Mencegah Gerakan Radikal MeluasFerry Santoso ; Wartawan Kompas |
KOMPAS, 04 Agustus 2014
GERAKAN radikal merupakan fenomena global. Perubahan instabilitas politik di Timur Tengah, seperti Irak dan Suriah, memunculkan gerakan radikal, seperti Islamic State of Iraq and Syria atau Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS/NIIS) yang menghalalkan penggunaan cara-cara kekerasan dan menebar ketakutan. Sepak terjang ISIS dengan mudah diakses di dunia maya. Tanpa harus mencari, media sosial yang kini digandrungi juga dilintasi informasi soal ISIS. Bahkan, di Youtube, muncul seorang pria dengan propagandanya mengajak masyarakat di Indonesia secara provokatif untuk bergabung dengan aktivitas gerakan radikal global ini. Fenomena global seperti itu tentu dapat ”membakar” semangat orang-orang yang berpikiran sempit. Setidaknya, narapidana terorisme Abu Bakar Ba’asyir, termasuk beberapa narapidana di LP Nusa Kambangan, ”tertarik” dengan sepak terjang ISIS dan mendukung ISIS. Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin mengakui, ada 20 narapidana terorisme, termasuk Abu Bakar Ba’asyir. berbaiat mendukung ISIS. Namun, dukungan Abu Bakar Ba’asyir ke ISIS itu justru ditentang anggota keluarganya sendiri. Dukungan narapidana terorisme terhadap gerakan ISIS menunjukkan, narapidana terorisme yang selama ini ”dibina” di lembaga pemasyarakatan (LP) ternyata tidak mudah ”bertobat”. Ideologi radikal yang merasuk ke tulang sumsum tetap menjadi pegangan yang mereka yakini. Dukungan narapidana terorisme terhadap gerakan ISIS juga menunjukkan ideologi radikal yang mengandalkan kekerasan untuk mencapai tujuan mudah dikonsumsi atau ditelan oleh orang-orang yang tertutup dengan berbagai pandangan yang ada. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk mencegah dan membatasi ruang gerak kelompok radikal berkembang sangat penting. Jangan sampai ideologi radikal dan kekerasan merusak tatanan masyarakat Indonesia yang majemuk dan hidup berdampingan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Jika ideologi radikal yang menghalalkan kekerasan itu terus membius lapisan masyarakat, dapat dibayangkan apa yang akan terjadi di Indonesia dalam 20 tahun atau 50 tahun mendatang. Berbagai upaya untuk ”mengerem” atau mencegah ideologi radikal dan kekerasan berlatar belakang keagamaan berkembang subur harus menjadi kesadaran bersama dan dilakukan oleh berbagai komponen bangsa, termasuk kalangan politisi di DPR. Langkah-langkah yang perlu dilakukan, misalnya, pengawasan terhadap lalu lintas warga negara Indonesia ke negara-negara yang berkonflik di Timur Tengah. Untuk itu, Direktorat Jenderal Imigrasi, termasuk kantor-kantor kedutaan besar RI di negara-negara tersebut, perlu melakukan upaya ekstra untuk mengawasi dan mendeteksi lalu lintas WNI di negara-negara Timur Tengah yang berkonflik. Puluhan bergabung Peran aparat kepolisian dalam mengawasi kelompok radikal yang memiliki jaringan dengan kelompok radikal di luar negeri, seperti ISIS, juga menjadi penting. Kapolri Jenderal (Pol) Sutarman mengakui, Polri tetap mengawasi kelompok radikal, termasuk kelompok radikal yang memiliki jaringan dengan ISIS. Diperkirakan, sudah 50-an orang Indonesia yang masuk ke Irak atau Suriah dan bergabung dengan ISIS. Selain itu, upaya memberikan pemahaman yang benar mengenai konsep ”kekhalifahan” kepada masyarakat luas perlu dilakukan. Peran itu dapat diambil oleh organisasi massa (ormas) Islam yang lebih moderat dan berpengaruh di masyarakat Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra mengemukakan, ormas Islam, seperti NU dan Muhammadiyah, perlu menjelaskan kembali konsep negara Islam. Negara Islam tidak relevan di Indonesia karena bangsa Indonesia sepakat negara yang berdasarkan Pancasila. Ia menilai, konsep jihad untuk mendirikan negara Islam dengan kekerasan seperti dipegang ISIS merupakan konsep yang salah kaprah dan keliru. Akan tetapi, yang tak kalah penting adalah bagaimana mengawasi dan mencegah propaganda ideologi radikal dan kekerasan di dunia maya. Tanpa upaya serius ”menertibkan” pembiusan melalui internet itu oleh kementerian terkait, seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika, cepat atau lambat, ideologi radikal dan budaya kekerasan akan semakin meracuni anak bangsa. Aspek hukum Dari sisi hukum, upaya pencegahan terhadap gerakan radikal dan kekerasan memang belum maksimal. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Ansyaad Mbai mengungkapkan, selama ini, ketentuan hukum yang ada, seperti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, belum mampu menjerat perbuatan-perbuatan awal yang mengarah pada perbuatan terorisme. Ansyaad menyebut, misalnya, pelatihan militer atau menebar kebencian pada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila, termasuk janji atau sumpah (baiat) yang mendukung organisasi yang berafiliasi dengan organisasi terorisme internasional. Oleh karena itu, menurut Ansyaad, dalam amandemen UU No 15/2003, ketentuan UU No 15/2003 perlu diperkuat. Oleh karena itu, diperlukan dukungan politik dari anggota DPR, khususnya anggota DPR terpilih periode 2014-2019. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar