Sisi Lain Konflik Hamas vs IsraelReza Akbar Felayati ; Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional (HI) FISIP Universitas Airlangga |
JAWANPOS, 02 Agustus 2014
JARINGAN televisi CNN sampai kemarin (1 Agustus 2014) mencatat lebih dari 1.200 korban tewas dari pihak Palestina di Jalur Gaza. Mereka adalah korban jet-jet tempur Israel yang menghantam lebih dari 750 target di Gaza yang dikaitkan dengan kelompok Hamas. Korban tidak hanya berasal dari militer Hamas, namun juga warga sipil, termasuk anak-anak dan perempuan Palestina. Israel berdalih operasi militer dengan sandi Operasi Perlindungan Tepi (Operation Protective Edge) itu ditujukan untuk menghentikan misil-misil Hamas yang membahayakan Israel. Tel Aviv menyatakan, serangan udara akan dilanjutkan selama Hamas masih menembakkan roket ke Tel Aviv. Hamas ogah mundur. Tentara Hamas dengan gencar melawan tentara Israel. Badan Militer Israel atau Israel Defence Forces (IDF) mengumumkan, jumlah tentara Israel yang tewas mencapai 53 orang. Melihat dari Berbagai Sudut Hingga kini, istilah zionisme masih sering dikaitkan dengan negara Israel. Bagaimana duduk perkaranya? Zionisme merupakan gerakan politik Yahudi Eropa yang diprakarsai Theodor Herzl. Zionisme didirikan sebagai respons kaum Yahudi terhadap perlakuan yang mereka terima di negara-negara Eropa. Muncul pandangan bahwa bangsa Yahudi harus memiliki tanah air tersendiri. Zionisme lebih diterima di kalangan penganut Yahudi sekuler. Kaum Yahudi ortodoks kurang menerima konsep zionisme itu. Dari sini dapat dilihat bahwa zionisme sejatinya adalah gerakan politik yang menuntut kemerdekaan bangsa Yahudi sekuler. Bukan serta-merta gerakan bangsa yang diamini seluruh kaum Yahudi. Hal lain yang perlu diketahui adalah komposisi etnis masing-masing teritori yang tidak serta-merta begitu kontras. Ketika Isreal mencaplok bagian Palestina dan menjadikannya sebuah negara, Israel memiliki penduduk sekte Druze yang memeluk Islam, ditambah penduduk Islam dan Nasrani yang masuk ke wilayah Israel. Ada beberapa etnis Arab yang menjadi anggota Militer Israel (IDF). Hal serupa muncul di pihak Palestina. Warga Arab Palestina pun memeluk agama yang beragam. Selain Islam, banyak penduduk Palestina yang Nasrani. Jadi, sejatinya Palestina dan Israel merupakan negara dengan komposisi agama dan etnis yang beragam. Konflik yang mencuat pada awal Juli itu pun sejatinya bukan konflik antaragama, namun disulut penculikan dan pembunuhan tiga pelajar Israel di Tepi Barat oleh militan Hamas. Israel pun berang dan menuduh Hamas sebagai otak di balik kejadian tersebut. Imbasnya, Israel melakukan penangkapan besar-besaran warga Palestina, lalu menjatuhkan lusinan bom di Jalur Gaza. Perang lewat Twitter dan Facebook Tidak seperti sebagian besar konflik dalam sejarah, Israel menyebutkan, yang terjadi dalam konflik kali ini adalah dramatisasi penderitaan warga sipil korban perang. Dramatisasi korban warga sipil tersebut malah memainkan peran sentral. Dengan kata lain, konflik Hamas vs Israel kali ini bukan hanya gambaran penggunaan roket dan senapan mesin. Perang kali ini juga sengit di media sosial. Jadi, Hamas maupun Israel menggunakan Twitter dan Facebook sebagai media untuk menarik simpatisan serta pendukung di pihak masing-masing. Alasannya sederhana. Hamas memiliki strategi media yang dampaknya tidak kalah mematikan dari strategi militer. Hamas menggunakan pemberitaan yang bisa mengancam keamanan dasar Israel. Dalam menyerang, Hamas mengandalkan salah satu senjata perang paling ampuh di dunia, yakni media internasional. Eytan Gilboa (2002) menyatakan, salah satu penggunaan media adalah sebagai wadah para pemimpin untuk mengekspresikan kepentingan dalam negosiasi yang mereka lakukan. Tujuannya, membangun kepercayaan diri dan memobilisasi dukungan publik atas sebuah kesepakatan. Hal itu tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Gaza kali ini. Di satu sisi, Israel memiliki persenjataan dan kemampuan militer yang jauh di atas Hamas. Tapi, Hamas dengan mudah menampilkan korban-korban perang, terutama warga sipil dan anak-anak kepada media-media asing serta via Twitter dan Facebook. Dengan mendramatisasi rasa empati yang tinggi terhadap korban penduduk sipil Palestina, perlawanan terhadap tindakan Israel terbentuk melalui emosi kebencian terhadap negara Yahudi. Hamas berhasil menyedot perhatian masyarakat dunia melalui media massa. Rudal Hamas mungkin tidak dapat menghancurkan Israel, tetapi kritik dan sanksi internasional setiap saat bisa mengancam Israel. Mantan Presiden Bill Clinton menyatakan, Hamas ’’memiliki’’ strategi yang dirancang untuk ’’memaksa’’ Israel membunuh warga sipil Palestina. Dengan begitu, seluruh dunia akan menghukum Israel. Apa hasilnya? Simpati pun berdatangan dari pihak internasional, tidak terkecuali dari Indonesia. Tidak hanya dari negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim, di AS dan Prancis, misalnya, kini hampir tiap hari terjadi demonstrasi serta kekerasan yang mengutuk aksi brutal Israel yang menyerang Jalur Gaza dengan korban besar warga sipil, orang tua, dan anak-anak Palestina yang tidak berdosa. CNN mencatat, terjadi peningkatan dalam kasus kekerasan terhadap warga Israel dan Yahudi di beberapa negara setelah serangan Israel ke jalur Gaza pada awal Juli lalu. Tidak cukup di dunia asli, dunia maya pun ikut menjadi perpanjangan ranah perang kedua kubu tersebut. Twitter dan Facebook merupakan media sosial paling ampuh untuk menjelaskan duduk persoalan perang antara Hamas dan Israel sesuai dengan versi masing-masing. Melalui Twitter dan Facebook, dampak konflik bersenjata paling lama di Timur Tengah itu dengan cepat menyebar ke berbagai belahan dunia, terutama lewat interkonetivitas media yang kompleks dari globalisasi media dan komunikasi. Perang tidak lagi dilakukan hanya dengan senapan dan bom, tetapi telah merembet menuju ranah online. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar