Debar di Bilik Suara

<div align="center"> <table border="0" cellpadding="0" class="MsoNormalTable" style="mso-cellspacing: 1.5pt; mso-yfti-tbllook: 1184; width: 636px;"> <tbody><tr style="height: 38.25pt; mso-yfti-firstrow: yes; mso-yfti-irow: 0; mso-yfti-lastrow: yes;"> <td style="height: 38.25pt; padding: .75pt .75pt .75pt .75pt; width: 474.15pt;" valign="top" width="632"> <h1 align="center" style="margin-top: 0cm; tab-stops: center 236.3pt left 379.35pt right 472.65pt; text-align: center;"><span style="color: windowtext; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 20.0pt;">Debar di Bilik Suara<o:p></o:p></span></h1><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-align: center;"><span style="font-family: "FranklinGothic-ExtraCond","sans-serif"; font-size: 14.0pt; mso-bidi-font-family: FranklinGothic-ExtraCond;">Indra Tranggono  ;</span>   <i><span style="background: white; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 13.0pt;">Pemerhati Kebudayaan<o:p></o:p></span></i></div></td> </tr></tbody></table></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-align: center;"><b><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">TEMPO.CO, 05 April 2014<o:p></o:p></span></i></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-align: center;"><b><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">                                      </span></i></b></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; tab-stops: 206.35pt 268.65pt;"><b><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">                                                                                          <o:p></o:p></span></i></b></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; tab-stops: 164.95pt 187.0pt;"><b><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">                                                              <o:p></o:p></span></i></b></div><table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoNormalTable" style="border-collapse: collapse; mso-padding-alt: 0cm 0cm 0cm 0cm; mso-yfti-tbllook: 1184;"> <tbody><tr> <td style="padding: 0cm 2.8pt 0cm 0cm; width: 468.0pt;" valign="top" width="624"> <div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><span style="color: #002060; font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 13.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Apakah rakyat masih memiliki debar perasaan menjelang pencoblosan? Atau, dalam pemilu ini, segalanya tinggal soal teknis, tak ada persoalan psikologis? Jadi, cukup bles, dan semuanya beres?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><br /></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 13.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Dulu, ketika politik masih mengandung kegentingan, debar perasaan masih menggetarkan hati siapa pun yang memiliki hak pilih. Kegentingan itu bisa kita baca sebagai pertarungan ideologis yang seru antarparpol, yang diikuti para pendukungnya. Misalnya pada Pemilu 1955 yang masih kental dengan ideologi atau politik aliran. Persaingan dan pertarungan politik saat itu sangat keras, bahkan bisa menimbulkan gesekan horizontal.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><br /></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 13.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Lihatlah gesekan yang terjadi antarpendukung PNI, Masyumi, NU, dan PKI-empatpartai besar saat itu. Namun, seperti dikatakan Goenawan Mohamad, persaingan yang terjadi tidak semata-mata karena perebutan kekuasaan, melainkan yang utama untuk menciptakan Indonesia lebih baik (bermartabat). Politikus idealis zaman itu tidak mencari <i>kamukten </i>(kejayaan material dan non-material) seperti saat ini.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><br /></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 13.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Pemilu 1971 pada era Orde Baru pun menyimpan kegentingan. Ada sepuluh parpol yang bertarung dan bersaing, di antaranya Parmusi, NU, PNI, Murba, Golongan Karya, Partai Katolik, Pakindo, Perti, IPKI, dan PSII. Di sini, nuansa ideologis masih kental. Persaingan politik masih terasa.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><br /></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 13.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Pemilu selanjutnya, ketika jumlah parpol peserta pemilu disederhanakan dari sepuluh menjadi tiga-PPP, Golkar, dan PDI-unsur ideologi tak lagi dominan karena Soeharto mewajibkan semua parpol berasaskan Pancasila. Namun pendukung setiap parpol toh tetap menggunakanmind-setideologis dalam memilih parpol. Tak ayal, sisa-sisa kegentingan tetap terasa. Gesekan horizontal antarpendukung parpol pun masih ada. Orang-orang juga masih punya debar dalam dada menjelang pencoblosan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><br /></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 13.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Pemilu pada era demokrasi liberal tak lagi menimbulkan suasana kental ideologis, meski setiap parpol peserta pemilu berhak mengusung ideologi masing-masing. Di sini, ideologi-Islam, nasionalisme sekuler, dan nasionalisme religius-cenderung hadir sebagai cap atau penanda (merek), tapi tak merepresentasikan perjuangan ideologis parpol secara otentik dan total. Kinerja mereka dalam praksis kekuasaan cenderung sama. Sama-sama oportunis dan doyan duit. Yang beraliran agama ataupun yang beraliran nasionalisme sama-sama gemar nyolong duit negara. Mereka tidak memperjuangkan konstituennya menuju sejahtera karena yang disejahterakan hanyalah elite parpol. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><br /></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><span style="color: #002060; font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 13.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Tak ada lagi debar di dada dalam pemilu saat ini, ketika orang berada di bilik pencoblosan. Publik pemilih justru dibuat bingung karena harus memilih caleg yang tidak sepenuhnya dikenal, kecuali melalui iklan politik atau media sosialisasi.</span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 13.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";"> Selain itu, dalam benak para pemilih ada ketidakyakinan atau ketidakpercayaan pada caleg-caleg itu terkait dengan perjuangan aspirasi rakyat. "Akhirnya, mereka toh hanya berjuang untuk <i>kamukten</i>-nya sendiri," ujar rakyat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><br /></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 13.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Tak ada ideologi yang menjadikan idealisme meranggas dan mati. Parpol tak lebih dari mesin politik yang berwujud lembaga bersimbol dan dioperasikan para zombie haus darah. Tak ada pula konstituen politik. Yang ada kumpulan orang yang bingung, cemas, dan rapuh. Mereka menjadi "makanan" para zombie politik: <i>diisap suaranya, setelah itu ditinggalkan</i>. </span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 13.0pt; line-height: 150%;">●</span></div></td></tr></tbody></table>

Debar di Bilik Suara Indra Tranggono  ;    Pemerhati Kebudayaan TEMPO.CO, 05 April 2014                                           ...

Baca selengkapnya »