simpati pada gagasan IS. Sentimen agama yang dibawa mampu mengalahkan akal sehat tentang perjuangan membela kemanusiaan. Atas nama berdirinya khilafah yang telah diklaim Abu Bakar Al-Bahgdadi, ada orang yang rela menggadaikan harga kemanusiaan yang tidak ternilai meskipun tidak sedikit juga yang secara tegas menolak klaim yang dilontarkan Al-Baghadai mengenai berdirinya khilafah di bawah kepemimpinannya.

Langkah ISIS dalam memperluas jangkauan wilayah kekuasaannya, tak bisa ditampik, menggunakan jalan-jalan kekerasan dan radikalisme. Kekejaman ISIS mencerabut hak-hak kemanusiaan meliputi sosial, ekonomi, dan budaya. Pandangan semacam itu tidak bisa dilepaskan dari pola pikir yang telanjur tertanam kuat perihal sinisme terhadap konsep demokrasi karena tidak sejalan dengan Islam. Anehnya, deklarasi khilafah pada akhir Juni tersebut tidak berjalan baik. Ada yang mempertanyakan keabsahan klaim khilafah tersebut. Banyak kekurangan atas klaim ISIS atas konsep khilafah. Deklarasi Abu Bakar al-Baghdadi hanya dianggap main-main. Sejumlah poin yang terpapar tidak hanya mendelegitimasi deklarasi khilafah, namun juga menyibak keraguan bahwa konsep tersebut masih debatable di kalangan pembela berdirinya khilafah.

Sikap Khilafah, sebagai gagasan transnasionalisme yang tidak mengenal konsep negara-bangsa, pada dasarnya bertentangan dengan gagasan nasionalisme yang telah dikumandangkan founding fathers. Pancasila sebagai Weltanschaung  sudah semestinya dikibarkan jauh mengungguli gagasan yang berpotensi merobek kebinekaan Indonesia itu. Menyambut perayaan hari kemerdekaan Indonesia 17 Agustus, bangsa Indonesia mesti lebih mengencangkan ikatan ideologis yang multikultur. Virus negara Islam yang digaungkan IS beberapa bulan terakhir berimbas pada gerakan Islam di Indonesia yang juga memiliki preferensi serupa. Ini membuat seolah perjuangan khilafah yang lama didengungkan mendapat jawaban atas deklarasi di negara yang tengah bergejolak karena kegagalan transisi kepemimpinan tersebut.

Beredarnya mural dan poster dukungan terhadap ISIS di Solo menjadi fakta bahwa benih persebaran paham ini di Indonesia tidak bisa dianggap pepesan kosong belaka. Sikap tegas yang ditunjukkan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, menanggapi adanya warga negara Indonesia yang menjadi bagian dari ISIS merupakan langkah antisipasif yang tepat. Sejak keran reformasi dibuka lebar, berbagai gerakan bawah tanah kini secara mengejutkan muncul ke permukaan, tanpa takut. Pergeseran orientasi religiositas sebagian muslim Indonesia, yang disebut oleh Martin van Bruinessen (2014) sebagai “Conservative Turn” (kembali ke arah konservatif), mesti diwaspadai dengan saksama.

Adanya dukungan dari kalangan Islam terhadap perjuangan ISIS bisa dibaca sebagai gejala yang mengarah dan melegitimasi kecenderungan itu. Memang setelah Orde Baru jatuh, muslim Indonesia dihadapkan pada  pilihan dilematis: menjadi “progresif” atau “konservatif”. Yang pertama bersikap terbuka pada hal-hal baru di luar institusi agama, sementara pilihan kedua lebih menutup diri terhadap doktrin yang berbeda. Sebagai sebuah gerakan transnasional yang menggebrak dunia akhir-akhir ini, ISIS menjelma menjadi musuh dalam selimut di Indonesia.

Kita telah kecolongan dengan adanya WNI yang secara personal mendukung dan menjadi anggota ISIS. Dalam konteks global, hal itu mencederai citra Indonesia yang dinilai sebagai negara Islam yang berhasil mengedukasi publik dengan ajaran rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam semesta. Munculnya ISIS di Indonesia mestinya segera diwaspadai muslim progresif yang mencita-citakan Islam toleran sebagai basis pergerakan dan perjuangan untuk ambil peran dalam membangun Indonesia ke depan.

Jika tidak, kekhawatiran akan kemenangan gerakan transnasional yang menempuh jalur kekerasan untuk merealisasikan “negara Islam” menyimpan konsekuensi fatal. Yang dikorbankan tidak hanya citra Islam Indonesia, pelopor Islam toleran, namun juga masa depan kemanusiaan menjadi berada di ujung tanduk. Dukungan pada ISIS tidak boleh dipandang sebelah mata.

Tindak kekerasan yang dilakukan di berbagai tempat telah merebut hak-hak kemanusiaan warga lain. Noda sejarah di sana tidak boleh menular dan menodai Islam Indonesia. Dalam konteks ini, tentu kita tidak akan pernah lupa keberhasilan segenap pendahulu bangsa menyepakati penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Penghapusan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” merupakan wujud pencapaian cemerlang masa silam.

Para bapak bangsa telah berhasil mempersatukan keragaman masyarakat Indonesia. Mereka sukses melahirkan gagasan revolusioner mengakomodasi keberagaman yang sudah menjadi keniscayaan.

Dukungan pada ISIS mesti dianggap sebagai bentuk perlawanan dari dalam. Indonesia, dengan Pancasila sebagai dasar negara, harus terus dijaga. Yang perlu diwaspadai, anggapan bahwa demokrasi, konsep negara-bangsa, dan segala macam pernik turunannya merupakan konsep salah dan bertentangan dengan Islam atau ajarannya.

Hal itu harus diluruskan dan disebarkan ke segala pelosok negeri ini. Masih menjamurnya anggapan tersebut menjadi benih ancaman masa mendatang jika tidak dicegah terus-menerus.
Indeks Prestasi
Mencegah Perkembangan ISIS 4.5 5 Arjuna Cellular Selasa, 12 Agustus 2014                                   Mencegah Perkembangan ISIS Ahmad Khotim Muzakka  ;    Mahasiswa Center for Religious and Cross...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar