Tantangan Sektor Keamanan

 On Minggu, 10 Agustus 2014  


Tantangan Sektor Keamanan

Adrianus Meliala  ;   Kriminolog FISIP UI; Komisioner Komisi Kepolisian Nasional
KOMPAS, 11 Agustus 2014
                                                            
                                                                                                                                   

PRESIDEN Indonesia yang akan dilantik pada 20 Oktober 2014 harus segera berpikir dan memutuskan setidak-tidaknya 10 hal yang terkait dengan sektor keamanan di bawah ini. Diharapkan, dengan segera mengambil sikap atau posisi terkait 10 hal tersebut, presiden baru tak akan direcoki oleh persoalan kelembagaan dan kewenangan terkait sektor ini. Pada gilirannya, ia dapat berkonsentrasi mengerjakan hal-hal lain yang terkait dengan keseharian masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan pangan. Jika dikatakan ”langkah cepat”, hal-hal yang akan dilakukan presiden baru memang belum tentu menyelesaikan masalah. Langkah terobosan tidak pernah substansial, tetapi akan selalu bertendensi efektif. Langkah terobosan umumnya juga mampu memberi sinyal perihal arah penyelesaian tuntas yang akan dituju.

Perundang-undangan

Langkah cepat pertama terkait peraturan perundang-undangan menyangkut sektor keamanan. Untuk diketahui, ada dua hal besar dalam hal ini: ketidaklengkapan dan inkongruensi terkait perundang-undangan di sektor ini menyangkut TNI, Polri, ataupun BIN. Apakah akan diteruskan RUU Perbantuan TNI kepada Polri? Apakah UU Polri akan tetap direvisi? Apakah akan tetap dibentuk Dewan Keamanan Nasional?

Langkah kedua menyangkut kualitas tata kelola dari instansi keamanan yang rata-rata buruk. Jika Kementerian Pertahanan pada awalnya dimaknai sebagai regulator sekaligus evaluator terkait kinerja TNI, kini hanya menjadi instansi penyedia tugas tambahan bagi perwira TNI. Polri juga tidak membangun tata kelola yang baik mengingat Kapolri pada dasarnya adalah pembuat kebijakan, pelaksana, sekaligus pengevaluasi kebijakan itu.

Ketiga, menyangkut eksistensi lembaga-lembaga yang bisa dikatakan sebagai bagian dari sektor keamanan tersebut. Jika kini Badan Narkotika Nasional dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dapat dianggap anggota baru dari sektor ini, bagaimana dengan Badan Koordinasi Keamanan Laut? Apakah lembaga itu lembaga hukum, lembaga keamanan, lembaga koordinasi, atau lembaga koordinasi bidang hukum dan keamanan? Semuanya belum jelas.

Pertanyaan lain, apakah pada era presiden baru ini akan dibuat badan-badan baru, seperti badan pencegahan dan penanggulangan konflik sosial atau badan penanggulangan penyelundupan ilegal? Seyogianya hal itu dinyatakan secara eksplisit sejak awal agar pihak-pihak yang terus mencoba menggodok pembuatan badan baru atau revitalisasi badan yang sudah ada segera tahu arah pemerintahan yang baru ini.

Langkah keempat menyangkut siapa mengurus apa. Walau instansi-instansi dalam sektor ini umumnya memilih pola organisasi paramiliter yang tegas dan jelas, baik menyangkut tugas pokok dan fungsi, ada saja situasi ketika situasi pertindihan terjadi. Misalnya, menyangkut penanganan terorisme, penanganan perdagangan manusia, ataupun penyelundupan lintas batas. Guna mencegah pertindihan, telah kita kenal konsepsi pelibatan, tetapi selalu ada kemungkinan tidak dipatuhi oleh instansi-instansi itu sendiri.

Selanjutnya, kelima, diperlukan ketegasan pemerintah menyangkut pembiayaan (atau anggaran) yang diberikan pemerintah terhadap instansi-instansi terkait sektor ini. Seyogianya pembahasan mengenai anggaran hanya merupakan akibat dari segala kebutuhan yang diperlukan.

Namun, pada kenyataannya tidak demikian. Anggaran yang terbatas menyebabkan semua hal harus disesuaikan, termasuk dalam hal ini adalah kinerja instansi-instansi itu sendiri. Pemerintah dalam hal ini perlu menentukan anggaran minimum yang dapat dialokasikan untuk sektor ini. Adalah berbahaya jika instansi-instansi terkait sektor ini dibiarkan bekerja mencari dana tambahan sendiri.

Penyimpangan perilaku

Hal itu kemudian mengacu pada langkah keenam yang perlu memperoleh sinyal segera, yakni sikap terhadap penyimpangan perilaku dan pelanggaran hukum yang dilakukan aparat keamanan. Terkait masalah serius, kita
memang melihat langkah tegas kesatuan seperti TNI dan Polri menindak anggota mereka. Namun, bagaimana dengan oknum anggota yang menjadi backing pengusaha, yang melindungi aktivitas ilegal, ataupun yang melakukan korupsi dalam rangka pembelian peralatan dan sebagainya? Sering kemauan organisasi-organisasi tersebut untuk membersihkan diri sendiri tidaklah terlalu jelas.

Langkah ketujuh, yang sebenarnya juga terkait dengan langkah-langkah sebelumnya, adalah penentuan postur yang direncanakan dalam rangka pengembangan, entah itu militer, kepolisian, ataupun intelijen. Amat jelas bahwa lembaga-lembaga itu merencanakan dan merancang pengembangan dirinya tidak berbasis pada postur yang sudah disepakati dan telah dibagi-bagi menurut fase atau periode. Sering pula kita melihat, postur yang sudah disepakati kemudian ditinggalkan begitu saja ketika terjadi pergantian komandan.

Kapasitas lembaga

Selanjutnya, atau langkah kedelapan, adalah pengembangan kapasitas lembaga-lembaga keamanan tersebut guna menghadapi masalah keamanan yang canggih dan kompleks. Saat gangguan keamanan berbentuk ancaman melalui dunia maya, siapkah infrastruktur keamanan mengatasinya? Demikian pula jika terdapat ancaman-ancaman non-tradisional (seperti migrasi, pengangguran, dan bencana alam), bagaimana dunia militer dapat membantu mengatasinya dan tidak hanya terpusat pada ancaman tradisional saja?

Langkah kesembilan adalah membuat sektor keamanan menjadi sektor yang efisien, transparan, dan akuntabel, baik secara keuangan menyangkut program, proyek, maupun kegiatan-kegiatan teknis yang didanai anggaran negara. Jika pemerintah memiliki program Reformasi Birokrasi, yang setiap instansi kemudian memperoleh remunerasi bagi aparatnya masing-masing, itu perlu direspons dengan peningkatan mutu transparansi dan akuntabilitas di bidang keuangan dan lain-lain.

Sebagai langkah terakhir atau kesepuluh adalah memastikan kepatuhan dari semua aparat yang terlibat guna menghargai dan memelihara hak-hak asasi manusia (HAM). Penghargaan terhadap HAM harus diupayakan menjadi sesuatu yang melekat secara integral dan bukan menjadi aksesori atau penghalang. HAM tidak selayaknya dilihat menjadi sesuatu yang menakutkan bagi anggota yang tengah melaksanakan tugas (khususnya tugas represif).

Diyakini, setelah membereskan kesepuluh masalah di atas, presiden baru akan bisa pindah ke masalah-masalah lain di beragam sektor yang lain pula.
Indeks Prestasi
Tantangan Sektor Keamanan 4.5 5 Arjuna Cellular Minggu, 10 Agustus 2014 Tantangan Sektor Keamanan Adrianus Meliala  ;    Kriminolog FISIP UI; Komisioner Komisi Kepolisian Nasional KOMPAS, 11 Agustus ...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar