Mudik   dan Proyek NasionalRhenald Kasali  ;     Pendiri Rumah Perubahan   @Rhenald_Kasali  |  
KORAN SINDO, 01 Agustus 2014
|    Di   sebuah media online, saya membaca cerita tentang sobat saya, Direktur Utama   PT Kereta Api Indonesia Ignasius Jonan, yang terbengong-bengong ketika   memantau arus mudik di Stasiun Senen, Jakarta, Lebaran kemarin.  Ia   mendapati sejumlah penumpang kereta api kelas ekonomi yang datang ke stasiun   tersebut dengan menggunakan taksi. Bagaimana bisa? Saking penasarannya, Jonan   bertanya kepada seorang pemudik yang baru turun dari taksi, ”Berapa tarif   taksinya tadi?” Sang pemudik menjawab, ”Lima puluh ribu.” Pemudik ini adalah   salah satu penumpang Kereta Api Kertajaya tujuan Surabaya.  Anda   tahu mengapa Jonan terbengong-bengong? Pasalnya, tarif KA Kertajaya jurusan   Jakarta-Surabaya–yang jaraknya sekitar 800 kilometer–ternyata sama dengan   tarif taksi tadi, yakni Rp50.000. Padahal, jarak tempuh taksi tadi mungkin   hanya sekitar 10 kilometer. Harga tarif KA Kertajaya ini bisa murah sebab   pemerintah menanggung sebagian biayanya dalam bentuk subsidi Rp60.000 per   penumpang.  Jadi   kalau penumpang mampu membayar tarif taksi Rp50.000, apakah pemerintah perlu   memberikan subsidi lagi. Bukankah lebih baik subsidi tadi dialihkan untuk   membangun jalur kereta api di daerah lain? Buat saya, cerita tadi adalah satu   dari sejumlah fenomena irasional yang terjadi seputar mudik Lebaran. Mungkin   tidak hanya kali ini, tetapi juga pada Lebaran tahun-tahun sebelumnya, dan   mungkin kelak Lebaran tahun-tahun mendatang.  Fenomena Wisata?  Dulu   mungkin kita masih menganggap mudik sebagai fenomena agama. Umat Islam,   setelah menjalani ritual keagamaan– berpuasa sebulan penuh– mengakhirinya   dengan saling bermaaf-maafan. Dengan sanak-saudara, dan terutama dengan orang   tua yang tinggal di kampung halaman. Namun, kalau kita cermati, mereka yang   pulang mudik ternyata bukan hanya umat Islam.  Banyak   orang yang nonmuslim pun memanfaatkan momentum tersebut untuk pulang ke   kampung halamannya, menengok orang tua dan sanak-saudara, bahkan di sana   mereka ikut merayakan Lebaran. Mereka bersilaturahmi, saling bermaaf- maafan.   Kita melihat Lebaran akhirnya bukan hanya menjadi milik umat muslim,   melainkan milik bersama. Melihat terus meningkatnya jumlah orang yang kembali   ke kampung halaman saat Lebaran, kalangan sosiolog menyebut mudik sebagai   fenomena sosial dan budaya.  Disebut   fenomena sosial karena ini adalah momen di mana orang mencoba kembali untuk   menemukan akar kesejatian dirinya. Mudik seakan-akan menjadi semacam ajang   pelepasan. Para pemudik kembali ke kampung halaman, melepaskan diri dari   semua kesibukan yang mendera selama bekerja di perkotaan. Lalu disebut   sebagai fenomena budaya, karena mudik sudah menjadi tradisi. Pokoknya Lebaran   harus mudik.  Tapi   belakangan ini, kita juga bisa melihat ajang mudik sebagai fenomena wisata.   Selama masa Lebaran, kita bisa melihat betapa sejumlah lokasi wisata di   sejumlah daerah diserbu oleh para pengujung. Mereka tidak hanya menikmati   indahnya kekayaan alam, sarana hiburan, tetapi juga menikmati hidangannya.  Fenomena Bisnis  Jelas,   mudik adalah fenomena bisnis. Banyak pedagang yang memanfaatkan momentum   menjelang dan semasa Lebaran dengan menaikkan harga jual produknya.   Hotel-hotel di daerah tujuan pemudik, selama masa Lebaran selalu penuh.   Begitu pula restoran-restoran dan pusat-pusat jajanan. Selain itu, banyak   pula bisnis baru yang bermunculan selama musim mudik, di antaranya jasa infal   untuk pembantu rumah tangga.  Lalu,   bisnis rumah penitipan hewan peliharaan mulai kelas biasa-biasa saja sampai   kelas mewah. Ada juga bisnis yang bersifat tahunan, tetapi permanen.   Contohnya, bisnis perbaikan jalan di sepanjang jalur pantai utara jawa   (pantura). Selama 2013, biaya perbaikan jalan sepanjang jalur ini   menghabiskan anggaran hingga Rp1,28 triliun.  Sekadar   informasi, yang disebut jalur pantura membentang sepanjang 1.340 kilometer,   mulai Anyer di Provinsi Banten hingga Ketapang di Banyuwangi, Jawa Timur.   Untuk tahun 2014, anggaran perbaikannya diperkirakan meningkat. Sebagai   gambaran, untuk perbaikan ruas jalur pantura yang ada di wilayah Jawa Barat   saja, yang sepanjang 70 kilometer, menghabiskan dana hingga Rp700 miliar.   Belum termasuk perbaikan untuk jalur pantura yang ada di wilayah Jawa Tengah   dan Jawa Timur.  Proyek Nasional  Bagi   saya, mudik juga fenomena pergerakan penduduk terbesar di seluruh dunia.   Mereka yang dari luar negeri, dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan   berbagai daerah lainnya berduyun-duyun kembali ke Jawa dan berbagai daerah   lainnya. Begitu pula sebaliknya terjadi perpindahan penduduk dalam jumlah   besar dari Jawa ke berbagai daerah lain di luar Jawa. Jumlahnya setiap tahun   selalu meningkat.  Untuk   tahun ini, jumlah pemudik diperkirakan mencapai lebih dari 27 juta jiwa.   Angka ini naik hampir 7% dibandingkan tahun lalu. Itu sebabnya jumlah pemudik   yang menggunakan mobil pribadi pada tahun ini tumbuh 100%, sementara pemudik   dengan menggunakan sepeda motor tumbuh sekitar 40%. Dengan perpindahan jumlah   penduduk yang sebesar itu, bisa dipastikan sarana transportasi yang tersedia   tak akan pernah memadai. Begitu pula dengan jalan-jalan raya.  Permintaannya   pasti akan jauh lebih tinggi ketimbang pasokannya. Maka tak heran kalau   kemacetan semasa mudik menjadi sangat luar biasa. Melihat besarnya   perpindahan jumlah penduduk yang terjadi hanya dalam waktu sekitar satu-dua   minggu, rasanya ritual mudik ini sudah tak memadai lagi jika ditangani dengan   pendekatan business as usual .   Hanya ditangani dengan cara-cara biasa. Sudah waktunya mudik dijadikan   semacam ”proyek nasional”.  Apalagi   korban jiwa yang terjadi semasa mudik Lebaran tidak sedikit jumlahnya. Setiap   mudik, saya selalu sedih mendengar cerita tentang ”pemecahan rekor”. Mudik   dua tahun lalu mereka harus menempuh waktu perjalanan hingga 20 jam. Untuk   tahun lalu naik menjadi 22 jam. Dan, seterusnya. Sambil bergurau, mereka   berkata, bukan mudik kalau tidak macet. Betulkah? Mestinya tidak. Saya   menangkap gurauan itu sebagai pelarian dari rakyat kita yang sejatinya tidak   pernah letih berharap agar perjalanan mudik bisa lebih singkat. Dan, tidak   kena macet.  Dengan   menjadi semacam ”proyek nasional”, mudah-mudahan mudik Lebaran 2015 bisa   menjadi ”pemecahan rekor baru”.   Bukan 24 jam, tetapi turun menjadi 20 jam, atau bahkan 18 jam. Saya yakin ini   bisa dilakukan. ●  |  
Untuk   memastikan aman bagi kesehatan, sebelum dikonsumsi perhatikan dan bacalah   label pada setiap makanan kemasan yang ada dalam parsel secara seksama. Label   pada produk makanan olahan adalah sarana yang memberi informasi secara jelas   mengenai produk tersebut. Lewat label dapat diketahui batas akhir penggunaan   makanan tersebut (kedaluwarsa), kandungan zat gizinya, bahan pengawet yang   digunakan, dan nama perusahaan yang memproduksi. 
Dari   label juga diketahui apakah suatu produk pangan dibuat di Indonesia atau   didatangkan dari luar negeri. Hal lain yang tak kalah penting, masyarakat   amat mengharapkan pemerintah menindak tegas pengedar dan penjual parsel yang   berisi makanan kedaluwarsa dengan mengajukan mereka ke pengadilan sebagai   bentuk kepedulian pemerintah terhadap perlindungan konsumen pangan. 
Selama   ini pelaku pengedar makanan kedaluwarsa di pengadilan dianggap sebagai tindak   pidana ringan. Bukankah makanan kedaluwarsa berisiko menimbulkan penyakit   yang acap minta korban jiwa? Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan   memberi jaminan kepada konsumen pangan untuk mendapatkan makanan yang aman   bagi kesehatan. 
Menindak   secara tegas sesuai hukum yang berlaku akan memberi efek jera kepada pedagang   parsel untuk tercipta iklim perdagangan yang jujur dan bertanggung jawab. ●
Indeks Prestasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar