Kecerobohan Solar NelayanOki Lukito ; Ketua Forum Masyarakat Kelautan dan Perikanan |
JAWA POS, 08 Agustus 2014
KEBIJAKAN pemerintah melalui keputusan SKK Migas yang membatasi penjualan BBM dan mengurangi alokasi solar bersubsidi bagi nelayan sebesar 20 persen perlu ditinjau kembali. Jika pemerintah mempunyai iktikad baik dan peduli kepada masyarakat pesisir, alokasi justru harus ditambah. Kebijakan yang diberlakukan mulai 4 Agustus 2014 tersebut merugikan 2,7 juta nelayan tradisional yang hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka menjadi korban kebijakan yang diskriminatif. Pada 2013 pemerintah mengalokasikan kuota solar bersubsidi untuk nelayan tangkap 2,5 juta kiloliter (kl) guna memenuhi kebutuhan 194.475 unit kapal nelayan tradisional. Hingga akhir tahun, realisasinya hanya terpenuhi 1,8 juta kl. Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM), khususnya jenis solar, bagi nelayan sangat penting karena 60 persen biaya produksi hanya untuk membeli BBM. Sementara itu, penyediaan BBM bersubsidi bagi nelayan di beberapa daerah tertentu belum sepenuhnya terpenuhi. Pada waktu musim ikan, kebutuhan solar melonjak drastis dan harganya melambung. Misalnya, yang terjadi di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Di Jawa Timur, misalnya, kebutuhan solar untuk memenuhi operasi 53 ribu kapal nelayan, termasuk 5.885 unit kapal ukuran 10–30 GT, mencapai 740.000 kl per tahun. Tetapi, realisasinya selalu kurang. Pada 2013 hanya direalisasikan 320.000 kl, sedangkan kapal berukuran 30 GT per trip menghabiskan rata-rata 2–4 ton solar. Untuk penghematan, nelayan harus mematikan mesin kapal ketika berada di tengah laut setelah menangkap ikan di rumpon dan bermalam di laut. Mematikan mesin di tengah laut jelas membahayakan keselamatan mereka. Pengurangan alokasi solar untuk nelayan tradisional hingga 20 persen akan membatasi gerak dan operasi kapal nelayan. Ketentuan itu jelas tidak relevan. Tingkat produktivitas serta penghasilan nelayan akan menurun dan mengganggu program industrialisasi perikanan yang dicanangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sejak 2014. Secara nasional, dari target 6,8 juta ton ikan hasil tangkapan di laut, dipastikan realisasinya tidak akan mencapai 4 juta ton. Budaya Bahari Terpuruk Lambat laun, dengan turunnya kebijakan yang tidak berpihak kepada nelayan tradisional itu, budaya bahari akan tenggelam. Nelayan sebagai salah satu ahli waris budaya leluhur bangsa bahari akan meninggalkan pekerjaan di laut dan beralih profesi mencari pekerjaan di darat. Selain dihadapkan pada kesulitan BBM, nelayan setiap melaut diterpa ketidakpastian iklim. Misalnya, ketinggian gelombang yang tidak lazim serta kecepatan angin lebih dari 20–30 knot. Kondisi itu akan menguras BBM kapal untuk bisa bermanuver menebar jaring dan mengulur pancing. Nelayan di pantai selatan atau yang mengais ikan di Samudra Indonesia, misalnya. Karena perubahan iklim sejak tiga tahun lalu, mereka terpaksa menangkap ikan yang semakin ke tengah laut melewati garis lintang 12 melampaui ZEEI atau sekitar 500 kilometer dari pantai. Jarak tempuh yang semakin jauh dan durasi melaut yang panjang otomatis membutuhkan solar yang semakin banyak dengan keuntungan yang semakin kecil. Untuk bisa menangkap tuna, kapal tradisional jenis sekoci dari Bugis ukuran 12 GT membutuhkan 1.300 liter solar dan bekal untuk minimal 12 hari melaut dengan nilai hasil tangkapan maksimal Rp 3 juta. Padahal, sebelumnya, dengan 300 liter solar dengan jarak tempuh yang relatif pendek dan waktu melaut tujuh hari, nelayan dapat menghasilkan nilai tangkapan Rp 15 juta setelah dipotong biaya operasi Rp 10 juta per trip. Kondisi serupa akan dialami nelayan Pantai Utara yang beroperasi di Laut Jawa, Selat Madura, dan Selat Bali. Kondisi perairan di pantura yang sudah mengalami overfishing membutuhkan hasil tangkapan yang lebih banyak untuk bisa menutupi biaya operasi. Nelayan pantura yang mayoritas adalah nelayan one day fishing menyiasati penggunaan solar dengan cara menaikkan harga jual ikan, mengurangi jumlah ABK, serta menekan pengeluaran. Misalnya, mengganti es untuk mengawetkan ikan dengan cairan pengawet makanan yang dilarang. Entah bagaimana caranya nelayan di wilayah timur akan menyiasati pembatasan solar nelayan untuk kapal 30 GT ke atas dan pengurangan alokasi untuk nelayan tradisional itu agar mereka tetap survive. Contohnya, nelayan di Kabupaten Konawe, tepatnya di pesisir Desa Tapulaga, Kecamatan Soropia. Mereka selama ini membeli solar lebih mahal, yaitu Rp 7.500 per liter di tempat penjualan solar nelayan (SPDN). Untuk mendapat keuntungan, mereka harus melaut selama 2–3 hari di Laut Banda dan perairan sekitarnya. Kapal 12 GT dengan kebutuhan solar 800 liter per trip itu akan memperoleh keuntungan jika muatan di palka minimal 3 ton ikan pelagis seperti tuna, cakalang, layur, atau ikan karang seperti kerapu dan kakap. Jika hasil tangkapan hanya 2 ton, berarti sama dengan kembali modal. Kebijakan pemerintah yang lagi-lagi menyakitkan nelayan setelah harga subsidi minyak tanah dihapus dan berlanjut dengan kenaikan harga BBM beberapa waktu itu akan memengaruhi iklim investasi perikanan di Indonesia. Pengalaman buruk terjadi di Sorong, Papua. Dua perusahaan penangkapan ikan (PMA) milik perusahaan Jepang dengan sembilan armada kapal ikan berukuran 60 GT bangkrut di tengah melimpahnya hasil tangkapan karena tidak adanya kepastian pasokan BBM. Demikian pula, program KKP yang memfasilitasi pembangunan 291 unit SPDN di seluruh Indonesia untuk meningkatkan ketersediaan BBM bersubsidi bagi nelayan menjadi sia-sia dengan diluncurkannya kebijakan baru solar nelayan. Sungguh sangat disesalkan, pada akhir masa pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat keputusan yang merugikan nelayan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar